Home > Artikel > Memasyarakatkan Linux, Me-Linux-kan Masyarakat

Memasyarakatkan Linux, Me-Linux-kan Masyarakat

Membaca judul di atas, mengingatkan kita pada gaya bahasa propaganda masa lalu, yang kini tak begitu populer lagi. Mulai dari mengolahragakan masyarakat sampai memasyarakat hukum dan meng... masyarakat (pernah mendengar yang satu ini?). Sekarang, penulis mencoba mengampanyekan Linux dengan slogan lama seperti di atas. Seperti kata Mas Made Wiryana, tidak cukup hanya Linux, namun juga Open Source Movement (Gerakan Open Source). Dengan gerakan ini diharapkan dunia Teknologi Informasi di Indonesia akan mampu bangkit dan bersaing di dunia intenasional dan yang penting mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak terus-menerus dijajah oleh dunia barat (wih...nasionalis sejati!). Lebih jauh lagi, gerakan ini diharapkan menumbuhkan industri TI yang mandiri dan berdaya saing tinggi.

Lalu, apakah sebenarnya gerakan open source itu ? Lebih dari yang selama ini diyakini yaitu pemakaian secara massal perangkat lunak open source seperti Linux, FreeBSD, dan aplikasi-aplikasinya, gerakan ini lebih menekankan pada paradigma berpikir yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perusahaan tertentu dan kemauan mencipta dan memperbaiki di atas kemampuan memakai dan menjual kembali. Dalam dunia yang open source, semua berlomba-lomba memberikan kontribusi pada projek-projek open source, baik dunia akademis, dunia industri, maupun dunia profesional dan hobiis. Dengan dukungan pemerintah, akan tumbuh industri IT yang mandiri dan tumbuh dari bawah sehingga pemerintah tidak usah repot-repot menyalurkan para lulusan perguruan tinggi ke lapangan pekerjaan yang terbatas. Indah sekali bukan ? (bukan...).

Sekarang kembali kepada kenyataan, sudah memadaikah kondisi tanah air untuk menerapkan gerakan open source ini? Tentu saja, kalau harus terus menunggu kondisi ideal, maka kita tak akan pernah memulai. Untuk perubahan yang drastis, diperlukan revolusi besar-besaran, misalnya dengan skenario penerapan hak cipta secara ketat (strict), yang dampaknya pada pengguna perangkat lunak bajakan yang dipaksa atau terpaksa beralih menggunakan perangkat lunak open source. Pada masa itu, akan terdapat masa peralihan yang bisa berarti dua hal, kesatu bila para pengguna yang sudah telanjur tidak bisa lepas dari penggunaan perangkat lunak tertentu, atau dengan pertimbangan lain harus terus menggunakannya, maka mereka akan terpaksa membeli aau melisensi perangkat lunak bajakannya (soal pakai ditangkap dulu, penulis ndak tahu tuh...), kedua akan terjadi migrasi besar-besaran ke perangkat lunak open source, tentu saja, dengan pertimbangan bahwa perangkat lunak open source relatif jauh lebih murah dan andal. Skenario kedua ini membutuhkan penunjang berupa pelatihan dengan para instrukturnya dan penerbitan buku-buku baru. Jadi, dengan skenario migrai ini tidak banyak yang dikorbankan, yang harus dilakukan hanya penyesuaian (dengan sedikit pemaksaan).

Perkembangan akhir-akhir ini sudah mulai mengarah kepada penerapan hak cipta apalagi menyambut era perdagangan bebas. Alangkah beruntungnya mereka yang saat ini sudah mulai bermigrasi, atau setidaknya sudah tahu alternatif terbaik yang harus diambil kelak. Masalah terbesar terletak pada penyesuaian, dan memang tidak sesederhana perubahan dari DOS ke Windows atau WordStar ke MS Word. Perubahan platform ke Linux membutuhkan penyesuaian yang lumayan memusingkan. Mulai dari prinsip dasar, Linux yang dirancang sebagai sistem operasi multiuser, yang mewajibkan setiap pengguna mempunyai akses dengan password. Untuk itu, diperlukan seorang administrator sistem, sedangkan untuk komputer standalone sang pemilik adalah root dengan sendirinya. Kita ketahui bahwa tidak semua orang bisa mempelajari keterampilan sebagai sysadmin dengan cepat. Sebagian besar distro keluaran terakhir mewajibkan penambahan minimum seorang user tambahan saat instalasi, sebagai login standar sang pemilik. Namun, menurut pengamatan penulis, belum satupun distro yang menyediakan fasilitas pembuatan akses guest, sebagai akses standar bagi siapapun yang ingin mengakses sistem, yang tentu saja sangat dibatasi. Akses guest ini biasanya tidak memakai password, sehingga siapapun bisa menggunakannya.

Linux, sebagai sistem operasi yang unix-like, memang mempunyai kekuatan pada aplikasi jaringan, sehingga tak heran jika sangat populer diaplikasikan di ISP/warnet. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana Linux bisa diaplikasikan di perusahaan/ kantor/ instansi sebagai intranet, yang selama ini masih dikuasai Windows 3.x/ 9x/ NT/ Novell NetWare dan Lotus Notes. Berbeda dengan ISP/warnet yang membutuhkan sistem operasi yang tahan banting dan stabil (dan tidak perlu terlalu mudah untuk dipergunakan), aplikasi intranet, dan juga desktop membutuhkan sistem operasi yang mudah digunakan. Dewasa ini sebenarnya Linux sudah memenuhi kriteria tersebut. Namun, sekali lagi, karena tidak adanya standarisasi di Linux, mulai dari distro, kernel, shell, GUI, sampai aplikasinya, membuat kebanyakan orang ketakutan terlebih dahulu, padahal tidak adanya standarisasi ini adalah konsekuensi dari lisensi Linux yang memungkinkan adanya pilihan bagi pengguna maupun pengembang program. Bagi pengguna yang sudah mulai mahir, kebebasan ini akan terasa menyenangkan. Yang perlu diingat, sebagian pengguna lain, yang hanya tahu apa yang ada di depannya, bisa jadi bingung kalau di satu tempat melihat tampilan KDE, di tempat lain melihat tampilan Gnome akan beranggapan bahwa keduanya mewakili dua sistem operasi yang berbeda.

Maka, yang diperlukan adalah memperbanyak admin, yang bukan sekadar admin, namun yang benar-benar andal. Para admin inilah yang akan menjadi ujung tombak penerapan Linux di organisasi/ perusahaan/ instansi/ kantor. Untuk mencetak admin dibutuhkan lembaga pendidikan yang bermutu disertai sertifikasi sewajarnya karena masyarakat kita (terus terang) lebih percaya pada selembar ijazah atau sertifikat. Selama ini yang terjadi (di tempat kami) adalah para mahasiswa ‘opreker’ yang coba-coba menginstal Linux di komputernya sendiri atau temannya, lalu mengembangkan keahliannya di kampus/ lab, sebagian nyasar ke warnet (jadi adminnya), sebagian lagi kesasar jadi admin di ISP, sedang yang kesasar ke perusahaan biasanya belum jadi penentu kebijakannya. Untuk itu, alangkah baiknya jika lembaga pendidikan, terutama yang formal mulai memiirkan untuk menerapkan Linux dalam kegiatan operasionalnya, karena dari sinilah diharapkan muncul tenaga-tenaga IT yang andal.

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi