Home > Artikel > Ribut-Ribut seputar Divestasi Indosat

Ribut-Ribut seputar Divestasi Indosat:

Potret Buram Dunia Telekomunikasi Indonesia

Akhir tahun 2002, Pemerintah melakukan divestasi 41,94% saham PT Indonesia Satellite Corporation, Tbk (Indosat), yang akhirnya dijual kepada STT (Singapore Telecom and Telemedia). Pihak pembeli happy, pemerintah happy karena dengan harga Rp 12.950 per saham, pemasukan yang didapat sekitar Rp 5 triliun lebih, yang berarti pemasukan yang melebihi target, dan manajemen Indosat happy, karena komitmen pemegang saham baru untuk tidak mengganti direksi, tidak melakukan PHK, dan akan membangun 750.000 SST dalam jangka lima tahun ke depan. Masyarakat pun seharusnya happy, karena dengan tambahan modal baru, Indosat akan mampu melakukan fungsinya sebagai operator telekomunikasi dalam negeri yang bersaing dengan si raja monopoli, Telkom. Namun, apa yang terjadi? tiba-tiba semua pihak marah, DPR marah karena merasa tidak diajak konsultasi (dan mungkin tidak kebagian...), karyawan marah karena merasa ditipu (ternyata yang tanda tangan adlah ICL, anak perusahaan STT di Mauritius), (sebagian) masyarakat marah karena merasa dikhianati, dan merasa memiliki BUMN ini (padahal tidak pernah, dan tidak akan pernah bisa, kecuali mereka yang beli saham Indosat di BEJ), dan pak menteri yang laksamana itu marah karena dihina oleh ketua MPR (yang dulu pernah memperingatkan Presiden untuk tidak omong sembarangan). Apa yang terjadi? semua media massa pun ramai-ramai membicarakan masalah ini, mengalahkan pemberitaan soal teroris, peringatan hari besar (Idul Fitri, Natal) dan tahun baru.

Ada apa dengan Indosat? Sekilas sejarah, PT Indonesia Satellite Corporation didirikan tahun 1968 sebagai PMA oleh perusahaan asing (ITT), untuk menangani telekomunikasi luar negeri (SLI). Tahun 1980, Indosat dinasionalisasi, djadikan BUMN. Era 90-an, ketika bisnis telekomunikasi (sedikit) diliberalisasi, Indosat dan Telkom mulai ramai-ramai berinvestasi denan membentuk perusahaan patungan dengan swasta, di antaranya Satelindo, Telkomsel, dan MGTI, yang menjalankan KSO untuk wilayah Jawa Tengah dan DIY. Setelah krisis dan masuknya IMF, sektor telekomunikasi pun diliberalisasi total. Monopoli Telkom di bisnis telepon fixed line lokal dan SLJJ, serta duopoli Indosat dan Satelindo untuk SLI pun diterminasi, dan keduanya diberi lisensi untuk memasuki sektor-sektor tersebut. Restrukturisasi pun dilakukan, kepemilikan silang di sejumlah perusahaan patungan pun diakhiri dengan cara tukar guling. Rencananya, Telkomsel akan dibeli Telkom, kemudian Satelindo, Telkom Divre V, dan Lintas Artha dibeli Indosat. Dengan cara ini, kompetisi di bidang telepon fixed line dan seluler akan berlangsung dengan lebih fair. Apa lacur, Divre V Telkom gagal diakuisisi Indosat, meskipun sudah disetujui oleh pihak manajemen. Penolakan yang gencar dari karyawan, diiringi aksi demo dan mogok mewarnai proses ini. Apa yang melatarbelakangi penolakan ini, sangat msiterius. Bagi masyarakat, aksi demo dan mogok itu jelas merugikan. Apakah masyarakat dirufgikan karena Indosat membeli Divre V? Masyarakat lebih dirugikan kala Telkom gagal mengurusi rekanan KSO-nya di Divre III Jawa Barat, AriaWest. Waktu itu, selama 6 bulan masyarakat tidak terlayani. Akibat kegagalan ini, langkah Indosat memasuki bisnis telepon fixed line pun tersendat, dan kompetisi yang diharapkan akan mulai tahun ini pun agaknya masih menjadi mimpi.

