Berita   Kalteng Pos dan Banjarmasin Pos    
Tabloid   Bebas.
Kalteng   Pos, Sabtu 31 Maret 2001.
Berita         Utama
Ratusan         Bom Disita
*         Warga Pendatang di Kobar Berikrar
Pangkalan         Bun, BPost
Dugaan adanya sejumlah bom yang disimpan warga pendatang dari etnis         tertentu di Kotawaringin Barat (Kobar) bukan isapan jempol. Buktinya, sweeping         yang dilakukan aparat kepolisian Kobar dari rumah ke rumah selama         sepekan berhasil menemukan 132 bom rakitan.
Penemuan         bom menjadi bukti nyata kebenaran dari selebaran yang beredar di         masyarakat. Selebaran yang diterima BPost, tadi malam         menyebutkan, etnis pendatang tertentu telah menyiapkan kekuatan untuk         melakukan penyerangan di Kobar.
Dalam         selebaran itu, disebutkan pula para pendatang etnis tertentu telah         menyiapkan sejumlah bom.
Tak         itu saja, selebaran menyebutkan etnis pendatang menyiapkan basis         kekuatan di Madurejo, Sodorejo, Kapitan, Sungai Tendang, Bedaun dan         Candi. Bahkan, menurut selebaran itu, etnis pendatang siap berperang.
Kapolres         Kobar AKBP Drs Jusman Aer menyatakan, bom yang ditemukan aparatnya         terdiri dari 90 bom rakitan berisi mesiu (dibungkus plastik dicampur         paku dan serpihan kaca) dan petasan ukuran besar sebanyak 42 buah.
"Saya         harap penemuan dapat menjawab teka-teki serta kekhawatiran         masyarakat," kata kapolres dalam jumpa pers, Selasa (27/3) di ruang         kerja Bupati Kobar. Pihak kepolisian setempat telah menahan sembilan         tersangka. "Tiga orang sudah dikeluarkan surat perintah penahan,         sedangkan enam masih dalam pemeriksaan,"imbuh kapolres.
Kapolres         mengatakan, bom yang ditemukan seluruh sebanyak 149 biji. Sweeping aparat         dilakukan di Kumai dan Pangkalan Bun dengan cara memasuki rumah etnis         pendatang tertentu yang sudah ditinggalkan.
Dari         beberapa rumah yang digeledah, jelas kapolres, sebagian besar dalam         keadaan kosong dan terkunci akibat ditinggalkan penghuninya. Namun         dengan bekerja sama dengan Ikama (Ikatan Keluarga Madura) Kobar,         pihaknya membongkar paksa rumah untuk keperluan penggeledahan.
Diakui         kapolres, pembongkaran secara paksa rumah yang ditinggalkan penghuninya         secara hukum kurang benar. Tapi, katanya, semuanya demi keamanan daerah.         "Kami siap menghadapi, kalau ada yang komplain."
Mengenai         motivasi warga pendatang menyimpan bom, kapolres mengungkapkan,         berdasarkan hasil pemeriksaan sementara para tersangka mengaku hanya         untuk bejaga-jaga diri. "Ya seperti halnya membawa sajam,"         sebut Jusman.
Bupati         Abdul Razak menambahkan, pengungkapan bom sekaligus menghilangkan         keraguan masyarakat yang menganggap seakan-akan aparat tidak segera         bertindak terhadap adanya isu banyaknya bom dimiliki warga tertentu.
Bupati         mengingatkan, jangan hanya terfokus pada etnis tertentu dan Dayak         tetapi, pihak ketiga yang justru ingin keadaan Kobar seperti Sampit dan         Palangka Raya untuk mengambil keuntungan.
Pada         kesempatan itu Bupati Abdul Razak menegaskan bahwa tidak benar adanya         isu ataupun selebaran yang menyebutkan para pendatang dari etnis         tertentu akan menyerang balik etnis Dayak maupun etnis lainnya di         wilayah Kobar.
Jumpa         pers itu sengaja digelar guna mengcounter, sekaligus klarifikasi atas         beredarnya isu dan selebaran gelap yang mengatasnamakan warga Dayak         Pedalaman Kobar.
Hadir         mendampingi bupati, Wabup HM Achjar, Sekda Djudae Anom, Ketua DPRD HTA         Zailani, Dandim Adjema Abdullah dan Ketua LMMDD-KT (Lembaga Jusman Aer,         Kabag Humas Adjema Abdullah dan ketua LMMDD-KT (Lembaga Musyawarah         Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah) Kobar Danthe Theodore.
"Yang         jelas semua selebaran itu tak benar itu hanya ingin menciptakan Kobar         seperti Sampit dan Palangka Raya," tandas bupati sembari menyatakan         di Desa Bedaun aparat telah disiagakan.
Pernyataan         senada dilontarkan Danthe Theodore, ketua LMMDD -KT Kobar yang         mengatakan, isi selebaran sama sekali tidak benar dan tidak mewakili         masyarakat Dayak. Sebab di Kobar, menurutnya, hanya ada dua lembaga yang         mewakili masyarakat Dayak yakni kerukunan masyarakat Dayak secara         spesifik di daerah-daerah dan LMMDD-KT yang merupakan kumpulan dari         seluruh kerukunan Dayak dari berbagai kelompok suku misalnya Ngaju, Ma?anyan         dan lainnya.
"Selebaran         itu tak benar, sampai saat ini warga Dayak Kobar masih berpegang pada         kesepakatan yang telah ditandatangani berbagai etnis," tegas Danthe         seraya meminta, jika ada orang yang mengatasnamakan Dayak harus         dikonfirmasi kepada pihaknya.
Kapolres         Jusman Aer menyatakan, selebaran itu hanya fitnah dan upaya provokasi         untuk memancing emosi warga.
