Fridolin Ukur:
"Pembunuhan Seabad Lalu Terulang"
MUSYAWARAH Damai Anak Bangsa di Kalimantan-sebuah pertemuan rujuk suku
Dayak dan Madura yang bertikai-berlangsung di Jakarta pekan silam. Wakil
Presiden Megawati Sukarnoputri hadir dalam acara di NAM Center, Kompleks Pekan
Raya, itu dan memberikan pidato. "Dendam tidak akan berakhir bila
masyarakat tidak menghayati setiap kejadian dengan baik dan tulus,"
ujarnya. Megawati menyerukan agar pertemuan hari itu menjadi upaya dari sebuah
langkah penyelesaian.
Fridolin Ukur, satu dari sedikit ahli tentang Dayak, menyaksikan acara
itu di televisi. Kepada TEMPO ia menyatakan, "Pertemuan formal seperti
itu adalah langkah awal yang baik karena menunjukkan komitmen pemerintah, tapi
tidak akan berarti tanpa suatu penyelesaian konkret di Sampit dan daerah
pertikaian lainnya di Kalimantan."
Sampit harus ditempuh sejauh 600 kilometer dari Tamianglayang,
Kecamatan Timur, Kabupaten Barito Selatan, tempat Pak Ukur-begitu ia biasa
disebut-lahir 71 tahun silam. Namun, dinamika hidup antar-etnis di ibu
kota Kabupaten Kotawaringin Timur
itu adalah hal yang bisa ditemukan pula di. "Percampuran antara etnis
Dayak dan Madura adalah fenomena yang bisa disaksikan di berbagai wilayah
Kalimantan," kata Fridolin. Doktor teologi ini termasuk salah satu tokoh
Dayak yang banyak diminta pemerintah untuk memberikan masukan bagi
penyelesaian tragedi berdarah yang pecah di pulau itu sejak dua tahun silam.
Menurut Fridolin, apa yang terjadi di Sambas dan Sampit adalah borok
lama yang tinggal menanti saat untuk pecah. "Inilah hasil perlakuan tidak
adil sebuah rezim yang berkuasa begitu lama: Orde Baru."Ketidakadilan
dalam pemerataan ekonomi-termasuk antara kaum pendatang dan penduduk
setempat-menurut Fridolin, secara tidak langsung menjadi salah satu penyebab
laten pertikaian kedua suku itu.
Ketika dendam dalam sekam itu akhirnya membakar
Sampit, Februari silam, Fridolin terbang ke Palangkaraya. Bersama beberapa
tokoh Dayak perantauan, ia bertemu dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Surojo
Bimantoro-untuk memberikan sejumlah masukan yang berkaitan dengan perang etnis
itu. Tokoh Gereja Kalimantan Evangelis ini juga hadir di Komisi Wawancara NO.
04/XXX/26 Mar - 1 Apr 2001 Fridolin Ukur: "Pembunuhan Seabad Lalu
Terulang "MUSYAWARAH Damai Anak Bangsa di Kalimantan-sebuah
pertemuan rujuk suku Dayak dan Madura yang bertikai-berlangsung di
Jakarta pekan silam. Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri hadir dalam acara di
NAM Center, Kompleks Pekan Raya, itu dan memberikan pidato.
"Dendam tidak akan berakhir bila masyarakat tidak menghayati setiap
kejadian dengan baik dan tulus," ujarnya. Megawati menyerukan agar
pertemuan hari itu menjadi upaya dari sebuah langkah penyelesaian.
Fridolin Ukur, satu dari sedikit ahli tentang Dayak, menyaksikan acara itu di
televisi. Kepada TEMPO ia menyatakan, "Pertemuan formal seperti itu
adalah langkah awal yang baik karena menunjukkan komitmen pemerintah, tapi
tidak akan berarti tanpa suatu penyelesaian konkret di Sampit dan daerah
pertikaian lainnya di Kalimantan."