Mengapa kompetisi sangat penting? Penetrasi telepon fixed linedi republik kita ini sangat rendah, hanya 3,4% dari 210 juta (sekitar 7 juta SST) yang sudah dibangun. Sebagai BUMN yang bertanggung jawab atas ini, Telkom selama 30 tahun telah berusaha sekuat tenaga untuk mampu mencapai setidaknya 10%, namun berbagai upaya itu gagal. Terakhir , pola KSO yang dimulai tahun 1995 kandas, dan malah mejadi beban Telkom untuk membeli kembali rekanan KSO-nya. Sebagian kegagalan itu dapat disalahkan kepada krisis ekonomi mulai akhir 1997, sebagian lagi pada ketidakprofesionalan para rekanan itu, yang ternyata hanya mengandalkan koneksi dan tidak menyetor modal (saham kosong), sehingga struktur permodalannya rapuh, dan manajemennya gagal mengantisipasi keadaan yang berubah cepat. Dari sini, penolakan para karyawan Divre V dapat ditarik benang merahnya, yaitu kurang profesionalnya rekanan KSO Divre V (MGTI), yang malah membuat kinerja Telkom, khususnya Divre V, menjadi memburuk di mata masyarakat. Ironisnya, untuk mempercepat penetrasi jaringan telekomunikasi itu ditempuh cara yang tidak populer, yaitu menaikkan tarif secara berkala. Apalagi dihubungkan dengan minat investor asing untuk masuk ke bisnis ini adalah tarif yang tinggi. Entah apakah mereka sebodoh itu berpikir bahwa masyarakat kita akan mampu menikmati sarana telekomunikasi dengan tarif mahal. Pada akhirnya, yang terjadi adalah seperti saat ini, ketika banyak telepon tidur, komplain mengenai billing, dan rasio keberhasilan panggil yang rendah. Investor dianggap hanya tertarik pada monopoli, potensi pasar, dan tarif yang tinggi, tanpa memperhitungkan potensi perkembangan masyarakat di masa depan. JIka ITU menetapkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat saat dibangun sarana telekomunikasi, itulah yang mestinya diambil sebagai pertimbangan utama, karena pasar telekomunikasi sekarang bukanlah pasar monopolistik, bahkan di Indonesia. Mereka yang tidak puas dengan layanan Telkom, akan beralih ke telepon seluler, VoIP, internet, atau bahkan kembali ke layanan pos. Pasar Indonesia mungkin cenderung pasrah, namun saat dikecewakan, mereka tetap diam, namun diam-diam beralih ke lain hati.

Pasar telepon seluler yang kompetitif (walaupun sebagian menyebutnya oligopolistik), berkembang pesat, bahkan dalam krisis. Penggunanya sekarang sudah melampaui telepon fixed line, tentu dengan asumsi tiap orang hanya punya satu Hp dan satu nomor (di pihak lain pelanggan telepon fixed line juga ada yang berlangganan lebih dari satu saluran). Sebagai contoh kasus saja, pasar telepon seluler dapat dijadikan contoh bagaimana kompetisi dapat mengembangkan pasar demikian cepat. Saat teknologi NMT/AMPS tidak diminati, muncul teknologi GSM yang memungkinkan masyarakat mengganti-ganti handset dengan mudah tanpa mengganti nomor. Saat krisis terjadi, produk prabayar muncul dan menjadi dominan (sekitar 80% pemakai telepon seluler secara keseluruhan). Saat teknologi GSM 900 mulai jenuh, munucl teknologi DCS 1800. Layanan SMS, WAP, GPRS, dan microbrowser menjadi nilai tambah yang dipertaruhkan setiap operator dan vendor handset dalam persaingan yang kian ketat. Dalam soal tarif (khusus prabayar), persaingan antaroperator dapat terlihat dari struktur tarif yang dikenakan. Ada yang menurunkan harga paket perdananya, dengan kompensasi tarif pulsa yang lebih mahal, atau sebaliknya. Diikuti dengan pengenaan tarif diskon, bebas roaming, tarif flat, dan bonus pulsa berkala. Juga ada paket diskon tarif untuk penggunaan bersama (satu keluarga, grup, perusahaan). Singkatnya, dengan kompetisi konsumen diuntungkan karena dapat memilih teknologi yang tepat, tarif yang bersaing, dan dapat dengan mudah berganti layanan operator jika diaras kurang memuaskan.

