Home > Artikel > Komputer Termasuk Barang Mewah (?)

Komputer Termasuk Barang Mewah (?)

Di tengah suasana yang penuh ketidakpastian ini, memang kurang enak kalau hanya bicara soal politik. Bisa-bisa dituduh provokator, padahal yang namanya promotor (tinju, pertunjukan) itu kan juga termasuk provokator, manas-manasi petinjunya supaya mau tarung (maaf lho bapak-bapak promotor...). Sebagai oknum yang punya interest di bidang TI, lebih baik menulis tentang TI, apalagi isu yang tengah memanas di dunia TI, khususnya dunia perkomputeran di tanah air (wih...). Tak lain adalah soal komputer yang akan dikenakan pajak barang mewah (PpnBM) terhitung April nanti. Reaksi berbagai pihak di dunia TI sangat beragam, meskipun tetap dengan satu nada : menentang!. Sebagai oknum yang tidak bisa disebut pakar, bahkan pelaku dunia TI, penulis merasa hanya bisa "grenengan" (mengomel) sendirian, lha wong nggak ada yang bisa diajak diskusi (penulis sudah tiga bulan terakhir diasingkan di kampung halaman). Jadi, sebagai obat pusing, tulisan ini semoga ada sedikit manfaatnya bagi yang masih peduli pada dunia TI.

Pertama, apa pengertian barang mewah itu ? Anak SD pasti diajarkan soal kebutuhan atau barang, yang berdasarkan fungsinya dibedakan tiga : primer, sekunder, dan tersier (kemewahan). Kebutuhan primer, sudah disepakati, adalah kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang untuk bisa bertahan hidup, mencakup sandang, pangan, dan papan (perumahan). Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan manusia untuk memperbaiki mutu kehidupannya, mencakup kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan barang-barang produksi. Kebutuhan tersier (kemewahan) adalah segala sesuatu yang tidak begitu dibutuhkan sehari-hari, dan digunakan untuk kesenangan semata. Itu semua sudah diajarkan di SD sampai di Fakultas Ekonomi Perguruan Tinggi. Dulu, saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, dan penemuan teknologi belum semaju sekarang, teori itu bisa diaplikasikan secara mudah dalam kehidupan sehari-hari. Namun sekarang, saat lingkup pekerjaan semakin luas, sektor jasa yang hasil kerjanya tidak langsung kelihatan semakin mendominasi, maka batas antara kebutuhan sekunder dan tersier (kemewahan) semakin kabur. Bagi seorang supir taksi, mobil sedan yang dia gunakan adalah kebutuhan sekunder, bagi Tuan Bento yang bos eksekutif dan mobilnya banyak, mobil sedannya yang kesekian adalah kemewahan, dan pantas disebut barang mewah. Termasuk juga BBM yang diisikan ke dalam kendaraan itu, bagi Pak Giyon supir taksi, bensin adalah kebutuhan sekunder untuk pekerjaannya, sedang bagi Tuan Bento, bensin yang ditenggak sederetan mobilnya yang mengkilap itu adalah kemewahan. Memang ada Premix dan Super TT, namun siapa yang melarang Tuan Bento pakai mobil rakyat yang cukup minum premium atau bahkan solar ?.

Begitu pula dengan komputer. Penemuan yang satu ini pasti akan membuat bapak-bapak anggota DPR atau staf Menteri Keuangan pusing tujuh keliling untuk menyikapinya. Benda yang satu ini begitu serba guna, bisa digunakan sebagai alat produksi, asisten untuk pekerjaan sehari-hari, alat hiburan/permainan, atau bahkan untuk mainan (dimain-mainkan). Bagi seorang programer dan desainer grafik, komputer adalah mutlak alat produksi, meski di waktu luangnya mereka mungkin saja bermain game atau menjelajah internet sampai teler. Bagi Pak Polan direktur, notebook di mejanya adalah asisten pribadinya, yang digunakan untuk mengelola email, mengelola jadwal sehari-hari, atau sekadar mencari informasi di internet mengenai sesuatu. Bagi pemilik warnet dan rental, komputer adalah penghasil uang dan karyawan pekerja kerasnya. Mungkin, bagi anak Tuan Bento yang nggak punya kerjaan lain selain main game dan bertualang di internet sehari-harinya, komputer adalah kemewahan. Dengan menjajarkan kedua barng ini, mobil dan komputer, kita bisa melihat sedikit banyak, bahwa agak sulit menjelaskan pengertian barang mewah secara hitam putih.

Kalau berbicara soal mobil, kita bisa saja meninjau dari sisi kapasitas mesin, kelengkapan asesoris, dan harga jual untuk menentukan mobil itu barang mewah atau bukan. Di dunia komputer, tidak bisa begitu saja dibuat demikian. Bila ditinjau dari kapasitas silinder, misalkan, dibatasi kecepatan prosesor, yang di atas 500 MHz dianggap barang mewah. Argumen yang dikemukakan, kecepatan prosesor setiap tahun meningkat pesat, dan antara satu merk prosesor dan yang lain berbeda kinerjanya pada kecepatan clock yang sama (Pentium III vs Athlon vs Cyrix III), itu kita belum bicara soal platform non-Wintel, seperti PowerPC (kita juga tidak akan membahas overclock di sini). Kemudian, harga komponen PC itu berfluktuasi cepat sekali, kecenderungannya terus menurun, tentu saja dalam hitungan dolar AS, dan itu tidak bisa diprediksi dalam jangka waktu tertentu. Dengan berfluktuasinya kurs rupiah terhadap dolar membuat harga komponen PC dalam rupiah akan berfluktuasi tak menentu. Selain itu, sebagian besar (sekali) komponen PC itu masih diimpor dan sangat bergantung pada kurs dolar yang berlaku.

Selain itu, sistem pembelian PC yang sebagian besar menganut sistem rakitan membuat pematokan harga jual sebagai penetapan pajak menjadi sangat relatif. Bisa saja seseorang membeli PC di bawah harga kena pajak, lalu mengupgradenya tanpa harus kena pajak pula. Selain itu, monitor PC yang akan dipukul rata sebagai barang mewah pun semakin memusingkan, mana ada PC bisa berfungsi tanpa monitor ? (catatan: monitor penulis sampai saat ini masih nginap di bengkel reparasi). Lalu, bagaimana dengan monitor yang terintegrasi dengan CPU, seperti iMac (memang kalau dipikir-pikir semua Mac akan jadi barang mewah)?. Mungkin kalau dibatasi ukuran layar (minimum 17/19 inci), masih bisa dipertimbangkan, karena sebagian besar PC di Indonesia masih menggunakan monitor ukuran 14/15 inci. Di dunia komputer, kita mengenal ada 'kasta' Home PC dan Server, yang memang penggunaannya khusus (dan harganya memang lebih mahal), yang bisa digolongkan 'mewah', karena penggunanya biasanya kalangan berduit dan instansi. Namun, bisa-bisa para vendor Home PC yang kebanyakan branded itu jadi uring-uringan (?).

Sebenarnya, pangkal ketidakpuasan kalangan TI di Indonesia adalah ketidakpedulian pemerintah selama ini terhadap dunia TI, dengan komputer sebagai basisnya. Pertumbuhan pengguna PC di Indonesia akhirnya dimanfaatkan pemerintah untuk 'ngompas' karena kas pemerintah lagi kering, dan para pemilik PC dianggap punya duit lebih, ya pantas kalau dikompas. Ketidakpedulian pemerintah semakin terlihat saat internet mulai merebak tahun 1999. Monopoli jaringan akses internet, pengharaman jasa nilai tambah internet (ingat VoIP), dan terkuburnya projek N-21 (jaringan akses nusantara) merupakan contoh-contoh tidak responsifnya pemerintah terhadap perkembangan TI di Indonesia. Memang selama kurun waktu ini (1999-2001), pemerintah sangat sibuk mengamankan diri sendiri dan mengurusi persoalan bangsa yang lebih esensial. Namun, ternyata hasil kerja pemerintah (dengan mengabaikan sektor TI) pun kurang bagus, jadi kalangan TI pun harus menunggu lebih lama lagi. Meski demikian, banyak terobosan yang mampu dibuat di tengah suasana yang tidak kondusif ini. Pertumbuhan warnet sangat pesat dan persaingan yang ketat melahirkan akses internet alternatif dengan cara sewa bandwidth satelit dan dibagi-bagi antarpenyewa menggunakan teknologi wireless. Kreativitas yang patut dihargai, karena membantu operator (Telkom dan Indosat) mengatasi permintaan akses internet kecepatan tinggi dengan biaya murah, atau kegiatan ilegal yang patut diberantas karena menggunakan frekuensi seenaknya ?, tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Tak masalah bahwa orang menggunakan komputer untuk bersenang-senang, main game, chating ngalor-ngidul, atau meng-hack situs orang, yang pasti komputer dan keterampilan menggunakan komputer dapat digunakan untuk kegiatan yang produktif. Analoginya, anak Tuan Bento yang suka gonta-ganti mobil mungkin bisa menggunakan keterampilannya ngebut sebagai modal untuk jadi pembalap (?).

Tulisan ini bukan dibuat untuk menghakimi, berlagak sok tahu dan sok pintar, hanya sekadar mencoba menelaah masalah yang dianggap hitam putih selama ini oleh kedua pihak yang saling 'berhadapan' (kalangan TI dan pemerintah). Karena oknum penulis ini orang awam dan rakyat kebanyakan yang kebetulan punya komputer yang dulu dipakai mengerjakan tugas kuliah, skripsi (meski nggak jadi), dan sekali-kali dioprek sambilo main gem dan nyetel musik, dan tidak pernah merasa bermewah-mewah dengan PC yang dipunyai. Sementara, harus diakui, PC bukanlah komoditi yang menjangkau rakyat kebanyakan, terutama yang tidak terpelajar. Namun, ada wacana lain, ketika barang komoditi kebutuhan sehari-hari seperti makanan, toiletris (sabun, shampoo),dan kebutuhan sehari-hari lainnya dijual di pasar swalayan dan mal-mal, dia akan dianggap barang mewah dan dikenakan pajak. Mungkin kedengarannya fair, namun siapa yang menjamin rakyat 'kecil' tidak boleh mengunjungi / berbelanja di mal ? atau istri Tuan Bento tidak boleh menyuruh pembantunya yang sekompi itu berbelanja di pasar tradisional. Belum lagi dampak psikologis di pasar tradisional, bahwa harga barang-barang itu ya sama saja, wong barangnya pun sama persis. Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan, semoga bisa menjadi wacana bagi kita semua.

NB : omong-omong... tahu nggak kalau susu sebentar lagi jadi barang mewah ? (sama dengan mobil ?), sementara susu itu (katanya) termasuk makanan 4 sehat 5 sempurna, yang berarti kebutuhan .... (ayo diisi, kalau bener dapet 100, kalau salah, goblok bener sih elo...!)

Artikel Terkait

back to index


Homepage ini seisinya © 2002-2007 oleh Imam Indra Prayudi