Dipertanyakan, Korupsi
dan Primordialisme di Polri
Jakarta, Kompas - Beberapa anggota Komisi II DPR mempertanyakan praktik korupsi
dan primordialisme dalam proses mutasi di Kepolisian Negara RI dalam rapat kerja
dengan Kepala Polri Jenderal Da’i Bachtiar, Rabu (25/2). Akibat budaya kurang
baik itu, banyak perwira yang ditempatkan di posisi strategis berasal dari etnis
tertentu, padahal mutunya pas-pasan. Di sisi lain, banyak yang dipromosikan di
jabatan tertentu, setelah diduga menyetor uang kepada pejabat berwenang.
Anggota Komisi II Panda Nababan mengungkapkan kasuskasus masukan dari masyarakat.
"Ada yang bilang, seorang yang tadinya Sekretaris Direktorat Lalu Lintas bisa
dipromosikan menjadi Direktur Lalu Lintas hanya karena dari etnis tertentu. Ada
juga yang dinaikkan jabatannya karena istrinya dari etnis itu," katanya.
Diungkapkan pula, dari percakapan dengan sejumlah sopir angkutan kota di Ciawi,
Bogor, Nababan tahu para sopir menyetor Rp 130.000 per hari kepada polisi
setempat. Dalam beberapa kasus, sopir-sopir juga sering dicari-cari kesalahannya,
misalnya dianggap salah ambil jalur. Namun, setelah membayar Rp 30.000, habis
perkara.
Ia juga mengaku tertarik dengan hasil penelitian mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK), tentang budaya korupsi di Polri. Dari penelitian itu
terungkap, banyak polisi melakukan korupsi di lingkungan internal dan eksternal.
Sebanyak Rp 20-30 juta
Tentang seleksi Sekolah Staf Pimpinan (Sespim) Polri, Nababan menyatakan, isu
tentang uang yang harus dibayarkan agar seorang calon bisa lolos sangat kuat.
Informasi yang ia terima, agar lolos seleksi sespim, seseorang harus mengucurkan
Rp 20-30 juta kepada panitia. "Saya juga dimintai bantuan seorang calon peserta
sespim yang meminta Rp 10 juta untuk tambahan setoran. Waktu saya bilang tak
perlu bayar, dia bersikeras dengan mengatakan si A dan si B lolos setelah
membayar," tanyanya.
Prof JE Sahetapy, anggota Komisi II lainnya, mengungkapkan, ia juga banyak
mendengar tentang budaya "apa-apa harus bayar" di Polri. "Mau masuk polisi,
bayar, naik pangkat, bayar. Masuk pendidikan, bayar juga. Ini masih sangat kuat
saya dengar. Mengapa masih saja demikian," ujarnya.
Sahetapy juga memprihatinkan manipulasi dokumen di Markas Besar Polri. Buktinya,
ia pernah diminta menandatangani kuitansi kosong saat hadir dalam pertemuan di
Mabes Polri, dalam kapasitasnya sebagai anggota Partnership for Good Governance.
Pakai nota
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Da’i Bachtiar menegaskan, tidak ada
pengutamaan etnis tertentu dalam penempatan seorang pejabat di lingkungan Polri.
Polri di bawah kepemimpinannya saat ini berkomitmen untuk mengutamakan kualitas
seseorang, sebagai pertimbangan utama dalam pengisian jabatan tertentu. "Terlepas
dari itu, masukan-masukan dari Komisi II, bagi kami tetap menjadi bahan penting
untuk dikaji," katanya.
Sementara tentang pungutan-pungutan di lingkungan Polri, ia menjamin sekarang
ini tidak perlu bayar untuk menjadi polisi. Yang jadi soal sekarang, masuk
polisi dengan koneksi atau nota. "Banyak yang memasukkan polisi dengan tidak
bayar, tetapi dengan nota. Itu jadi persoalan kami, tolong jangan menutup mata.
Kenyataan serupa juga terjadi dalam seleksi sespim," ujarnya.
Yang menjadi penyebab, lanjut Kepala Polri, adalah budaya dalam masyarakat
Indonesia. Masyarakat kita masih memandang, untuk mencapai sesuatu harus memakai
cantolan, padahal sistem perekrutan polisi tidak mengenal itu. "Jadi, ini
masalah yang harus dibenahi bersama," kata Da'i Bachtiar.
Ia menandaskan, sudah banyak menyerahkan wewenang promosi jabatan kepada para
Kepala Kepolisian Daerah agar tidak terkesan sentralistis seperti dulu. (ADP)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/26/metro/878536.htm