PENDIDIKAN
DAN DEMOKRASI
Oleh Julius Hermawan
Negara kita Indonesia sejak dua tahun belakangan ini
banyak dihembusi oleh angin demokrasi yang dipadatkan dalam bentuk berbagai
keinginan dan tuntutan dengan mengatas-namakan rakyat.
Keinginan untuk lepas dari pemerintahan yang terlalu lama berkuasa dan
membentuk pemerintahan baru yang diharapkan membawa angin segar dalam berbagai
segi kehidupan. Keinginan untuk
mengedepankan sifat keterbukaan dalam berbagai isu nasional agar rakyat sebagai
pemegang kedaulatan bisa memonitor dan mengkontrol secara langsung semua
kebijakan yang dilakukan pemerintah. Keinginan
untuk mengeluarkan pendapat secara lebih bebas.
Keinginan untuk mendapatkan otonomi lebih besar dalam pengelolaan daerah.
Semua ini dilapis dalam kata demokrasi, suara yang berasal dari rakyat.
Apa
yang mencuatkan keinginan berdemokrasi ini?
Penyebab yang paling sering diajukan adalah dengan menghubungkannya
dengan kemerosotan kehidupan ekonomi negara yang jatuh akibat ketidak-stabilan
nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang efek domino-nya juga membuat
kehidupan politik dan pemerintahan menjadi ikut goyah.
Tetapi penulis yakini faktor ekonomi ini hanya sebagai satu pemicu,
penyebab yang utama adalah adanya tingkat pemikiran rakyat yang lebih baik, yang
merupakan produk keberhasilan program pendidikan.
Pendidikan membuka cara berpikir setiap insan terhadap hidup yang
berbudaya, kecanggihan teknologi, konsep kesamaan dalam
perbedaan, persamaan hak dan
kewajiban, dan harapan dalam hidup. Tingkat
pendidikan yang lebih baik telah menggantikan sikap patuh dan diam dengan sikap
kritis dan aktif. Inilah yang
membangkitkan semangat reformasi untuk berdemokrasi di kalangan masyarakat
terutama dalam menyikapi kondisi pemerintahan dan negara pada saat itu.
Namun dalam perkembangannya, di sisi lain ternyata produk pendidikan ini
sekarang bukan hanya memberi dampak yang positif, tetapi juga memiliki dampak
yang negatif terhadap kehidupan demokrasi saat ini.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi satu alternatif
solusi dalam memperbaiki kekurangan dari sistem pendidikan yang ada dalam
membentuk masyarakat demokrasi. Pendidikan
dalam tulisan ini dibatasi pada pendidikan formal di sekolah.
Dalam paparan ini akan
dibahas bagaimana pendidikan memiliki posisi yang sentral dalam menumbuhkan alam
demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kemudian dibahas sistem
pendidikan yang sekarang dipraktekkan di lembaga pendidikan dan dicoba
dihubungkan antara hasil dari sistem pendidikan tersebut dengan fenomena
kontemporer yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia
belakangan ini, terutama untuk menjawab pertanyaan: ‘Apakah kita sudah berada
di jalan yang benar dalam menuju Indonesia baru yang demokratis?’.
Pada akhirnya dibahas bagaimana sistem belajar interaktif itu yang
penulis yakini bisa memberi angin baru dalam usaha sistem pendidikan nasional
membentuk generasi mendatang untuk menjadi lebih baik dalam pemikiran dan etika
demokrasi.
Di sektor ekonomi, pendidikan memberi sumbangan
dengan penyediaan tenaga kerja terdidik. Perkembangan
sistem ekonomi dari basis pertanian ke basis industri membuktikan hal ini.
Revolusi industri yang dikarakteristikkan dengan sistem pembagian kerja
membutuhkan tenaga kerja yang lebih terampil dalam suatu pekerjaan.
Perkembangan lebih lanjut dengan pemanfaatan teknologi canggih dan
perkembangan industri jasa yang bertumpu pada kemampuan manusia telah lebih
memberi tempat yang lebih bagi sektor pendidikan terutama sebagai penghasil
tenaga kerja yang siap pakai yang diperlukan oleh sektor ekonomi.
Di sektor sosial-budaya, pendidikan merupakan satu
wahana bagi setiap insan untuk memperbaiki hidup dalam proses evolusi keluarga.
Orang tua yang hanya petani dengan kepemilikan
sawah kurang dari satu hektar, dengan segala usaha memberikan kesempatan belajar
pada anaknya di tingkat perguruan tinggi pertanian dengan harapan sang anak akan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari dirinya: misalnya menjadi pengusaha
dalam bidang agroindustri. Pendidikan
memberi kesempatan pada setiap individu untuk memperbaiki strata dan status
sosialnya. Dalam hal ini pendidikan
telah merombak sistem strata dan status sosial berdasarkan kelahiran: anak
bangsawan adalah bangsawan, anak petani adalah petani.