Sampit harus ditempuh sejauh 600 kilometer dari Tamianglayang, Kecamatan Dusun
Timur, Kabupaten Barito Selatan, tempat Pak Ukur-begitu ia biasa disebut-lahir
71 tahun silam. Namun, dinamika hidup antar-etnis di ibu kota Kabupaten
Kotawaringin Timur itu adalah hal yang bisa ditemukan pula
di Tamianglayang. "Percampuran antara etnis Dayak dan Madura adalah
fenomena yang bisa disaksikan di berbagai wilayah Kalimantan," kata
Fridolin. Doktor teologi ini termasuk salah satu tokoh Dayak yang banyak
diminta pemerintah untuk memberikan masukan bagi penyelesaian tragedi berdarah
yang pecah di pulau itu sejak dua tahun silam.
Menurut Fridolin, apa yang terjadi di Sambas dan Sampit adalah borok lama yang
tinggal menanti saat untuk pecah. "Inilah hasil perlakuan tidak adil
sebuah rezim yang berkuasa begitu lama: Orde Baru." Ketidakadilan dalam
pemerataan ekonomi-termasuk antara kaum pendatang dan penduduk
setempat-menurut Fridolin, secara tidak langsung menjadi salah satu
penyebab laten pertikaian kedua suku itu.
Ketika dendam dalam sekam itu akhirnya membakar Sampit, Februari silam,
Fridolin terbang ke Palangkaraya. Bersama beberapa tokoh Dayak perantauan, ia
bertemu dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Surojo
Bimantoro-untuk memberikan sejumlah masukan yang berkaitan dengan perang
etnis itu. Tokoh Gereja Kalimantan Evangelis ini juga hadir di Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dua pekan lalu. Bersama serombongan delegasi orang
Dayak, Fridolin menyampaikan agar konflik antar-etnis ini diselesaikan
dengan merunut akar masalah-bukan cuma melihat permukaan soal.
Sebagai pemuka agama, Fridolin memang mendapat banyak kesempatan menyerap
aneka suara dan kegelisahan masyarakat bawah. Ia lahir dari
suatu keluarga terpandang dari suku Dayak Menyaan. Kakeknya, Temanggung
Djaja Karti Anom Albert Blantan, adalah Ketua Suku Dayak Menyaan-seorang
pemuka adat dan tokoh masyarakat yang progresif. Fridolin menghabiskan masa
kanak-kanaknya di tepi Sungai Sirau-anak Sungai Barito-dan menghabiskan masa
remajanya di antara Banjarmasin dan Tamianglayang. Ayahnya, Christian Ukur,
adalah penilik sekolah dasar. Dalam masa pertumbuhannya, Fridolin banyak
bergaul dengan kakeknya dan belajar bahwa percampuran etnis adalah hal yang
alamiah: kakeknya dengan mudah mengawinkan anak-anaknya dengan menantu dari
berbagai suku non-Dayak-suatu hal yang masih langka di masa itu.
Dari kakek dan ayahnya, ia menyerap tradisi intelektual sejak dini-termasuk
kebiasaan membaca. Fridolin kemudian mengambil studi teologi di Jakarta. Ia
melakukan sejumlah riset selama dua tahun di Swiss sebelum meraih
gelar doktor di Sekolah Tinggi Teologia, Jakarta, pada Desember 1971.
Pria yang menguasai enam bahasa asing-Inggris, Belanda, Jerman, Latin,
Yunani, dan Ibrani-ini membaktikan pengetahuannya terutama untuk bidang
pendidikan dan kerohanian. Fridolin mahir berbicara dialek Dayak. Kemampuan
ini membuatnya mudah berkomunikasi dengan warga setempat tatkala ia harus
kembali ke Kalimantan ketika darah mulai mengalir di Sampit.
Di rumah pribadinya di Depok-yang dipenuhi 4.000 lebih buku-ayah dua anak yang
mencintai sastra dan pernah menulis beberapa buku puisi ini
menerima wartawan TEMPO Edy Budiyarso untuk sebuah wawancara
khusus, pekan lalu.
Petikannya:
Selama ini, Anda terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Sampit. Apakah
ada pemicu konflik berdarah itu yang belum diekspos di media massa?
Ada peristiwa pembunuhan orang Dayak yang tidak pernah terekspos di media
massa. Pada 16 Desember 2000, seorang Dayak terbunuh dalam perkelahian di
sebuah tempat hiburan di Kareng Pangi (sekitar 100 kilometer dari Sampit ke
arah Palangkaraya). Baru setelah itu, terjadi pembunuhan lain, yakni terhadap
keluarga Matoya asal Madura. Saat itu, orang Madura menuduh pembunuhnya orang
Dayak. Mereka membalas pada 18 Februari 2001: membakar sampai tewas satu
keluarga Dayak.
Kemudian, muncul spanduk-spanduk yang bertuliskan "Sampit Kota
Sampang", menandakan dominasi orang Madura. Peristiwa itu
memunculkan gelombang pengungsian warga Dayak.
Berapa orang yang mengungsi ketika itu?
Lebih dari 5.000 orang Dayak mengungsi ke Palangkaraya. Warga Dayak lebih
kecewa setelah muncul pengumuman dari Bupati yang melarang warga
Dayak keluar malam dengan membawa senjata, sementara orang Madura yang
berpawai dengan truk membawa senjata tidak dilucuti. Dari sini muncul perasaan
bahwa orang Dayak akan dihabisi. Berita menyebar ke mana-mana dan terjadi
pembalasan pada 20 Februari 2001.
Anda tahu siapa yang melakukan pembalasan itu?
Orang-orang Dayak di pedalaman yang tidak tahu apa-apa. Mereka hanya diberi
tahu saudara mereka akan dihabisi di Sampit. Dalam peristiwa pembalasan
itu, orang Dayak berhasil menguasai Kota Sampit. Saat itulah mulai
terjadi pemenggalan kepala.
Jadi, ini urusan balas dendam, bukan kriminal murni?
Ini peristiwa balas dendam. Tapi pemicunya persoalan kriminal biasa:
pembunuhan di tempat hiburan di Kareng Pangi itu. Masyarakat Dayak
kemudian berhasil mengetahui pelaku pembunuhan itu. Namun, polisi tidak bisa
menangkap si pelaku dengan alasan sudah kabur. Melihat tanggapan aparat,
masyarakat kecewa dan muncul ketegangan walau tidak meluas.
Kasus Sampit bukan pengalaman pertama Anda dalam melihat konflik etnis di
Kalimantan. Apa akar konflik paling dasar?
Kerusuhan
Dayak-Madura adalah bom waktu yang sudah ditanam sejak Orde Baru
melaksanakan pembangunan yang sentralistis. Pembangunan yang hanya mencari
keuntungan telah menguras kekayaan Kalimantan, tanpa mempedulikan
penduduk asli. Coba bayangkan, hampir 30 tahun pembangunan berjalan tanpa
mengikutsertakan penduduk asli.
Apakah mereka mengatakan hal itu kepada Anda?
Mereka
mengatakan, "Hutan kami sudah diambil, sungai kami sudah diambil,
tanah kami sudah diambil. Hutan itu dahulu kami ambil kayunya untuk membuat
perahu dan membangun pondok.
Sekarang tidak bisa lagi." Mereka dilarang masuk hutan karena hutan sudah
menjadi milik orang. Jadi, mereka kehilangan kepercayaan kepada pemerintah.
Pemerintah yang mana? Pusat atau daerah?
Pemerintah daerah tidak bisa mengangkat kepentingan mereka. Sementara
itu, pejabat yang membela rakyat dicopot oleh pusat. Pada masa Bung Karno,
Presiden masih mengangkat Tjilik Riwut, Silvanus, dan Ully Gara-para
putra daerah yang menjadi gubernur. Setelah itu, orang luar semua. Jadi, di
kalangan orang Dayak ada perasaan dibodohi dan dalam kemajuan ekonomi mereka
hanya menjadi penonton.