"Jelas         itu tak benar, apalagi sampai disebutkan ada warga Dayak di Kecamatan         Bulik yang terbunuh sebanyak tiga orang," kata kapolres.
Namun         untuk mengantisipasi keadaan, muspida setempat telah bersepakat setiap         kapal datang ke Kobar melalui Pelabuhan Kumai selalu di-sweeping.         "Yang pertama di-sweeping tentang senjata sajam, peledak dan         lainnya, yang kedua sweeping orang pendatang yang tak jelas         tujuannya ke Kobar," ujar kapolres.
Dari         hasil sweeping yang dilakukan beberapa hari lalu, kata kapolres,         telah dipulangkan sembilan warga Magetan yang mengaku sebagai penyiar         Islam. Mereka datang menumpang Km Tilong Kabila dan dikembalikan, Senin         kemarin dengan KM Lauser.
Sementara         jumlah aparat keamanan gabungan TNI/Polri yang digelar hingga saat ini         sekitar 1.569 personil. Aparat ditempatkan pada sembilan pos penjagaan         jalur masuk Kobar mulai dari Asam Baru, Kotim, sedangkan sebanyak 56 pos         tersebar di seluruh wilayah Pangkalan Bun dan Kumai.
Mengklarifikasi         berbagai imej yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa warga         pendatang tertentu tengah menyusun berbagai gerakan, sekaligus         mengungkap berbagai perilaku negatif sebagian warga etnis tertentu, Rabu         (28/3) hari ini akan melaksanakan ikrar bersama warga etnis tertentu se         Pangkalan Bun dan Kumai yang rencananya dihadiri berbagai komponen etnis         lainnya.
Ketua         DPRD HTA Zailani menyatakan, ikrar bermula dari hadirnya para pakar dari         Universitas Indonesia dan tim Mabes Polri, Sabtu (24/3) lalu yang         menghasilkan ide perlunya mengungkap berbagai sikap warga etnis tertentu         yang selama ini dianggap kurang disenangi etnis lain. aat
.
*****
nm daniansyah
mulyadi danu saputra
`Pangkalan Bom' pun Akhirnya Menggelegar
Perang etnis Dayak versus etnis Madura akhirnya menjamah Kotawaringin Barat (Kobar). Kumai sudah `meledak', sedang Pangkalan Bun (ibukota Kobar) tak terhindarkan jadi `pangkalan bom' yang menggelegar. Itulah gambaran sekilas situasi terkini dari
Kobar sepanjang pekan lalu.
KEKHAWATIRAN itu akhirnya terjadi juga. Perang etnis Dayak versus etnis Madura yang semula sempat mereda akhirnya kembali berlanjut.
Namun, tidak seperti prediksi sejumlah kalangan, area perang lanjutan ini tidak merambah ke wilayah Kalsel, tapi menjalar ke Kotawaringin Barat (Kobar) yang masih termasuk wilayah Kalteng.
Padahal, sebelumnya sempat berhembus kencang isu maupun kekhawatiran bahwa setelah Sampit, Palangka Raya dan Kapuas, maka Kalsel-lah giliran berikut arena pembantaian etnis Madura.
Apalagi, rumor itu juga digenjot lewat provokasi selebaran kelompok pendiri Negara Borneo Raya yang mematok tanggal 1 April sebagai chaos Kalsel, maupun kasus Cimantan, Batola, yang disebut telah menewaskan 83 warga Banjar.
Kumai, salah satu kecamatan di Kobar adalah medan perang lanjutan ini. Dan, di kecamatan yang berjarak sekitar 12 km dari Pangkalan Bun (ibukota Kobar) ini telah berjatuhan korban warga etnis Madura, sejak meletusnya perang lanjutan ini, Sabtu akhir Maret lalu.
Sebagai catatan, ini merupakan rusuh massa kali kedua yang terjadi di sana. Yang pertama terjadi pada pertengahan Juli 2000 lalu.
Saat itu, peristiwa yang kemudian dikenal dengan sebutan Rusuh Kumai ini, sempat membuat Kumai jadi lautan api dan tentu saja menelan puluhan jiwa warga etnis Madura.
Adapun pemicu Rusuh Kumai saat itu adalah perkelahian antara seorang pengusaha yang warga setempat melawan kelompok Matribut, pengusaha sukses asal Madura.
Perkelahian itu sendiri sebenarnya hanya faktor pelengkap penderita saja. Sebab pada dasarnya warga Kumai sudah cukup gerah dengan ulah Matribut Cs.
Selain dianggap biang berbagai aksi kriminal di Kumai, Matribut Cs juga seperti kelompok kriminal yang tak bisa disentuh hukum.
Malah, Matribut ini pulalah satu-satunya okem yang sempat menorehkan memori buruk pada Kapolres Kobar, AKBP Drs Jusman Aer. Pasalnya, Matribut disebut sempat mengalungkan celurit ke leher sang kapolres.
Meski rusuh Kumai saat itu boleh dikatakan sudah bernuansa etnis, namun untungnya tidak sampai berlanjut menjadi perang etnis. Sebab, sasaran warga memang hanya Matribut dan kroninya.
Kendati demikian, kasus Rusuh Kumai ini sendiri tak jelas penyelesaiannya. Bahkan Matribut hingga kini masih belum berhasil ditangkap, walaupun belakangan namanya sempat kembali muncul di Kuala Pembuang hingga Passus (Pasukan Khusus) Dayak melakukan perburuan ke sana.
Kembali ke masalah rusuh part II di Kumai, ada satu sisi unik yang menyertainya.
Selain, rusuh ini juga dimulai pada hari Sabtu (31/3) sama dengan awal Prahara Sampit yang terjadi pada Sabtu (18/2), juga penyebab awal merebaknya peperangan ini pun sama persis, yakni aksi pembakaran.
Bedanya, bila kasus prahara Sampit bermula dari pembakaran beberapa warga etnis Madura terhadap rumah Timil, warga etnis Dayak, maka di Kumai, aksi pembakaran ini disebut justru dilakukan warga etnis Dayak.
Aksi pembakaran rumah milik H Senah dan Israel, dua warga etnis Madura di Jalan A Yani Kelurahan Baru Kecamatan Arut Selatan itu terjadi pada Sabtu (31/3) malam. Salah seorang keluarga H Israel yang bernama Husin tewas dalam insiden ini.
Meski, Minggu (1/4) siang situasi sudah mulai normal, namun pada malamnya Pangkalan Bun mencekam kembali, setelah ada isu penyerangan terhadap etnis Madura di Kelurahan Cantik, Kumai.
Isu itu membuat warga di setiap sudut kota melakukan penjagaan swakarsa. Di sudut-sudut gang, para warga melakukan pengamanan dengan berbekal senjata tajam.
Namun, menurut Kapolres Kobar, AKBP Drs Jusman Aer, upaya warga itu hanya sebagai tindakan antisipasi saja.
"Mereka hanya membuat barikade. Sampai tadi malam, tidak ada aksi lanjutan. Bahkan sampai pagi, Pangkalan Bun sudah aman," ujar Jusman kepada wartawan, Senin (2/4) pagi.
Namun, pernyataan Jusman itu langsung berbalik 180 derajat seiring pecahnya aksi lanjutan.
Sebab, hanya selang beberapa jam kemudian, atau sekitar pukul 13.30 WIB justru kembali terjadi bentrokan.
Bentrok antara warga etnis Dayak versus warga etnis Madura ini terjadi di Sungai Bedaun, Kumai, 15 Km dari Pangkalan Bun.
Tercatat sedikitnya ada dua korban tewas dalam bentrokan ini, yakni H Mohammad (setelah sebelumnya sempat dibawa ke RSUD Sultan Imanudin), dan satu korban yang tak diketahui identitasnya.
Sedang pada Senin (2/4) malam sekitar pukul 19.30 WIB korban bertambah lagi dengan tewasnya Samad, warga Kelurahan Raja RT 15.
Selanjutnya, Selasa (3/4), kembali dua warga tewas. Tapi kali ini bukan karena bentrokan, tapi kena terjangan peluru aparat keamanan saat menghalau massa yang melakukan aksi anarkis di Kelurahan Raja RT 15.
Sementara jumlah korban luka parah pada bentrokan di Kumai dan Pangkalan Bun mencapai 18 orang --yang kemudian dievakuasi ke rumah sakit.
Pangkalan Bun jadi Pangkalan Bom
Selain dipicu oleh aksi pembakaran terhadap rumah warga etnis Madura pada Sabtu (31/3) itu, timbulnya ketegangan ini juga berkait dengan adanya penemuan ratusan bom rakitan di rumah-rumah warga Madura. Berdasarkan hasil sweeping yang dilakukan polisi, selama sepekan berhasil menemukan 132 bom rakitan.
Menurut Kapolres Kobar, AKBP Drs Jusman Aer, bom-bom yang ditemukan itu terdiri dari 90 bom rakitan berisi mesiu (dibungkus plastik dicampur paku dan serpihan kaca) dan petasan ukuran besar sebanyak 42 buah.
Jumlah yang luar biasa banyak itu diyakini masih belum semuanya yang tersapu oleh aparat. Artinya, puluhan bahkan mungkin ratusan lainnya kemungkinan besar masih disimpan maupun dimiliki banyak warga (etnis Madura) lainnya.
Karena itu pula, sampai-sampai nama Pangkalan Bun diplesetkan menjadi `Pangkalan Bom', saking banyaknya bom rakitan yang ditemukan dan disembunyikan di kota kabupaten Kalteng ini.
Dengan adanya penemuan bom-bom ini, masyarakat makin percaya dengan selebaran gelap yang telah beredar di sana. Dalam selebaran tersebut, dikatakan bahwa etnis Madura telah menyiapkan kekuatan untuk melakukan penyerangan ke Kobar. Bahkan, disebutkan pula bila etnis Madura telah menyiapkan sejumlah bom.
Tak itu saja, selebaran menyebutkan etnis Madura menyiapkan basis kekuatan di Madurejo, Sodorejo, Kapitan, Sungai Tendang, Bedaun dan Candi yang kesemuanya kantong-kantong permukiman etnis ini. Bahkan, menurut selebaran itu, etnis Madura siap berperang.
Kapolres Kobar AKBP Drs Jusman Aer menyatakan, bom yang ditemukan aparatnya terdiri dari 90 bom rakitan berisi mesiu (dibungkus plastik dicampur paku dan serpihan kaca) dan petasan ukurang besar sebanyak 42 buah.
Untuk mengantisipasi keadaan, Muspida telah bersepakat setiap kapal yang datang ke Kobar melalui Pelabuhan Kumai selalu disweeping.
"Yang pertama sweeping tentang senjata sajam, peledak dan lainnya, yang kedua sweeping orang pendatang yang tak jelas tujuannya datang ke Kobar," ujar kapolres.
Selain itu, upaya mendinginkan situasi ini sebenarnya juga telah dilakukan. Sejumlah pejabat seperti Wagub Kalteng, Kapolda, wakil bupati dan Kapolres Kobar sudah melakukan perundingan untuk mendinginkan suasana di Kobar.
Namun, upaya perundingan damai tidak juga membuahkan hasil. Sebab warga asli ngotot menghendaki warga etnis Madura keluar dari Bumi Marunting Batu Aji itu.
Warga yang menolak perundingan ini lantas keluar dari ruang pertemuan dan berkonsentrasi di sekitar pasar Kumai.
Tidak berapa lama kemudian, sekitar pukul 14:00, lewatlah Haji Muhammad (50) yang mengendarai sepeda motor.
