BANDA ACEH -- Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Aceh mendesak 
        pemerintah segera menindaklanjuti temuan TPF yang dibentuk oleh Pemda 
        Tk-I Aceh mengenai kasus Beutong Ateuh yang menewaskan 57 warga. Kepala 
        Perwakilan Komnas HAM Aceh, Iqbal Farabi SH, kemarin, mengatakan temuan 
        Tim Pencari Fakta (TPF) sudah cukup bagi pemerintah untuk mengangkat 
        kasus itu ke pengadilan.
        Tim TPF yang terdiri atas berbagai unsur, antara lain pemda, polisi, 
        mahasiswa, LSM, dan tokoh masyarakat, Sabtu lalu mengumumkan bahwa dari 
        hasil penelitiannya, kasus Beutong Ateuh yang juga menewaskan pemimpin 
        pesantren Tengku Bantaqiah itu dilakukan oleh oknum TNI.
        
''Telah terjadi penembakan sepihak oleh TNI, dan tidak ada bukti yang 
        cukup adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan para pengikutnya,'' 
        demikian kesimpulan temuan TPF Pemda Aceh yang disampaikan salah seorang 
        anggota tim, Drs Azhary Basar, kepada pers di Banda Aceh.
        
Hasil investigasi dari Tim Komisi Independen Tindak Kekerasan Kasus 
        Aceh yang melakukan investigasi langsung terhadap kasus Beutong Ateuh 
        juga tidak jauh berbeda dengan temuan TPF Pemda Aceh. ''Hasil temuan TPF 
        Pemda Aceh hampir sama dengan temuan tim Komisi Independen Aceh,'' kata 
        anggota tim Komisi Independen Aceh, Prof Dr Hakim Nyak Pha.
        
''Jauh hari sebelumnya kami telah melakukan investigasi ke Beutong 
        Ateuh dan hasil penyelidikan tersebut kini sudah selesai. Tinggal 
        menunggu pengusutan untuk diajukan ke pengadilan,'' kata Hakim yang juga 
        Guru Besar Fakultas Hukum Unsyiah Banda Aceh.
        
Ia mengatakan hasil temuan tim Komisi Independen Aceh sebenarnya 
        sudah siap diperkarakan, karena fakta, saksi, barang bukti, dan para 
        pelakunya sudah tercatat, tinggal bagaimana keinginan pemerintah untuk 
        mengangkat masalah ini ke pengadilan. ''Pemerintah harus benar-benar 
        menepati janjinya untuk mengusut secara tuntas para pelaku pelanggaran 
        HAM di Indonesia, termasuk di Aceh,'' ujarnya.
        
Menurut Iqbal Farabi, apabila pemerintah berniat ingin melanjutkan 
        kasus Beutong Ateuh untuk dibawa ke pengadilan harus dilakukan dengan 
        transparan sehingga diketahui masyarakat luas. Dalam kasus ini tidak 
        perlu dicari siapa prajurit yang melakukan pembantaian. ''Mereka adalah 
        prajurit yang patuh terhadap atasannya,'' katanya, di Banda Aceh.
        
Yang harus bertanggung jawab dalam kasus Beutong Ateuh, menurut 
        Iqbal, adalah institusinya, bukan pribadi masing-masing prajurit, karena 
        prajurit melakukan penembakan tersebut atas perintah atasannya. ''Jadi 
        saya kira yang paling bertanggung jawab terhadap kasus Beutong Ateuh 
        adalah Danrem 011/Lilawangsa, Pangdam I Bukit Barisan, dan mantan 
        Panglima TNI Jenderal Wiranto,'' katanya.
        
Tentang temuan TPF itu, Kapuspen TNI Mayjen Sudrajat berharap agar 
        temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Beutong Ateuh diklarifikasi kembali 
        dengan melibatkan unsur-unsur yang lebih luas. ''Dalam mencari 
        kebenaran, TPF hendaknya bekerja secara seimbang dan jauh dari 
        kepentingan-kepentingan politis,'' katanya, tadi malam.
        
Kepada Republika, Kapuspen mengatakan TNI berharap temuan TPF 
        itu diklarifikasi kembali dengan melibatkan unsur Komnas HAM, TNI, dan 
        pihak-pihak lain yang terkait sehingga fakta dan keterangan yang 
        diperoleh cukup seimbang. Menurut kesimpulan TPF, kasus 'pembantaian' 57 
        warga di Beutong Ateuh, Aceh Barat, yang terjadi 23 Juli 1999, dilakukan 
        oleh oknum TNI.
        
Namun, kata Sudrajat, TNI tetap berkeyakinan bahwa kasus Beutong 
        Ateuh itu terjadi setelah adanya perlawanan dari Tengku Bantaqiah dan 
        pendukungnya saat aparat melakukan penggerebekan ke rumahnya. Dalam 
        penilaian TNI, Bantaqiah adalah salah seorang pimpinan gerakan separatis 
        bersenjata di wilayah itu.
        
''Saat itu, Tengku Bantaqiah memerintahkan penyerbuan dari dalam 
        rumah. Bahkan, istri Bantaqiah ikut memegang parang untuk menyerang 
        aparat. Dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain bagi TNI untuk 
        melakukan tindakan,'' ujar Sudrajat.
        
Menurutnya, dalam posisi seperti itu, terjadinya bentrok bersenjata 
        antara aparat dan kelompok Bantaqiah memang tidak bisa dihindari. 
        ''Dengan demikian, terjadinya korban juga tidak bisa dihindari,'' 
        tegasnya.
        
Sudrajat mengatakan berdasarkan laporan yang diterima saat itu, TNI 
        juga memastikan bahwa di sekitar tempat tinggal Bantaqiah terdapat 
        ladang ganja --hal yang dibantah dalam kesimpulan TPF. Apalagi, katanya, 
        Bantaqiah pada awalnya memang produsen ganja saat kemudian dia 
        dijebloskan ke LP Tanjung Gusta Sumatera Utara.
        
Meski begitu, lanjut Sudrajat, TNI pada dasarnya cukup terbuka 
        terhadap masukan atau temuan TPF tersebut. ''Sejauh temuan tersebut 
        dihasilkan secara terbuka, objektif, tidak diarahkan untuk menghakimi 
        TNI/Polri, apalagi untuk kepentingan politis yang menyerang 
        pemerintah,'' lanjutnya.
        
Pada bagian lain Sudrajat mengatakan keterlibatan TNI pada kasus 
        Beutong Ateuh hendaknya tidak dilihat pada kasusnya semata tapi dirunut 
        pada latar belakangnya. Menurut dia, keterlibatan TNI pada kasus Beutong 
        Ateuh dan kasus-kasus lainnya di Aceh muncul karena ada gerakan 
        separatis.
        
''Bagi TNI/Polri, mandatnya sudah jelas yaitu mengamankan negara 
        kesatuan RI dari gerakan-gerakan separatis. Di Amerika, tentaranya pun 
        mendapat mandat yang sama,'' kata mantan atase pertahanan di Washington 
        dan London ini.
        
Meragukan Pemerintah
        
Sementara itu, aktivis hak asasi manusia (HAM) Aceh, Ir Abdul Gani 
        Nurdin, menyatakan keraguannya bahwa masalah para pelaku pelanggaran HAM 
        di Aceh semasa diberlakukannya daerah operasi militer (DOM) dan 
        sesudahnya akan dibawa ke pengadilan.
        
''Setelah mendengar pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang 
        mengatakan bahwa pelaku pembunuhan di Aceh dilakukan orang berbaju TNI, 
        maka saya menjadi ragu para pelaku pelanggaran HAM di Aceh akan 
        diadili,'' kata Wakil Ketua Forum Peduli HAM Aceh itu kepada pers di 
        Banda Aceh, Sabtu.
        
Ia menilai dalam pernyataan Presiden Gus Dur tersebut ada indikasi 
        bahwa pemerintah tidak akan serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran 
        HAM di Aceh. Meskipun Gus Dur telah membentuk Menteri Urusan HAM, namun 
        ia tidak begitu yakin pemerintahan akan serius untuk menyelesaikan kasus 
        pelanggan HAM di Aceh, baik semasa DOM (1989-1999) maupun pasca-DOM.
        
Ditempatkannya Dr Hasballah M Saad sebagai Meneg Urusan HAM yang 
        merupakan putra Aceh, menurut Abdul Gani, bukan berarti penyelesaian 
        masalah HAM akan berjalan mulus, karena semua itu sangat bergantung dari 
        kebijakan Gus Dur.
        
Abdul Gani yang merupakan salah seorang pembongkar kasus pelanggaran 
        HAM di Aceh itu menyebutkan, sebagai pembantu Presiden, Hasballah bisa 
        ditekan untuk tidak terlalu maju dalam menyelesaikan masalah-masalah 
        pelanggaran HAM dan tindak kekerasan di daerah ini.
        
Kecurigaannya itu berdasarkan pengalaman selama ini, yakni dari 
        sejumlah tim yang pernah dibentuk pemerintah untuk melakukan investigasi 
        kasus-kasus tindak kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, tidak satu pun 
        yang ditindaklanjuti ke pengadilan.
        
Abdul Gani, yang juga salah seorang tim Komisi Independen Pengusut 
        Kasus Tindak Kekerasan di Aceh itu, mengatakan apabila Menteri Hasballah 
        M Saad tidak mampu mengangkat para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan, 
        sebaiknya ia mundur dari jabatan menteri. ''Kami akan beri waktu kepada 
        Menteri Hasballah selama tiga bulan, apabila dalam waktu itu ia tidak 
        bisa mengangkat para pelaku pelanggaran HAM di Aceh, sebaiknya mundur.''
        
Untuk itu, ia mengharapkan agar sejak sekarang Menneg HAM segera 
        mempersiapkan segala perangkat dan sarana di Pengadilan HAM yang telah 
        dibentuk oleh pemerintahan sebelumnya, seperti hakim, jaksa, dan 
        sebagainya.