Kalau problemnya masalah ekonomi, mengapa permusuhan
itu ditujukan hanya kepada suku Madura?
Memang tidak hanya orang Madura yang sukses secara
ekonomi di Kalimantan Tengah. Orang Banjar, orang Melayu, dan orang Jawa jauh
lebih sukses ketimbang orang Madura. Orang Dayak juga pada dasarnya
tidak membenci semua suku Madura, terutama orang Madura yang sudah datang ke
situ sejak zaman Belanda, yang tak berbeda lagi dengan orang Dayak.
Pendatang Madura yang datang belakanganlah yang sering menimbulkan masalah.
Kapan orang-orang Madura yang datang belakangan itu masuk?
Mereka datang pada masa-masa pembangunan (era Orde Baru). Misalnya
Palangkaraya. Ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah ini dibangun di tengah
Sungai Kahayan, di Desa Pahandut. Segala bahan bangunan, termasuk semen,
mengalir ke situ, padahal ketika itu belum ada pelabuhan yang baik. Maka,
warga Dayak menjadi orang upahan mengangkut semen. Tapi mereka biasa bekerja
di ladang, tidak terlatih menjadi buruh. Sedangkan seorang Madura dengan
cekatan bisa memikul satu karung semen. Ini menguntungkan bagi pengusaha.
Dan
para pengusaha lebih senang memakai tenaga orang Madura?
Betul. Merekalah
yang kemudian mendatangkan orang-orang Madura yang kuat dan cepat dalam
bekerja, serta bisa dibayar murah. Hampir semua area Hak Pengusahaan
Hutan (HPH)-tambang-tambang juga-menggunakan tenaga mereka.
Bukankah itu masih dalam batas persaingan yang wajar?
Apakah gara-gara punya etos kerja keras mereka harus dimusuhi?
Orang
Dayak pada dasarnya baik terhadap pendatang. Umumnya mereka memberikan
sebidang tanah kepada orang Madura, sampai akhirnya kaum pendatang ini punya
tanah sendiri. Setelah menetap, orang Madura, bukannya mencari tempat untuk
pindah, malah mendatangkan sanak keluarga. Jumlah mereka menjadi
berlipat. Ketika orang Dayak minta tanah itu dikembalikan,
orang Madura itu tidak mau. Orang-orang dari suku ini punya adat
yang keras. Mereka tak segan mengancam dengan celurit jika marah,
sehingga sering terjadi peristiwa pembunuhan.
Pembunuhan Dayak-Madura bukankah biasanya berbalas?
Perlakuan polisi yang berbeda adalah salah satu penyebab mengapa timbul sakit
hati di pihak orang Dayak: jika terjadi pembunuhan terhadap orang Dayak dan
orang Dayak membalas, orang Dayaklah yang ditangkap polisi
dan dihukum.
Perlakuan
yang sama tidak terjadi pada orang Madura karena orang Madura ini memiliki
cukong yang bisa membayar polisi.
Jadi, orang Dayak merasa hukum tidak ditegakkan dan keadilan memihak hanya
kepada orang tertentu. Situasi seperti ini membawa
orang Dayak seperti di tubir jurang. Kalau jatuh mati, melawan pun mati. Saat
itulah mereka lebih memilih mati sama-sama. Pada saat itu,
terjadi pembalasan. Istilah mereka untuk situasi itu: seperti drat baut
yang kehabisan ulir.
Apakah penelitian pernah mencatat bagaimana tekanan itu
memuncak menjadi kebrutalan?
Dalam sejarahnya, orang Dayak adalah kaum pesisiran yang mendiami
pantai-pantai di Kalimantan. Ketika kaum pendatang masuk ke Kalimantan, orang
Dayak mundur ke pedalaman. Mereka kurang bisa berasimilasi dengan
pendatang. Karena itu, kebudayaan orang Dayak tetap sama. Sistem bercocok
tanam dan berburu masih tetap sama seperti generasi nenek moyang mereka.
Mengapa dalam publikasi Belanda, orang Dayak lebih
dikenal sebagai knoppensneller (pemotong kepala)?
Pada masa Belanda, pemerintah kolonial membuatkan
mereka tempat reservasi, persis seperti orang Indian di Amerika. Mereka
dibiarkan hidup dengan daerah yang luas dan tetap dengan tradisi lama sehingga
bisa menjadi tontonan. Dari situlah muncul publikasi tentang knoppensneller.
Pada 1835, ketika misi Kristen mulai masuk ke Kalimantan, orang Dayak mulai
lebih beradab.
Bukankah waktu itu sudah mulai timbul konflik dengan
kaum pendatang, termasuk dengan para misionaris?
Itu konflik antara Belanda dan kerajaan pantai
yang menganut Islam. Belanda yang bekuasa lebih menyukai putra
mahkota yang mudah diatur. Maka, pecahlah pemberontakan di bawah
Pangeran Antasari. Pangeran Antasari kemudian masuk ke pedalaman dan orang
Dayak menjadi inti pasukannya. Pada saat itulah terjadi pembunuhan terhadap
misionaris. Padahal, misionarisnya orang Jerman, bukan Belanda. Namun, karena
dianggap bule, mereka kena juga. Kejadian di Sungai Kahayan dan Kapuas
yang memakan korban sembilan orang itu terjadi pada 1859.
Perang suku masih kerap terjadi pada masa itu?
Ya, ada perang antarsuku Dayak sendiri. Yang kalah
perang biasanya akan menjadi budak. Jadi, perbudakan itu ada ketika satu pihak
kalah perang atau karena tidak bisa membayar utang. Ketika itu, masih hidup
budaya mengayau atau memotong kepala. Pada 1884, setelah berpuluh tahun
misi masuk ke Kalimantan-serta oleh pengaruh Islam-budaya mengayau mulai
dihilangkan oleh karena kesadaran orang Dayak sendiri.
Apakah ada kesepakatan formal antarsuku Dayak untuk
menyetop kebiasaan ini?
Hal ini tertuang dalam Perjanjian Tumbang Anoi di
Hilir Sungai Kahayan. Perjanjian itu adalah perjanjian perdamaian antarsuku
Dayak, termasuk Dayak dari Kalimantan Barat. Perjanjian itu menyepakati
dihilangkannya adat kebiasaan mengayau, perang antarsuku, dan perbudakan.
Sejak saat itu, lebih dari seabad tidak pernah ada lagi pembunuhan dan
pemotongan kepala. Hal itu baru terulang sekarang.
Dapatkah Anda menjelaskan kebiasaan sebuah suku yang
begitu ramah kepada kaum pendatang tapi mudah memenggal kepala manusia,
termasuk anak-anak, pada saat berikutnya?
Saat orang Dayak terpojok dan menganggap sudah tidak ada lagi orang atau
institusi yang bisa dijadikan pegangan, mereka akan kembali mengingat petuah
leluhurnya: "Kalau kamu berada dalam keadaan sangat sulit dan tidak ada
jalan keluarnya, panggil kami. Kami akan menolong." Dan yang mereka
lakukan sekarang adalah memanggil roh nenek moyang.Mereka memenggal
kepala orang. Dan itu dipublikasikan dengan jelas ke seluruh dunia. Bagaimana
Anda bilang mereka sedang memanggil roh nenek moyangnya?
Sebenarnya yang memenggal kepala orang Madura itu
roh nenek moyang. Mereka melakukannya dalam keadaan kesurupan-itu yang
mereka yakini. Saat kesurupan, mereka merasa membunuh binatang yang berbahaya
yang akan menyerang mereka. Karena itu, kepalanya yang mereka potong. Baru
beberapa hari kemudian mereka sadar. Jadi, budaya yang telah dipendam 100
tahun itu muncul karena dirangsang oleh budaya kekerasan.
Ketidakwarasan tentu saja tidak bisa menjadi dalih
untuk membenarkan tindakan membunuh?
Memang tidak. Dalam kasus ini pun penegakan hukum
harus dijalankan. Proses hukum harus diteruskan sampai ke pengadilan agar
menjadi pelajaran bahwa semua tindakan itu salah.
Pembantaian terhadap orang Madura sendiri telah menimbulkan citra yang buruk
terhadap suku Dayak. Apa komentar Anda?
Memang semua opini, baik nasional maupun internasional, mengutuk tindakan
biadab itu. Penilaian ini pun menambah rasa frustrasi orang Dayak.
Mengembalikan
orang Madura ke Sampit apakah menjadi alternatif solusi yang tepat, menurut
Anda?
Pengusiran orang Madura dari Sampit itu terjadi karena orang Dayak sudah tidak
bisa lagi menahan emosi. Selama situasi emosional ini belum mereda, saya kira
pengungsian-bukan pengusiran-orang-orang Madura akan baik untuk sementara
waktu.
Situasi emosional itu apakah Anda ketahui berdasarkan laporan-laporan
yang masuk dari Sampit?
Tidak. Saya merekamnya langsung ketika saya berada di sana. Saya langsung
berbicara dengan orang-orang itu. Sesampai di
Jakarta pun saya masih rutin mendapatkan bahan-bahan dari lapangan.
Mengapa kerusuhan itu begitu besar dan meluas? Tidak
adakah tokoh Dayak yang bisa dipercaya dan dapat menenangkan situasi?
Situasi sudah sulit. Semua orang emosional. Saya berbicara dengan warga Dayak
bahwa tanah air kita satu dan semua orang bisa hidup di bagian mana pun dari
tanah air ini. Saya dianggap terlalu membela orang Madura. Saya mengatakan itu
kepada orang-orang Dayak karena memikirkan masa depan semua kelompok,
termasuk suku saya sendiri. Saya bilang kepada mereka, hidup saya tidak akan
lama lagi, tapi mereka yang masih muda masih akan hidup lebih lama.
Selain alasan emosional, apa lagi yang memberatkan kembalinya orang
Madura ke Kal-Teng dalam waktu dekat ini?
Saya mendapatkan informasi telah ada upaya pembersihan kampung di Sampit-tapi
orang Dayak belum berhasil mengembalikan roh leluhur mereka. Dengan demikian,
situasi masih bisa kembali memanas. Sebab, setelah pembersihan kampung,
seharusnya mereka juga mengembalikan roh nenek moyangnya. Kepercayaan
setempat meyakini, dengan pengembalian roh nenek moyang, semua kesaktian itu
akan hilang sehingga mereka kembali normal seperti orang biasa.
Bagaimana dengan ide pengembalian orang Madura ke
Sampit seperti yang ditawarkan oleh Menteri Koordinator Politik,
Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono?
Menurut saya, pengiriman kembali itu bisa dilakukan tapi tidak dalam waktu
yang cepat. Saat ini, ada penolakan kental dari warga Sampit. Tokoh Madura
Mohammad Noer mengatakan agar pengiriman kembali dilakukan dalam waktu 10
hari. Kalau pemerintah tidak sanggup, kata dia, akan dipaksakan berangkat
sendiri ke Kal-Teng. Padahal kan tidak semudah itu. Menurut saya, para
pengungsi itulah yang harus ditanya karena merekalah yang secara sukarela
memilih mengungsi. Perasaan dan pertimbangan merekalah yang harus benar-benar
didengar.
Apa langkah-langkah penting yang harus diambil dalam
penyelesaian kasus ini?
Pertama, memisahkan kelompok yang berseteru untuk menurunkan suhu emosi.
Menurunkan suhu orang berhantam hanya mungkin dilakukan dengan melerai
mereka. Setelah itu, para pengungsi dikembalikan ke tempat yang bisa
mendatangkan suasana aman-dengan persetujuan rakyat dan pemerintah daerah.
-------- §§§§ ---------