Namun, malang bagi pria yang diketahui berasal dari Madura ini. Sebab kerumunan warga saat itu langsung mencegat dan selanjutnya (astaghfirullah..) membantai Muhammad.
Wakil Ketua Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak Daerah Kalimantan Tengah (LMMDKT) Kobar, Udan Ronda, yang berada di lokasi berusaha menenangkan massa yang beringas, namun gagal.
Begitu pula dengan puluhan aparat dari TNI dan Polri yang berjaga-jaga di sekitar lokasi itu. Mereka tidak mampu menghalau massa yang beringas walaupun telah melepaskan tembakan peringatan.
"Begitu tembakan peringatan tidak digubris, polisi langsung mengarahkan senjatanya kepada warga, namun warga tetap tidak mengindahkannya," ujar seorang warga di sekitar lokasi kejadian.
Setelah insiden ini, selanjutnya aksi pembakaran dan pembantaian pun tak bisa dicegah lagi.
Tercatat terjadi sejumlah aksi pembakaran di antaranya dua rumah di Kampung Panggung (Kumai) di Jalan Raden Mangku, rumah milik H Fauzan di Jalan GM Arsyad Kelurahan Baru RT 18, rumah milik Iswanto (dua rumah kayu) di Kelurahan Raja RT 13 Gg Durian dan beberapa rumah di Jalan Tjilik Riwut Kelurahan Sidorejo RT 18.
Sedang mengenai data jumlah korban tewas, hingga saat ini masih simpang siur.
Memang, berdasarkan data `resmi,'jumlah korban tewas `hanya' empat orang. Namun, jumlah tersebut diyakini bisa berlipat-lipat mengingat aksi pembantaian ini terjadi di banyak tempat
atas
--------------------------------------------------------------------------------
Seret Dayak Perusuh!
DENGAN tidak meremehkan Pemprop Kalteng maupun aparat keamanan yang terus melakukan berbagai upaya untuk meredakan situasi, namun bercermin pada kasus sebelumnya yang melanda Sampit, Palangka Raya dan Kapuas, mestinya sudah saatnya dilakukan tindakan lebih adil dan tegas dalam penyelesaian konflik ini.
Sebab, selama ini hampir tak seorang pun yang memungkiri bila perlakuan terhadap warga etnis Madura sungguh sangat tidak adil.
Memang, kita juga tak menutup mata pada sifat dan sikap kebanyakan etnis Madura yang arogan dan tidak adaptif.
Namun, membantai dan mengusir mereka bukan pula langkah bijaksana dan berperikemanusiaan. Apalagi mereka adalah juga bangsa kita, yang sebenarnya lahir dan besar di bumi Kalteng, yang sebenarnya tak kenal dan tak pernah menginjakkan kaki ke tanah Madura sana, sebagaimana nama etnis yang mereka sandang.
Genangan darah dan tumpukan harta benda mereka yang tewas dan ludes di Sampit, Palangka Raya, Kapuas maupun beberapa daerah lainnya, rasanya sudah lebih dari cukup untuk menuntaskan dendam atas perilaku etnis Madura.
Sedang di sisi lain justru masih belum ada sanksi hukuman bagi para pembantai ini.
Malah, kalau boleh jujur, hampir semuanya justru berada di pihak etnis Dayak.
Padahal, masalahnya sudah bukan benar atau salah lagi, tapi aksi pembantaian yang mereka lakukan.
Hal ini, sampai-sampai membuat geregetan seorang pengacara keturunan Dayak yang ada di Banjarmasin.
"Mestinya aparat berani menindak tegas mereka yang jelas-jelas telah melakukan aksi pembantaian maupun aksi anarkis lainnya," ujarnya saat diwawancarai SCTV.
Malah, pengacara ini juga bersedia bila diajak langsung turun ke lapangan melacak para pembantai dan perusuh ini.
Ironisnya, setiap aparat keamanan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap para tersangka pembunuhan maupun aksi anarkis lainnya, maka gelombang pembelaan lewat tuntutan pembebasan mereka selalu saja berdatangan.
Payahnya, entah dengan pertimbangan apa, aparat keamanan selalu meluluskan tuntutan tersebut.
Malah seorang Asmawi Agani yang Gubernur Kalteng pun meski harus ikut mengeluarkan fatwa untuk pembebasan ini saat Polda Kalteng menahan puluhan tersangka pembantai dan pembuat aksi kerusuhan di Sampit.
Kenyataan ini, selain tidak mencerminkan keadilan, juga sangat potensial semakin membuat etnis Dayak --baik itu mereka yang tergabung dalam pasukan khusus (passus) maupun tidak-- terus bergerak melakukan aksi serupa.
Kalau sudah begini, kemungkinan buruk lainnya seperti sweeping yang terus berlanjut dengan area yang semakin meluas, dijamin tak seorang pun yang bisa mencegahnya.
Dan, contoh aktualnya bisa dilihat dari rembetan perang etnis yang terjadi di Kobar ini.
Malah, belakangan juga diketahui bila warga yang melakukan penyisiran di daerah Sungai Ulin, Sungai Bedaun dan Kumai, bukan warga Dayak setempat. Menurut keterangan, mereka adalah warga Dayak asal Kotim yang memasuki wilayah itu melalui areal perkebunan kelapa sawit.
Malah, Minggu (1/4) pagi sekitar pukul 09.30 WIB, enam truk yang mengangkut pasukan khusus (Passus) Dayak disebut-sebut sudah melintas di Desa Sebabi menuju Pangkalan Bun.
Menurut Rahmad, salah seorang warga di Desa Sebabi yang melakukan pamswarkarsa, Passus Dayak itu bahkan sudah tampak sejak malam harinya.
"Tadi malam sudah ada empat truk Passus Dayak yang melintas menuju Pangkalan Bun. Mereka membawa peralatan perang seperti tombak, mandau dan sumpit," tutur Rahmad kepada BëBAS.
Lalu, bagaimana cara Passus Dayak ini masuk sementara jalan dijaga ketat oleh aparat?
"Tentu saja mereka tidak melalui jalan raya yang dijaga aparat," ungkap Rahmad.
Passus Dayak ini, kata Rahmad lagi, sengaja potong kompas melalui jalan-jalan beberapa perusahaan kayu, maupun lewat hutan dan sungai-sungai. Dan, hal seperti itu sudah biasa bagi mereka. Apalagi mereka juga dipimpin langsung oleh Panglima Kemeloh, ujar Rahmad.
Masih menurut Rahmad, Passus Dayak yang datang dari Sampit dan Palangka Raya ini langsung bergerak begitu mendapat informasi bahwa di Pangkalan Bun telah terjadi bentrok antara warga Madura dengan warga Dayak setempat.
Parahnya, bentrokan itu disebut telah merenggut tiga korban warga Dayak.
Padahal, berdasarkan pantauan BëBAS, saat terjadi aksi pembakaran rumah warga etnis Madura pada Sabtu (31/3) malam itu, sebenarnya tak ada korban jatuh dari warga etnis Dayak.
Tapi, entah mengapa berita yang beredar justru menyebutkan
tiga warga etnis Dayak telah menjadi korban.
Dan, entah didasari kesadaran akan kenyataan ini atau hal lainnya, jajaran Polda Kalteng menyatakan telah mengamankan 15 tersangka perusuh dengan dua di antaranya sebagai tersangka pembunuh pada kasus konflik Kobar ini.
"Untuk pengamanan, para tersangka tersebut akan dibawa ke Palangka Raya untuk diproses lebih lanjut," ujar Kapolda Kalteng Kombes Drs Lodewyk Penyang SH, Rabu pekan lalu.
Lodewyk yang juga putra Dayak ini juga meminta masyarakat tidak memandang penangkapan karena pertikaian yang terjadi, melainkan disebabkan tuntutan penegakkan supremasi hukum.
"Kita hanya menginginkan hukum ditegakkan dan penangkapan tersebut bukan sebagai tindakan diskriminatif," tandasnya.
Meski, mungkin pernyataan Lodewyk itu bukan sekadar pengukuhan dirinya yang baru sekitar dua pekan menjabat Kapolda Kalteng, namun kecurigaan lain justru muncul saat diperoleh pula informasi tentang dipulangkannya sekitar 72 warga Dayak asal Kotim.
"Mereka yang tidak terbukti terlibat, kita pulangkan ke Sampit (Kotim) dengan bus," jelas Kasatserse Polres Kobar, AKP Sahala Sitohang SH, Rabu pekan lalu.
Tokoh Pelindung Passus
Tindakan aparat ini, boleh jadi bisa sedikit membantu meredakan dan mencegah kemungkinan berlanjutnya peperangan.
Namun begitu, bisa pula malah justru kembali makin memicu ketegangan.
Sebab, selain penahanan ini kemungkinan besar tidak bisa diterima warga etnis Dayak, juga bukan mustahil gelombang penyerbuan malah makin membesar.
Bahkan, bukan tidak mungkin malah aparat keamanan akan ikut-ikutan jadi `musuh' etnis Dayak.
Ini sudah terbukti dengan bentroknya warga etnis Dayak dengan enam anggota Brimob yang bertugas melakukan pengawasan di sepanjang Jalan Jenderal Soedirman arah Sampit-Pangkalan Bun, Jumat (6/4).
Akibat pencegatan itu, tiga di antara enam anggota pasukan elit Polri tersebut, tewas, dua di antaranya dengan leher digorok. Sedang seorang lainnya, luka parah.
Ketiga korban tewas itu, yakni Komandan Pleton (Danton)
Ipda Dedi, Brigda Riko, Brigda Rochman. Sementara yang luka berat, Marwan. Sedang dua anggota Brimob lainnya berhasil menyelamatkan diri.
Penyerangan terhadap enam anggota Brimob itu, terjadi di Desa Bangkal, Kecamatan Danau Sembuluh, Kotim sekitar pukul 13.00 WIB.
Informasi yang diperoleh menyebutkan, penyerangan itu diduga kuat akibat tertahannya selama beberapa hari puluhan truk yang berisi pasukan khusus Dayak di perbatasan Kotim-Kobar.
Sementara, informasi lain yang berhasil dihimpun, ke enam angota Brimob itu tengah mengendarai mobil jeep Daihatsu Taft ingin kembali berangkat ngepos di sepanjang Jalan Jenderal Soedirman arah Sampit-Pangkalan Bun.
Namun, saat rombongan yang datang dari Sampit itu melintas di km 41, tepatnya di simpang jalan Desa Bangkal, mereka dihentikan massa yang menggunakan senjata tajam lengkap.
Saat itu, mobil rombongan Brimob sempat berhenti, bahkan Ipda Dedi yang merupakan komandan pleton kesatuan itu, langsung turun dari mobil menuju ke arah massa.
Entah kenapa saat sedang berbincang-bincang, komandan pleton itu langsung diserang sekelompok massa yang bersenjata tajam dengan berbagai jenis itu.
"Komandan pleton itu langsung diserang tanpa sebab," ujar seorang petugas RSUD dr Murjani menyitir perbincangannya dengan salah seorang dari enam anggota Brimob yang selamat.
Saat itulah, massa yang diduga warga etnis Dayak dan anggota Brimob lainnya bersitegang. Namun, perlawanan enam anggota Brimob itu tampak tak seimbang, meski mereka dilengkapi dengan senjata api.
Massa masih terlalu kuat. Akibatnya, dua anggota Brimob tewas di TKP dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, leher tergorok. Sementara dua lainnya, sempat dilarikan ke RSUD dr Murjani Sampit. Namun setibanya di rumah sakit, seorang di antaranya menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Selain itu, pengumunan penahanan para tersangka perusuh dan pembantai ini ternyata juga masih belum membuat kapok etnis Dayak, khususnya mereka yang tergabung dalam Passus Dayak.
Sebab seperti yang diberitakan, mereka malah melempar ultimatum kepada para warga etnis Madura yang masih tersisa di Kobar.
Mereka menghendaki Kobar bersih dari warga etnis Madura paling lambat 7 April.
Dan, meski ternyata kemungkinan buruk seperti yang dibayangkan tidak sampai terjadi, namun tetap saja hal ini bukan jaminan keadaan menjadi lebih baik.
Kendati demikian, rasanya berbagai upaya pendinginan situasi mesti terus dilanjutkan.
Dan, salah satunya ada baiknya juga melakukan pendekatan dan memberikan pengertian lewat tokoh masyarakat Dayak yang selama ini berhubungan erat dengan Passus Dayak ini.
Sebab, berdasarkan pantauan BëBAS di Kapuas, Palangka Raya dan Sampit, tokoh pelindung Passus Dayak ini punya peran besar.
Tanpa menuding merekalah tokoh penggerak di balik berbagai aksi Passus Dayak, namun paling tidak dari mereka inilah move dan rencana penyerbuan Passus Dayak dapat diketahui.
Jadi, bila pun lewat cara ini mungkin masih belum ampuh, mungkin tak ada pilihan lain kecuali menindak tegas para perusuh dan pembuat keonaran ini. Sebab logikanya, kerusuhan ini tak bakalan merembet ke mana-mana kalau aparat berani tegas, misalnya tembak di tempat. Namun sejauh ini, tindakan itu tak dilaksanakan, aparat lebih mengandalkan upaya persuasif yang hasilnya sudah kita ketahui, tidak ampuh.
Nah, sekarang aparat berani tidak?!
atas
--------------------------------------------------------------------------------
Madura Emoh Patuhi Kesepakatan
Danthe Thoedore SE, Ketua LMMDDKT Kobar
MESKI Ketua LMMDDKT Kobar Danthe Thoedore SE sudah menghimbau dan menenangkan masyarakat di Kobar, namun situasi tegang dan mencekam tetap saja tak bisa dihilangkan.
Bahkan himbauan Danthe agar warga Dayak di Sampit dan Palangka Raya tidak perlu datang ke Kobar terkesan seperti tak diindahkan.
Warga sudah kadung mempercayai isi selebaran yang di antaranya menyebutkan bahwa tiga warga Dayak tewas oleh etnis Madura, etnis Madura telah memiliki Bom sebanyak 10 pick up dan orang Madura telah melakukan persiapan untuk melakukan pembalasan ke Sampit dan Palangka Raya.
"Karena itu, selain kami tetap konsisten pada komitmen perdamaian yang juga telah disepakati tokoh-tokoh dari berbagai etnis yang ada di Pangkalan Bun, saya juga sangat berharap polisi mengusut dan menindak tegas orang yang membuat isu dan selebaran tersebut," kata Danthe.
Selain itu, ujar Danthe, berdasarkan kesepakatan bersama tersebut, diharapkan warga dari etnis Madura yang memiliki bom segera menyerahkannya kepada aparat keamanan.
"Tapi, sepengetahuan saya, sampai sekarang belum ada yang menyerahkan bom kepada polisi, meskipun untuk ini memang tidak ditentukan batas waktunya," timpal Danthe.
Kendati demikian, Danthe tetap berharap ketegangan di Pangkalan Bun segera berakhir dan keamanan cepat pulih seperti semula.
"Apalagi pada dasarnya berbagai etnis di Pangkalan Bun ini telah sepakat untuk menciptakan kedamaian bersama, sebagaimana ikrar yang telah diucapkan," tutur Danthe.
atas
--------------------------------------------------------------------------------
Rakit Bom untuk Pertahankan Diri
MENURUT Yadi (25), salah satu warga Pangkalan Bun yang ditemui BëBAS, Sabtu (30/3), sebenarnya banyak juga warga Pangkalan Bun yang percaya bila banyak warga etnis Madura yang ada di sana memiliki maupun menyimpan bom (rakitan).
Dan keyakinan itu bagai disahihkan dengan penemuan sekitar 132 bom rakitan oleh jajaran Polres, pekan sebelumnya.
Malah penemuan ini juga berlanjut ketika Jumat (29/3) kembali ditemukan tujuh bom rakitan di rumah warga etnis Madura di Kampung Panggung.
"Memang, isu yang beredar di sini warga etnis Madura telah melakukan persiapan untuk menyusun kekuatan dan melakukan penyerangan," ujar Yadi.
Dan, sebagai basis kekuatan mereka, kata Yadi, adalah Kelurahan Madurejo, Sidorejo, Kapitan, dan Sungai Tendang di Pangkalan Bun.
"Meski pun banyak juga warga yang tidak mempercayai isu itu," timpal Yadi.
Sebab, imbuh Yadi, warga etnis Madura banyak terdapat di tempat-tempat tersebut karena tempat tinggal mereka memang di sana.
Selain itu, tambah Yadi, banyak juga dari warga etnis Madura ini yang mengungsi ke sana lantaran takut.
"Dan, berdasarkan pengakuan seorang teman saya, karena alasan itulah banyak di antara warga etnis Madura memilih untuk memiliki bom rakitan. Ini tak lain untuk mempertahankan diri kalau-kalau ada serangan dari orang Dayak, seperti di Sampit, Palangka Raya dan Kapuas," ungkap Yadi.
"Tapi, benar atau tidak, yang pasti begitulah yang dituturkan teman saya yang juga warga etnis Madura itu," timpal Yadi.
atas
--------------------------------------------------------------------------------
Aparat Sweeping, Passus Dayak Potong Kompas
MESKI pihak Pemkab Kota Waringin Barat (Kobar) maupun aparat keamanan setempat menyatakan Kobar tidak akan jadi seperti Sampit, namun penjagaan ketat maupun sweeping dari Polres Kobar dan Kodim 1014/Pangkalan Bun terhadap setiap warga yang masuk maupun keluar dari Pangkalan Bun, justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Dari Desa Asam Baru yang merupakan perbatasan Kotawaringin Timur (Kotim) dan Kobar hingga masuk ke Pangkalan Bun, sedikitnya ada 12 pos keamanan yang dijaga anggota polisi dan tentara.
Di masing-masing pos ini, setiap warga maupun kendaraan yang melintas langsung diperiksa. Baik itu identitas diri maupun barang bawaan.
Kendati demikian, upaya tersebut masih belum dapat mengungkap tersangka pelaku aksi pembakaraan dua rumah warga etnis Madura di Jalan A Yani Kelurahan Baru, pada Sabtu (31/3) malam sekitar pukul 22.45 WIB, yang juga merupakan pemicu terjadi ketegangan di wilayah Kobar.
Malah, Minggu (1/4) pagi sekitar pukul 09.30 WIB, enam truk yang mengangkut Pasukan Khusus Dayak (Passus Dayak) disebut-sebut sudah melintas di Desa Sebabi menuju Pangkalan Bun.
Menurut Rahmad, salah seorang warga di Desa Sebabi yang melalukan pamswarkarsa, Passus Dayak itu bahkan sudah tampak sejak malam harinya.
"Bahkan, tadi malam sudah ada empat truk Passus Dayak yang melintas menuju ke Pangkalan Bun. Mereka membawa peralatan perang seperti tombak, mandau dan sumpit," tutur Rahmad kepada BëBAS.
Lalu, bagaimana cara Passus Dayak ini masuk sementara jalan dijaga ketat oleh aparat?
"Tentu saja mereka tidak melalui jalan raya yang dijaga aparat," ungkap Rahmad.
Passus Dayak ini, kata Rahmad lagi, sengaja potong kompas melalui jalan-jalan beberapa perusahaan kayu, maupun lewat hutan dan sungai-sungai. Dan, hal seperti itu sudah biasa bagi mereka. Apalagi mereka juga dipimpin langsung oleh Panglima Kemeloh, ujar Rahmad.
Masih menurut Rahmad, Passus Dayak yang datang dari Sampit dan Palangka Raya ini langsung bergerak begitu mendapat informasi bahwa di Pangkalan Bun telah terjadi bentrok antara warga Madura dengan warga Dayak setempat.
Parahnya, bentrokan itu disebut telah merenggut tiga korban warga Dayak.
Padahal, berdasarkan pantauan BëBAS, saat terjadi aksi pembakaran rumah warga etnis Madura pada Sabtu (31/3) malam itu, sebenarnya tak ada korban jatuh dari warga etnis Dayak.
Tapi, entah mengapa berita yang beredar justru menyebutkan
tiga warga etnis Dayak telah menjadi korban.
Akibatnya, selain kedatangan Passus Dayak sudah tak bisa dicegah lagi, pertempuran yang lebih besar lagi pun sangat potensial meledak tanpa jaminan bisa diredakan secepat mungkin.
Jadi, akankah Kobar akan menyusul Kotim tuk menjadi lautan api dan darah?
----***---
Selamat Tinggal Kalimantan Tengah!
Walau dengan perasaan yang amat berat, warga etnis Madura akhirnya terpaksa harus mengucapkan Selamat Tinggal untuk Kalimantan Tengah. Setelah Kabupaten Kotawaringin Timur, Palangka Raya, Barito Utara dan Barito Selatan, kini giliran warga Madura yang bermukim di Kabupaten Kotawaringin Barat yang diburu warga Dayak.
AKSI perburuan itu hingga kini terus dilakukan. Target mereka, Kotawaringin Barat yang juga dikenal dengan julukan Bumi Marunting Batu Aji itu harus segera bersih dari warga Madura.
Upaya perburuan itu dilakukan dengan tujuan agar tak ada satu orang pun warga Madura yang tinggal di daerah Kalimantan Tengah, sesuai dengan tuntutan warga Dayak seperti tertuang dalam poin 2 dari 11 poin pernyataan sikap seluruh warga Dayak Kalteng hasil rapat para demang suku Dayak di Hotel Rama Sampit, 24 Februari lalu.
Seperti diketahui, aksi Pasukan Khusus (Passus) Dayak yang memburu warga Madura itu merupakan buntut dari pertikaian etnis yang puncaknya terjadi di daerah Sampit pada pertengahan Februari lalu.
Pertikaian itu sendiri sebenarnya hanya karena dipicu oleh tingkah laku segelintir oknum warga Madura. Akibatnya, ternyata justru di luar dugaan. Warga Dayak yang selama ini dikira akan mengalah --seperti yang sudah sering terjadi-- ternyata malah bertindak sebaliknya. Mereka bersatu padu dan menganggap warga Madura sebagai musuh.
Sebagai konsekuensi dari sikap --yang menganggap warga Madura sebagai musuh bersama-- tersebut, warga Dayak lalu bahu membahu mengangkat senjata. Yang terkena imbasnya tentu saja tak hanya orang-orang dekat dari kelompok warga Madura yang menjadi pemicu persoalan, tetapi juga merembet ke puluhan ribu warga Madura lainnya yang tak tahu-menahu.
Selain terusir dari daerah yang telah puluhan tahun dihuni, tak sedikit di antara mereka kehilangan orang-orang atau anggota keluarga yang dicintai. Dendam dan kebencian telah menyebabkan anak manusia menjadi gelap mata, sehingga saling bunuh pun sudah merupakan hal yang biasa.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tak diinginkan, berdasarkan hasil pertemuan antara Muspida Kobar dengan tokoh masyarakat Madura setempat, diperoleh kesepakatan bahwa seluruh warga Madura akan meninggalkan daerah tersebut.
Walaupun dengan perasaan hati yang berat, itulah keputusan terbaik yang harus diambil. Sebelum adanya keputusan itu, memang tak sedikit warga Madura yang ngotot ingin bertahan di daerah Kotawaringin Barat. Yang jadi masalah, jika tindakan itu memang dilakukan dipastikan daerah itu akan banjir darah.
"Jika mereka masih juga ngotot bertahan, terlebih lagi melakukan perlawanan, banjir darah bakal menggenang di Kota Pangkalan Bun," tandas seorang warga Dayak, seperti dikutip harian Banjarmasin Post.
Menurut warga Dayak itu, sebanyak apa pun aparat keamanan ditempatkan di Kobar, jika suku Dayak sudah menyatakan `perang', keberadaan aparat itu hanya akan dipandang sebelah mata.
"Contohnya saja Kota Sampit ketika pecah konflik. Berapa banyak anggota Polri dan TNI diterjunkan ke daerah itu? Nyatanya, pembunuhan dan pembakaran masih tetap terjadi, bahkan tak sedikit yang dilakukan di depan mata aparat keamanan," katanya meyakinkan.
Karena itu, ujar sumber, sebelum banyak jatuh korban jiwa sia-sia, alangkah baiknya warga pendatang etnis Madura dengan berbesar hati mau mengungsi sementara keluar dari wilayah Kobar.
"Biar persoalan di Kobar ini, pemkabnya dengan berbagai upaya dan usaha meredam suku Dayak untuk menambah korban lagi. Nanti jika situasi sangat memungkinkan, baru kembali seperti semula," katanya.
Upaya Penyelesaian
Ratusan nyawa telah melayang dengan sia-sia. Selain itu, tak sedikit harta benda yang bertahun-tahun dikumpulkan dengan susah payah, ikut musnah tanpa bekas. Di pihak lain, konflik antaretnis itu sendiri tak menunjukkan tanda-tanda bakal segera berakhir. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan ini?
Setelah melakukan berbagai pertemuan baik dengan Gubernur Kalteng, Danrem 102/Panju Panjung, Kapolda serta para tokoh masyarakat dan para alim ulama di daerah itu, Tim Komisi I DPR-RI menyarankan bahwa upaya mengatasi konflik antaretnis tersebut memerlukan tiga konsep yang harus dilaksanakan melalui tahapan-tahapan.
Konsep pertama yang merupakan tindakan jangka pendek yang harus segera dilaksanakan yaitu menghentikan kerusuhan yang terjadi agar tidak meluas ke daerah lain oleh aparat keamanan baik TNI maupun Polri.
Khusus Pangkalan Bun yang saat ini sudah mulai pecah konflik antaretnis diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat, LSM dan Gubernur Kalteng untuk menilai apakah sudah dipandang perlu untuk diberlakukannya keadaan darurat sipil. "Sedangkan konsep kedua yang merupakan jangka menengah yaitu menyelesaikan konflik secara hukum terutama terhadap aktor utama atau provokator yang memicu pecahnya konflik antaretnis di Kalteng," kata Permadi SH yang menjadi jurubicara saat melakukan pertemuan dengan insan pers dan LSM di Palangka Raya, pekan lalu.
Selain itu, lanjut dia, harus dilakukan rehabilitasi fisik terutama rumah-rumah penduduk yang rusak akibat tragedi kemanusiaan yang memakan korban ratusan orang. Namun tampaknya kemampuan daerah mengalami keterbatasan dana untuk itu disarankan agar dinyatakan sebagai daerah bencana nasional sehingga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
"Jika hal di atas bisa dilakukan dengan baik, baru dibicarakan upaya pengembalian kembali para pengungsi ke Kalteng tentunya dengan melakukan seleksi secara ketat," kata Permadi, seperti dikutip Antara.
Sedangkan konsep terakhir atau tindakan jangka panjang yang perlu dipersiapkan yaitu mengeluarkan undang-undang maupun rancangan perundang-undangan menyangkut pembauran antaretnis di Kalteng untuk mencegah terjadinya kasus serupa yang juga terjadi di daerah lain di Tanah Air.
Sementara terhadap para transmigran hendaknya dilakukan penelitian secara mendalam baik menyangkut pembekalan maupun pembinaan, karena selama ini para transmigran mendapat berbagai fasilitas sehingga menimbulkan kecemburuan sosial bagi masyarakat lokal dan hal itu sebagai salah satu pemicu meluasnya konflik. Bisakah rekomendasi itu dilakukan?
Jawaban atas pertanyaan itulah yang kini tengah dinantikan. Masalahnya, sejak pecahnya pertikaian etnis di Kalimantan Tengah, puluhan bahkan ratusan pejabat penting negeri ini telah datang ke sana. Nyatanya, hingga kini tak satu pun yang bisa mencarikan jalan keluarnya.
Umumnya, tindakan yang mereka lakukan hanya sebatas meninjau lokasi konflik. Setelah itu lalu memberikan keterangan pers seiring dengan habisnya waktu kunjungan kerja.
Konflik ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Konflik ini tak akan bisa diselesaikan hanya dengan adu pernyataan ataupun pamer cucuran airmata, seperti yang ditunjukkan Wakil Presiden Megawati saat berkunjung ke Sampit beberapa waktu lalu. Untuk mengakhiri konflik ini, para pejabat pusat dan daerah, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat yang bertikai harus segera duduk dalam satu meja perundingan, lalu bahu membahu mencari jalan keluarnya.
Pertikaian ini harus segera dihentikan. Sudah cukup banyak darah warga tak berdosa yang membasahi bumi Kalimantan. Kita tentu sepakat, dalam setiap pertikaian tentu yang menang jadi arang dan yang kalah jadi abu. Tak lebih dari itu!