Lalu kenapa Indosat terus digugat? Ada beberapa poin, seperti nasionalisme (?), keamanan (?), ketidaktransparanan, kekhawatiran monopoli, dan faktor lain yang lebih umum seperti perlakuan pemerintah terhadap BUMN dan proses divestasinya. Mengenai nasionalisme, kita seharusnya lebih realistis, agar tidak terjebak pada xenofobia (ketakutan akan segala sesuatu yang berbau asing). Bukan pertama kali ini modal asing masuk ke negeri kita. Belum lagi kalau kita menghitung bahwa hampir setiap segi telekomunikasi itu berbau asing, terutama teknologinya. Soal ketakutan negara asing mendikte kita, ada yang harus lebih kita prihatinkan, yaitu kenyataan bahwa kiat tidak bisa mengendalikan setiap sektor ekonomi kita sendiri, di luar telekomunikasi. Sumber daya alam kita, seperti pertanian, kehutanan, dan pertambangan sudah sejak lama dikuasai asing, dan kita diam saja. Kedua, soal keamanan, karena konon satelit kita dikuasai Singapura. Direksi Indosat sendiri menyatakan, bahwa pemerintah sama sekali tidak menggunakan satelit Palapa milik Indosat (tepatnya milik Satelindo, yang 100% sahamnya dimiliki Indosat). Palapa digunakan 40% oleh pihak asing, dan 60% oleh pihak swasta, terutama oleh stasiun TV swasta nasional. Satelit milik Indonesia tidak cuma Palapa, ada TelkomSat milik Telkom (yang digunakan pemerintah untuk kepentingan hankam) dan Garuda milik PSN (Pasifik Satelit Nusantara). Soal ketidaktransparanan, penulis sendiri kurang meguasai seluk beluk jual-beli perusahaan, sehingga tidak bisa mengomentari lebih lanjut. Mengenai kekhawatiran monopoli, dalam hal ini di bidang telepon seluler, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Karena SingTel hanya menguasai 35% saham Telkomsel (65% lainnya dimiliki Telkom, yang masih dikuasai pemerintah), dan saham STT di Indosat pun belum berarti mayoritas tunggal, karena belum mencapai 51%. Selain itu, masih ada operator telepon seluler lain, Excelcomindo, yang masih berstatus swasta nasional, meskipun pangsa pasarnya cuma sekitar 15%.

Lalu, kita pun bertanya, apa keuntungannya divestasi ini? Yang jelas, adalah memacu kompetisi di bidang telepon fixed line, karena ada komitmen untuk lima tahun ke depan akan dibangun 750.000 SST baru. Tentu masih jauh dari instalasi milik Telkom yang 7 juta lebih itu, yang akan menjadi sekitar 9-10 juta lima tahun lagi. Apakah Telkom dirugikan dengan kompetisi? justru mereka diuntungkan dengan adanya tarif interkoneksi yang dibayarkan operator baru (Indosat) kepadanya. Meskipun melihat kondisi sekarang, masih sulit membayangkan kompetisi yang sehat di sektor fixed line seperti halnya telepon seluler. Setidaknya ada tindakan nyata untuk memulai, sekarang atau tidak sama sekali. Menurut hemat penulis, kompetisi sebenarnya dapat dilakukan dengan memecah Telkom menjadi beberapa perusahaan regional, atau memisah Telkom menjadi dua perusahaan, yang satu mengurusi jaringan (network provider) saja, dan yang lain sebagai operator jasa telekomunikasi (service provider). Alternatif lain adalah menggunakan teknologi PLC (Power Line Communication) dengan memanfaatkan jaringan PLN yang lebih luas dibandingkan jaringan milik Telkom.

Tentunya, tidak semua niat baik diiringi dengan pelaksanaan yang baik. Seseorang yang ingin beramal dengan menyumbang, tentu tidak seharusnya melaksanakan niatnya dengan mencurinya terlebih dahulu. Divestasi Indosat mungkin bertujuan baik, namun bisa saja cara pelaksanaannya salah. Penulis mencoba percaya pada niat baik pemerintah untuk memacu jalannya kompetisi di bidang telekomunikasi, khususnya telepon fixed line, bukan sekadar memenuhi tuntutan IMF, mengisi kas negara dan mengurangi defisit, atau malah agenda tersembunyi lain.

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi