MEMIMPIN UNTUK MEMPERBAIKI NEGARA
Oleh: Arifin Panigoro
Tugas utama pemimpin negara adalah memegang kekuasaan
pemerintahan. Sedangkan tugas setiap pemerintahan
pertama-tama ialah memerintah (to govern) secara
efektif. Tidak ada yang akan membantah hal yang
sudah jelas ini. Tujuan memerintah ialah, khusus
untuk Indonesia masa ini, membuat perbaikan atau
bisa disebut menjalankan reformasi. Mengenai ini
juga tidak perlu ada perbantahan, karena memang
merupakan kebutuhan obyektif yang dirasakan semua
orang.
Sebaliknya orang akan mengatakan,
bila perbaikan tidak ada, reformasi tidak jalan,
maka tujuan memerintah tidak tercapai. Berarti tugas
utama pemimpin negara dalam memegang kekuasaan pemerintahan
tidak dijalankan dengan benar. Selanjutnya bisa
berarti bahwa kepercayaan rakyat tidak perlu diberikan
lagi pada yang tidak berhasil memerintah dengan
baik. Memberikan atau menarik kembali kepercayaan
itu akan dilangsungkan dalam pemilihan umum nanti.
Karena itu ada pikiran, bahwa saatnya
sudah mendesak untuk mencegah agar kepemimpinan
Presiden Megawati tidak dinilai gagal menyelamatkan
reformasi Indonesia. Tentu saja ini bukan dengan
maksud supaya mendapat kepercayaan untuk berkuasa
kembali saja, melainkan juga agar reformasi memang
betul bisa dijalankan. Caranya sama sederhana seperti
jalan pikiran di atas. Supaya bisa berhasil, maka
kepemimpinan harus efektif. Supaya bisa efektif,
harus (1) mendapat dukungan politik yang cukup dan
(2) mendapat kepercayaan masyarakat.
Tanda bahwa kepemimpinan cukup efektif
ialah bila kebijakan yang diputuskan Presiden segera
dilaksanakan aparatnya – kabinet dan jajaran birokrasi
– dan dijamin selalu mendapat dukungan yang pasti
dari sejumlah kekuatan di DPR yang cukup besar;
dan kebijakan itu dipatuhi dan disetujui oleh masyarakat
terbanyak. Kelihatannya hal ini belum terjadi sekarang.
Yang ingin lebih tegas akan mengatakan Presiden
Megawati ternyata tidak bisa membuat hal itu terjadi.
Perbedaan antara kedua hal itu tidak relevan untuk
diperdebatkan lagi sekarang.
Pada akhirnya kepemimpinan yang efektiflah
yang akan jadi bahan ujian dalam pemilihan presiden
akan datang. Kalau tidak efektif, tidak akan dipilih
kembali. Sebab, pemilihan presiden yang akan datang
bukan hanya didasarkan pada memilih karena kedekatan
dan kesamaan pandangan, atau memilih karena solidaritas
tradisional, atau memilih karena tertarik janji
kampanye saja. Penilaian mengenai kinerja yang efektif
itu terutama ditujukan pada calon presiden yang
pernah atau sedang menjabat sebagai presiden, karena
pengalaman yang ada tentang baik buruknya kepemimpinan
tatkala berkesempatan memimpin tentu tidak bisa
luput dari penilaian masyarakat. Kesimpulannya :
mau tidak mau, presiden yang menjabat sekarang,
yaitu Presiden Megawati, dalam pemilihan nanti akan
dinilai dari efektifitas kepemimpinannya selagi
sedang berkuasa memerintah, ketika menjabat sebagai
presiden. Bagi calon lain tidak demikian pertimbangannya,
sebab memang tidak bisa dinilai keefektifannya,
karena belum pernah jadi presiden. Adil atau tidak,
inilah fakta yang terpaksa dihadapi.
Dukungan melalui Perjanjian Politik
Kesempatan yang masih ada – hanya
tinggal kira-kira setahun ini – harus dipakai sebaik-baiknya.
Pertama-tama, untuk syarat mendapat dukungan politik,
yang harus dibuat adalah menyusun jaringan kerjasama
(jikalau istilah ‘koalisi’ ingin dihindari karena
dianggap tidak tepat) yang cukup punya kesetiaan
untuk mendukung setiap kebijakan politik yang diambil.
Kesetiaan – dan juga kepercayaan – ini timbal balik:
dari jaringan kerjasama pendukung kepada Presiden,
dan dari Presiden kepada para pendukungnya. Maka
tercipta sebuah ikatan perjanjian politik, atau
semacam kontrak politik, yang selalu akan jadi pegangan
bersama dan senantiasa dijunjung tinggi oleh semua
pihak yang terlibat. Tanpa diucapkan, isi perjanjian
adalah saling membantu menciptakan kekuasaan pemerintah
yang efektif, demi melakukan reformasi.
Hubungan antara pengambilan keputusan
kebijakan Presiden (pemerintah) dengan para anggota
jaringan kerjasama harus dibuat kongkret dan berkesinambungan.
Artinya, tersedia mekanisme politik bagi jaringan
kerjasama untuk memberi masukan pada Presiden sewaktu-waktu
– diminta atau tidak diminta – dan sebaliknya Presiden
selalu bisa mengharapkan dukungan bagi kebijakan
pemerintah. Cara ini menjamin pengambilan keputusan
yang tepat dan mengamankan pelaksanaan kebijakan
pemerintah, mencegah rongrongan, yang semua akhirnya
menghasilkan kepemimpinan yang efektif, dan memang
akan terlihat efektif. Tidak perlu diulangi, bahwa
dalam politik kesan itu sama pentingnya dengan isi
yang tidak kelihatan.
Dari pengalaman yang ada, koordinasi
kegiatan seperti yang dilakukan kelompok “lintas
fraksi DPR/MPR” adalah contoh yang bisa dipakai
dan dikembangkan untuk perjanjian atau kontrak politik
yang dibutuhkan tersebut. Kelompok “lintas fraksi
DPR/MPR” adalah kerjasama yang dinamis dalam pengalaman
politik pada kurun 2000 – 2002 menghadapi tantangan
atau lawan politik bersama. Bentuk yang sekarang
diperlukan ialah yang lebih positif, kerjasama yang
lebih kontinu (sustainable) dan cara pengambilan
keputusan yang lebih melembaga. Sebaliknya, mengingkari
atau mengabaikan perlunya jaringan kerjasama politik
yang saling setia dan percaya, bisa berakibat celaka
bagi seorang presiden.
Ada beberapa contoh kongkret dalam
sejarah politik kita sendiri yang tidak boleh diabaikan.
Semua pemimpin Indonesia memerlukan dukungan politik
yang cukup, sehingga selalu berusaha mempersatukan
semua atau membuat gabungan kekuatan politik yang
lebih besar dari lawannya. Apabila berhasil, maka
kepemimpinannya efektif; apabila gagal, maka kepemimpinannya
runtuh; apabila mengabaikan pentingnya menggabungkan
kekuatan, maka kepemimpinannya tidak efektif dan
keruntuhan segera menyusul. Hal ini berlaku bagi
semua presiden, sejak Bung Karno, Soeharto, sampai
yang terakhir Gus Dur.
Contoh yang mengabaikan pentingnya
perjanjian/kontrak politik yang setia dan saling
percaya bisa disaksikan dari apa yang terjadi pada
Gus Dur. Ada dua hal yang patut diperhatikan. Pertama,
ketika Gus Dur ingkar dan meninggalkan kekuatan
yang semula berkoalisi, maka segera tantangan dan
serangan tak bisa dielakkan. Sepanjang masa itu
kepemimpinannya jadi tidak efektif. Kedua, ketika
sesudah Sidang Tahunan MPR 2000 sebagai presiden
mendapat kesempatan untuk memperbaiki kembali imbangan
koalisi yang sudah terpecah dan mereshuffle kabinet
dengan orang yang lebih tepat, tapi Gus Dur lalai
dan tidak melakukan dengan baik seperti dijanjikan
dan diharapkan, maka kejatuhannya tak bisa dicegah
setahun kemudian. Dinamika yang diperankan kelompok
“lintas fraksi DPR/MPR” amat penting pada masa itu.
Walaupun keadaan masing-masing jauh
dari sama, tapi siklus politik yang terjadi pada
Gus Dur patut dijadikan pelajaran sekarang. Kita
harus menganggap, bahwa setelah Sidang Tahunan MPR
2003 yang baru lalu, sebenarnya Presiden Megawati
juga semacam diberi kesempatan untuk mengatur koalisi
atau jaringan kerjasama politik yang efektif, sambil
memenuhi harapan untuk memperbaiki personalia kabinet.
Apabila kesempatan ini dilewatkan, sangat mungkin
akibat yang hampir sama dengan Gus Dur akan dialami
Presiden Megawati nanti, memang bukan melalui MPR,
tapi berupa kesulitan dan kegagalan dalam memenangi
pemilihan presiden 2004. Kesulitan yang tidak perlu
ini seyogianya harus dihindari.
Dukungan Kepercayaan Masyarakat
Untuk membuktikan kepemimpinan efektif
dengan menunjukkan hasil kebijakan memerintah, waktu
yang tersedia sudah tidak mencukupi. Namun kepercayaan
masyarakat – atau kesediaan masyarakat untuk masih
tetap menaruh kepercayaan – pada kepemimpinan nasional
masih bisa diperoleh dengan tindakan yang memberi
isyarat kuat akan keinginan Presiden menjalankan
perbaikan (reformasi). Tindakan yang diambil harus
kongkret. Contoh: Mungkin benar makro dan mikro-ekonomi
tidak akan bisa diperbaiki dalam beberapa bulan,
tapi mengangkat pembantu baru di bidang keuangan
dan perdagangan, misalnya, bisa membuka harapan
baru, dan pada gilirannya menimbulkan kepercayaan
masyarakat. Contoh lain: Mungkin benar bahwa pemberantasan
KKN dan penegakan hukum tidak mungkin terwujud seketika,
tapi mengganti pejabat penegak hukum yang selama
ini mengecewakan, pasti masih diperlukan untuk mengangkat
kembali optimisme masyarakat yang sudah terlanjur
apatis selama ini. Kesediaan untuk mengambil keputusan
kongkret seperti ini akan membuat kesan kepemimpinan
Presiden menjadi efektif. Biaya politik untuk melakukan
tindakan kongkret ini hampir tidak ada, dan kalaupun
ada, hasilnya akan jauh lebih berharga dari ongkosnya.
Argumen sebaliknya
Kesimpulannya sederhana: kepemimpinan
Presiden akan berlanjut, kalau kepemimpinannya efektif.
Kepemimpinan efektif, kalau ada dukungan politik
lewat kontrak politik, dan kembalinya kepercayaan
masyarakat hasil tindakan kongkret mengganti pejabat
seperlunya. Siapa pun menjadi presiden dalam kondisi
sekarang, akan harus melakukan hal yang sama.
Sebaliknya bisa dinyatakan dengan
derajat kepastian tinggi: Kalau tidak mengelola
dukungan kerjasama politik secukupnya dan tidak
melakukan tindakan kongkret untuk mengganti beberapa
pejabat – yang keduanya dilakukan dengan segera
– maka kelanjutan kepemimpinan Presiden Megawati
sangat terancam dalam pemilihan presiden 2004 nanti.
Kesimpulan ini bukan cuma harus disadari Presiden
Megawati seorang, tetapi juga oleh partai politik
tulang punggungnya, PDI Perjuangan. ***
Arifin Panigoro
Pengusaha dan Tokoh Politik dari PDI Perjuangan