Melalui jalur pendidikan, seorang anak petani bisa menjadi pengusaha dan
memiliki status sosial yang sama dengan kaum bangsawan dan golongan lainnya
dalam masyarakat.
Di
sektor politik, pendidikan memberi pengetahuan mengenai hak dan kewajiban
warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan mengetahui hak dan kewajibannya, warganegara dengan tingkat
pendidikan baik akan bersifat kritis terhadap pelaksanaan pemerintahan di
kehidupan sehari-hari. Warganegara
akan menuntut untuk didengarkan suara dan pendapatnya untuk turut serta
menentukan nasib bangsa dan negaranya. Ini
hal yang positif bagi rakyat, tetapi tidak untuk beberapa penguasa pemerintahan.
Kemajuan ini malah menimbulkan ketakutan para penguasa pemerintahan
diktator terhadap pendidikan, karena sejarah juga telah membuktikan bahwa
kediktatoran umumnya berlaku pada masyarakat yang miskin dan tidak berpendidikan. Tetapi bukan hanya pemerintahan diktator saja, pemerintahan
demokratis pun kadang melihat pendidikan sebagai pemicu kekacauan dalam negara.
Pendidikan dan politik bisa tidak akur dalam menyikapi aspek ini.
Demokrasi yang dikenal luas sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ditandai dengan adanya pengakuan dan
praktek persamaan hak dan kewajiban dalam masyarakat luas.
Pendidikan berjasa dalam membentuk pondasinya: rakyat yang tahu hak dan
kewajibannya, rakyat yang mengakui persamaan kedudukan di dalam hukum dan
pemerintahan, membuka kesempatan yang luas bagi semua lapisan masyarakat dalam
mencapai persamaan, dan membentuk rakyat yang kritis.
Dengan demikian pendidikan tidak saja memungkinkan tumbuhnya alam
demokrasi, tetapi juga membuat demokrasi menjadi hal yang utama untuk hadir di
tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di
sekolah, pembaca pasti pernah diberi pertanyaan berikut oleh bapak atau ibu guru
di ulangan ataupun sewaktu menyampaikan pelajaran: ‘Di mana ibukota negara
Republik Indonesia?’. Jawabannya
jelas hanya satu yang benar, Jakarta. Tetapi
pernahkan pembaca diberi pertanyaan berikutnya: ‘Kenapa Jakarta dijadikan
ibukota negara RI?’. Jawabannya
tidak hanya satu, tetapi banyak bahkan semuanya bisa benar. Bisa dilihat dari sejarah, dari letak geografis, dari segi
pertahanan-keamanan, dan bahkan dari segi feng-shui.
Mengapa tidak pernah ditanyakan? Banyak
alasannya: terlalu banyak jawaban sehingga menyulitkan memeriksa dan
berlarut-larut bila didiskusikan, waktu belajar kurang dibandingkan bahan
pelajaran dalam kurikulum, murid hanya perlu jawaban yang eksak, dan lain-lain.
Dalam
ujian dan ulangan, soal berbentuk pilihan ganda mendominasi dengan soal essay
yang kebanyakan juga hanya untuk menyebutkan sesuatu yang jawabannya sudah pasti
sebagai pelengkap untuk membantu penilaian. Siswa dilatih untuk memilih satu jawaban benar dari 4
kemungkinan jawaban yang diberikan, tak perlu berkreasi dalam menjawab.
Demikian
pula dalam penyampaian materi pelajaran, guru kebanyakan hanya menyampaikan
materi yang bersifat ilmu pengetahuan dengan tujuan agar siswa tahu dan
mengingatnya. Belajar hanya sebagai
proses memorization.
Hasil
yang bisa dipanen dari sistem pendidikan yang seperti di atas adalah:
·
Paradigma satu arah: satu pihak
selalu berada di atas pihak yang lainnya sehingga komukasi yang terjadi adalah
searah. Ini bisa kita saksikan di
ruang sidang DPR, anggota DPR membeberkan pertanyaan dan pihak pemerintah
menjawab. Tidak terjadi pertukaran
ide dan pemikiran yang seharusnya bisa menyempurnakan solusi bagi permasalahan
yang dihadapi.
·
Paradigma satu saja yang benar:
ini bukan hanya dalam menjawab tetapi juga dalam menyikapi perbedaan dalam
memberikan jawaban yang berbeda. Saya
benar, kamu salah. Skala lebih luas
lagi adalah dalam menyikapi perbedaan dalam berbagai dimensi kehidupan: ideologi,
politik, agama, suku bangsa, ras, dan golongan.
·
Paradigma bahwa komunikasi tidak
bisa menyelesaikan masalah: ini
adalah runtunan akibat dari paradigma satu saja yang benar dan ketidak-tahuan
bagaimana etika berkomunikasi. Dampak
ini yang belakangan sering kita rasakan lebih ke arah negatif.
Pertentangan pendapat tidak diselesaikan secara diskusi tetapi melalui
kekuatan otot, pengerahan massa dan kekerasan.
·
Siswa tidak terlatih untuk
berpikir dan menjadi kreatif: siswa
hanya tahu dan tahu pengetahuan (ilmu sosial dan alam) dasar yang tertulis dalam
buku teks. Siswa hanya dipacu untuk
menggunakan daya ingatnya saja, tidak daya nalarnya.
Siswa cuma dibentuk sebagai pengganti kamus pintar.
·
Siswa tidak siap untuk menerima
penolakan atau kekalahan: ini bisa kita lihat dari peristiwa kecil di sekitar
lampu merah, dimana banyak anak usia sekolah mengamen atau menawarkan jasa
membersihkan kaca, si anak tidak siap menerima kenyataan bahwa tidak setiap
pengemudi memiliki keinginan untuk mendengarkan suaranya sehingga dia melakukan
tindakan merusak mobil. Mereka
hanya tahu bahwa setiap jasa mereka harus dihargai.
Kondisi
ini kurang bisa menjadi pondasi bagi pohon demokrasi yang saat ini sedang mulai
tumbuh di negara kita. Demokrasi
yang bakal tumbuh dalam media seperti di atas adalah demokrasi semu yang hanya
mengedepankan mobilisasi massa yang berakar pada kosakata ‘mayoritas’; apa
atau siapa dengan jumlah pengikut terbanyak itulah yang dipilih atau berhak
bicara. Karena dalam situasi
seperti itu, tidak akan pernah ada komunikasi yang mulus antara berbagai pihak
yang berbeda pendapat, semua diselesaikan melalui pengerahan massa, kekuasaan
dan kekuatan. Tentunya bukan model
demokrasi seperti ini yang dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu perlu dipikirkan kebijakan untuk memperbaiki keadaan
sekarang ini.
Yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan dari
sistem pendidikan yang ada adalah pembenahan dalam cara ajar-mengajar.
Cara ajar-mengajar yang hanya dititikberatkan pada penyampaian materi
pelajaran (satu arah) harus dirubah dengan cara ajar-mengajar yang mengajak
siswa untuk berpikir (dua arah). Berpikir
secara mandiri dan bersama-sama dengan siswa lain dan guru sebagai satu kelompok. Berpikir dan mengemukakan hasil pemikirannya dalam bentuk
pendapat kepada siswa lain dan guru. Ini
bisa diwujudkan dalam bentuk cara belajar yang interaktif.
Pendidikan
yang interaktif bisa dilakukan dengan cara kerja kelompok untuk mendiskusikan
satu topik tertentu, atau dimulai dengan teknik curah gagasan (brainstorming)
yang melepaskan dahulu justifikasi terhadap relevansi ataupun kebenaran ide
seseorang – tujuannya adalah mengumpulkan ide dari semua peserta.
Kedua teknik di atas akan memberi pengalaman pada siswa dalam
mengeluarkan keberaniannya untuk mengemukakan pendapat dengan tujuan untuk
berbagi dalam keterbukaan, dalam melihat kenyataan bahwa setiap orang belum
tentu memiliki pendapat yang sama, dalam menyikapi dan menghargai pendapat siswa
lain yang sealiran maupun yang bertentangan, dalam menyikapi penolakan orang
lain terhadap ide yang dikemukakan siswa yang bersangkutan, dalam mengolah ide
orang lain menjadi lebih kreatif lagi, dan dalam bagaimana menggunakan jalur
komunikasi untuk menyelesaikan perbedaan dan masalah yang sedang dihadapi
bersama.
Langkah selanjutnya adalah membawa siswa untuk
beralih ke pemikiran tertulis. Siswa
diberi kemampuan untuk menuangkan pendapatnya dalam bentuk karangan tertulis
secara gamblang dan terstruktur. Ini
akan membantu siswa dalam menyebarkan ide ke lingkup yang lebih luas.
Karena bagaimanapun secara skala distribusi pemikiran yang tertulis akan
lebih efektif untuk sampai ke khalayak yang lebih luas.
Inilah yang dimaksud dengan proses belajar yang
sesungguhnya: memahami untuk me-reinventing apa yang dipelajari,
menganalisa untuk me-recreating sesuatu dari yang sudah dipelajari, dan
akhirnya menyatakan kembali dalam kepada khalayak umum.
