Tertarik Kopiah
Hitam
Pengantar
Kegagalan, disatu sisi memang sangat menyakitkan. Entah gagal dalam pekerjaan, maupun gagal dalam membina rumah
tangga. Tetapi di sisi lain, kegagalan terkadang membawa hikmah yang sangat besar dalam perjalanan sejarah hidup
seorang anak manusia. Hal ini rupanya dialami Khoe Hok Tiong alias Pudjihato, seorang karyawan swasta di Jakarta.
***
Saya yang mempunyai nama baptis Fransiscus Xaverius adalah aktivis Gereja Persekutuan
Doa Oikumene. Di tempat kerja, saya dipercaya sebagai Sales and Marketing Manager. Tetapi, sekitar tahun 1989,
karir saya banyak mengalami kemunduran. Sebagai manajer penjualan dan pemasaran, saya sering dituntut untuk mengambil
keputusan strategis. Karena sesuatu hal, keputusan yang saya ambil sering tidak tepat.
Apa sebabnya? Ternyata ketenteraman rumah tangga turut mempengaruhi karir dan produktifitas kerja saya. Saya akui,
rumah tangga yang saya bina sejak tahun 1986 dan sudah membuahkan dua orang putra, mengalami goncangan yang sebenarnya
kecil dan sepele, bisa menjadi besar. Rumah rasanya seperti neraka.
Karena persoalan rumah tangga itu, kerja pun tidak konsentrasi dan produktivitas pun menurun. Sebagai kompensasi
saya sering keluyuran, sekadar mencari ketenangan batin. Gereja yang sekian lama menjadi tempat yang paling damai
ternyata tidak mampu menepis kegundahan hati saya. Saya justru menjadi semakin jauh dari gereja.
Karena sama-sama keras, akhirnya kami tidak mampu lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Meskipun dalam agama
Katolik bercerai itu diharamkan, toh akhirnya, dengan terpaksa saya ceraikan istri saya itu, walaupun dengan hati
yang amat berat mengingat kedua orang anak kami masih kecil-kecil. Sebagai ayah, saya amat mencintai anak saya.
Tetapi apa mau dikata, mungkin ini sudah suratan. Saya serahkan sepenuhnya nasib kedua anak saya kepada Allah.
Bulan Januari 1991 kami resmi bercerai. Kedua anak saya dibawa oleh istri saya ke Kutoarjo, Jawa Tengah.
Tertarik Kopiah Hitam
Antara bulan Januari sampai Juni 1991, saya merasa diri saya menjadi orang kafir, karena selama enam bulan itu
saya sudah tidak lagi menginjakkan kaki ke gereja. Tetapi selama masa "kekafiran" itu, banyak hal aneh
yang saya jumpai. Seperti, ketika pada suatu sore pada bulan Mei 1991, saya berkunjung ke Toko Buku Wali Songo
di daerah kwitang, Jakarta Pusat.
Saya heran, begitu banyak orang keluar masuk toko buku tersebut. Ketika saya terus masuk ke dalamnya, saya melihat
banyak orang yagn membersihkan diri di kran air. Saya tidak tahu kalau orang-orang tersebut sedang berwudhu untuk
menunaikan shalat maghrib. Tidak lama kemudian terdengar suara azan dari bagian atas. Meskipun saya sudah pernah
ke sana dua tahun yang lalu, tetapi baru hari itu saya tahun bahwa di toko buku itu ada masjidnya.
Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang tersebut. Saya ikut berwudhu, setelah memeperhatikan
beberapa orang mengambil wudhu. Setelah itu, saya pun ikut shalat magrib berjamaah. Sampai sejauh itu, tidak satu
pun di antara jamaah yang mengetahui bahwa ada seorang non muslim yang ikut shalat berjamaah bersama mereka.
Peristiwa yang terjadi tanpa rencana dan begitu spontan itu, ternyata membuat kesan yang amat dalam pada jiwa saya.
Saya baru memahami betapa luhurnya ajaran Islam itu. "Untuk menghadap Tuhannya orang Islam harus benar-benar
dalam keadaan bersih," begitu kata hati saya dalam perenungan di malam hari.
Beberapa hari berikutnya, pandangan mata saya seperti ada yang mengarahkan. Selama beberapa hari, secara kebetulan,
saya selalu saja menjumpai masjid di mana pada saat itu bertepatan dengan kumpulan orang yang sedang berwudhu.
Semua yang saya lihat itu, terekam jelas di otak. Dan pada malam hari, kembali menjadi bahan renungan.
Pada suatu hari saya melihat seorang memakai kopiah hitam. Sebetulnya ini hal yang biasa. Tetapi, entah mengapa,
pada hari itu saya begitu terpesona. "Alangkah agung dan wibawanya orang itu. Saya heran, mengapa tidak semua
orang Islam berkopiah. Padahal, alangkah baiknya kalau semua orang Islam memakai kopiah. Biar tampak agung dan
berkharisma.
Beberapa hari kemudian, saya kembali menjumpai hal yang sama. Akhirnya, saya bener-benar tertarik dengan kopiah
hitam. Singkatnya, ketika saya singgah ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta, saya pun membeli kopiah hitam,
dan saya langsung memakainya. Orang-orang di pusat perbelanjaan itu tampak heran, ada seorang bertampang Tionghoa,
dengan penampilan khas seorang eksekutif muda, dan berdasi tetapi memakai kopiah. Dilihat seperti itu, tentu saja
membuat saya salah tingkah.
Sejak itu saya selalu berkopiah, kecuali di rumah dan di kantor. Masih malu. Tentang kopiah ini, ada satu peristiwa
yang menarik. Ketika saya singgah di pusat perbelanjaan di Jalan Gajah Mada, saya berpapasan dengan seorang gadis
cantik. Timbul naluri kelelakian saya untuk menggoda gadis itu. Apalagi saya seorang duda yang kesepian. Tentu
amat wajar. Tetapi, ketika saya ingin menghampiri sang gadis, secara refleks tangan saya bergerak menyentuh kopiah
yang sedang saya pakai, dan spontan batin saya pun berkata, "aku kan muslim."
Niat menggoda gadis, urung. Tetapi, yang membuat saya kaget bercampur heran, mengapa hati saya dapat berkata "aku
muslim" , padahal pada saat itu saya belum lagi bersyahadat. Kejadian yang seperti itu berulang dua kali,
di tempat yang berbeda. Malamnya saya tidak dapat tidur. Saya heran memikirkan suara hati saya yang menyatakan
diri seorang muslim, padahal saya belum menjadi seorang muslim. Tetapi, saya bersyukur. Dengan kopiah itu, jiwa
saya seperti punya kendali. Jalan saya seperti terbimbing ke satu arah yang pasti.
Masuk Islam
Pada suatu senja menjelang isya, ketika saya pulang kerumah di daerah Jatinegara, kebetulan saya melewati sebuah
masjid. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba kaki saya melangkah masuk ke halaman masjid. Dan, saya kembali ikut
berwudhu dan kemudian shalat bersama jamaah masjid itu.
Malamnya saya kembali merenung tentang keanehan-keanehan yang saya alami. Tetapi, kali ini saya sudah bulat, ingin
masuk Islam.
Setelah melewati proses berpikir yang cukup panjang akhirnya saya memutuskan untuk berkonsultasi ke sekretariat
PITI (Pembina Iman Tauhid Islam) di Masjid Istiqlal, Jakarta. Setelah mendapat informasi, tekad saya tambah mantap.
Ada suatu keanehan yang terjadi setelah saya pulang dari Masjid Istiqlal. Ketika tiba waktu magrib, saya mendengar
alunana azan yang amat merdu. Setelah azan selesai, telingat saya seperti mendengar bisikan, "Sembahyanglah
kamu." Ketika saya menoleh ke kiri dan kekanan, tidak ada seorangpun di sekitar saya. Saya tidak tahu, dari
mana suara gaib itu. Kejadian seperti itu berlangsung tiga kali, pada waktu yang berbeda.
Singkat cerita, pada hari Rabu, 24 Juli 1991, pukul 10.00 WIB, bertempat di sekretariat PITI di Masjid Istiqlal
Jakarta, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Allahu Akbar.
Setelah resmi menjadi seorang muslim, saya mendalami Islam di Pondok Pesantren Gentur, Sukabumi, Jawa Barat. Oleh
Pak Kiai, nama saya diganti menjadi Abdul Rasyid. Selain mempelajari Al-Quran, saya juga giat berzikir. "Sekarang
hati saya benar-benar plong, tanpa beban. Alhandulillah, saya telah menemukan kebahagiaan yang sejati.[Albaz]
.