Untuk
melaksanakan cara belajar interaktif pada kondisi sekarang cukup sulit, karena
diperlukan faktor pendukung yang saat ini belum ada dalam sistem pendidikan
sekarang. Infrastruktur yang
diperlukan untuk melaksanakan pendidikan interaktif adalah:
·
Guru yang kompeten dan berbakat
mendidik dan mengajar:
ü
Meluangkan waktu terbanyak bagi
pendidikan: terus belajar dan membaca, memilihkan soal analisa dalam proses
belajar dan ulangan, memeriksa jawaban essai siswa dengan cermat dan memberi
umpan balik, dan memberi porsi besar teknik diskusi dalam kegiatan ajar-mengajarnya.
ü
Bisa bertindak sebagai
fasilitator dan mediator: selalu mempersiapkan bahan diskusi dengan tepat,
memahami semua pendapat yang timbul, dan tahu cara menengahi perbedaan dengan
tepat.
ü
Tidak berorientasi hasil,
melainkan berorientasi proses: tidak memusatkan perhatian pada keberhasilan
dalam ujian tetapi pada proses belajarnya sehingga siswa memiliki kemampuan
belajar mandiri yang tetap berorientasi pada kerjasama.
·
Materi pelajaran yang menekankan
pada analisa masalah: tidak saja menekankan pada ilmu pengetahuan dan teknologi
tetapi juga keterampilan nilai, perilaku, emosi dan etika.
Materi yang mampu melatih kemampuan otak, emosi dan aksi siswa secara
seimbang.
·
Sistem penilaian yang
proporsional pada nilai dan perilaku siswa:
guru tidak hanya dinilai dari keberhasilan siswanya dalam memperoleh
nilai baik dalam ulangan tetapi juga keberhasilan guru dalam membentuk perilaku
siswa. Demikian juga dalam menilai
keberhasilan siswa itu sendiri.
·
Sistem ujian nasional yang tidak
didominasi pilihan ganda: sesuatu yang tidak merangsang siswa untuk berpikir
secara kreatif.
·
Kehidupan sekolah yang lebih
demokratis: yaitu dengan memerankan kembali kepala sekolah dan guru sebagai
contoh hidup yang ideal, sebagai teman dalam berdiskusi, dan selalu melibatkan
siswa dalam pengambilan keputusan sekolah.
Harapan yang boleh dibebankan pada keberhasilan
sistem pendidikan ini adalah:
·
terbentuknya siswa yang memiliki
pengetahuan yang luas,
·
terbentuknya siswa yang
berkemampuan untuk menganalisa informasi di lingkungannya,
·
terbentuknya siswa yang memiliki
kesadaran akan kerjasama,
·
terbentuknya siswa yang
berkemauan untuk menyampaikan pendapatnya secara kritis,
·
terbentuknya siswa yang memiliki
sikap toleransi terhadap perbedaan,
·
terbentuknya siswa yang
berorientasi pada berpikir dibandingkan menggunakan otot,
·
terbentuknya siswa yang
berorientasi pada aksi,
·
terbentuknya siswa yang memiliki
kemauan untuk berpartisipasi dalam lingkungannya.
Dengan
target seperti di atas, diharapkan dalam jangka waktu dua dekade ke depan sudah
bisa terbentuk masyarakat Indonesia terdidik yang berada pada jalur demokrasi
yang sesungguhnya yang selain mempraktekkan prinsip suara terbanyak dan
mobilisasi, juga mengedepankan prinsip partisipasi dan toleransi.
Pendidikan, secara jumlah, sudah berhasil mewujudkan
lapisan masyarakat terdidik yang mengetahui hak dan kewajiban sebagai
warganegara, dan lapisan masyarakat yang bisa bersikap kritis dan vokal.
Namun secara kualitas, pendidikan
belum bisa memberi bekal yang pas bagi masyarakat untuk berperilaku dan berpikir
secara demokratis: dalam mengeluarkan pendapat secara tepat, dalam menghargai
perbedaan, dan dalam menyelesaikan masalah bersama.
Pendidikan sekarang masih berfokus pada pengetahuan yang hanya merangsang
daya ingat bukan berpikir. Oleh
karena itu pendidikan interaktif yang berfokus pada komunikasi, yang melibatkan
daya pikir, emosi dan aksi siswa dalam mengemukakan pendapat, menganalisa
masalah, bekerja sama dan menghargai pendapat orang lain bisa dimunculkan
sebagai alternatif untuk memperbaiki sistem pendidikan yang ada.
Dengan demikian diharapkan dalam kurun dua dekade bisa dihasilkan
masyarakat demokratis yang sebenarnya: yang mengakui adanya persamaan hak dan
kewajiban pada semua warganegara tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada.