KOMPAS, Senin, 27 Januari 2003
Menunggu "Bom Waktu" Meledaknya Permukiman
SELASA 19 Januari 1999 sekitar pukul 15.00 WIT. Boyke Huliselan (kini 56 tahun)
berada di rumah hanya berdua dengan putri bungsunya, Viona Huliselan, yang saat
itu sudah 33 tahun mendiami rumahnya di Jalan Rijali, kawasan Batu Merah, Kota
Ambon, Maluku, memang mendengar ada ribut-ribut di sekitar tempat tinggalnya. Ia
sama sekali tidak menyangka, setengah jam kemudian keributan yang berawal dari
perkelahian antarpemuda Batu Merah dan Mardika itu membinasakan rumahnya, lalu
berlanjut menjadi rentetan kerusuhan bermuatan agama yang membumihanguskan
Maluku.
HULISELAN, bersama tiga pemilik rumah lain yang bertetangga dengannya, menjadi
korban pertama kerusuhan pertama di Maluku. "Ketika rumah saya dibakar, saya dan
Viona terkurung di kamar mandi, sedangkan istri dan tiga anak saya lainnya sedang
tidak berada di rumah. Hari itu juga rumah saya habis dilalap api. Beruntung saya dan
Viona bisa selamat, dan hari itu juga kami sekeluarga mengungsi tanpa bisa
menyelamatkan satu pun harta benda dan surat-surat penting," kisah Huliselan, saat
dijumpai pada awal Januari 2003, hampir empat tahun setelah awal tragedi
kemanusiaan di Maluku terjadi.
Keluarga Huliselan mengungsi ke rumah saudara Ny Huliselan di Jalan Mutiara
selama setengah bulan. Selanjutnya ia membawa keluarganya menumpang pada
keponakannya yang mengontrak sebuah rumah di kawasan Batu Meja.
Pada Mei 1999, pemerintah daerah (pemda) setempat menjamin keadaan Ambon
sudah aman dan meminta korban kerusuhan di Batu Merah, termasuk Huliselan,
membangun kembali rumah mereka masing-masing. "Waktu itu rencananya Presiden
BJ Habibie mau datang ke Ambon untuk meresmikan pembangunan kembali rumah
korban kerusuhan tersebut. Sebelum presiden tiba, saya dan beberapa penghuni lain
di tepi jalan besar diminta lebih dulu membangun kembali rumah masing-masing,"
papar Huliselan.
Lelaki dengan sejumlah gigi sudah tanggal itu menuturkan, dia merasa terpaksa
membangun kembali rumahnya di Jalan Rijali itu. Kalau tidak diharuskan oleh pemda,
demikian katanya, sedikit pun ketika itu dia tidak berniat membangun kembali
rumahnya. Meski dengan perasaan setengah hati, Huliselan pun menuruti permintaan
pemda dan membangun kembali rumahnya. Tanggal 15 Mei 1999, belum rampung
pembangunan kembali rumah Huliselan dilaksanakan, kembali pecah kerusuhan yang
lagi-lagi meminta rumahnya sebagai salah satu korban lahapan si jago merah.
"Waktu itu saya sudah pasang atap, yang kurang tinggal pasang plester dinding.
Rumah yang hampir jadi itu pun hangus lagi diamuk massa yang larut dalam
kerusuhan. Presiden pun akhirnya batal datang," kata Huliselan sambil tersenyum
getir. Sejak untuk kedua kalinya rumah tersebut menjadi salah satu korban amuk
massa, hingga saat ini Huliselan, yang masih menumpang di rumah kontrakan
keponakannya di Batu Meja, tidak pernah berani melewati Jalan Rijali dan menengok
puing rumahnya itu.
"Tahun 2002, saya dengar dari beberapa teman, rumah saya itu kembali sudah
dibangun sekaligus ditempati oleh orang lain. Sampai hari ini saya belum berani
melewati dan melihatnya langsung, tetapi istri saya sudah melihatnya sendiri.
Ternyata benar, ada orang yang tanpa seizin saya meneruskan pembangunan
kembali yang saya lakukan, dengan mengganti atap dan membongkar beberapa
dinding. Orang itu sampai sekarang menghuni rumah saya tersebut," kata Huliselan.
Saat Kompas mendatangi rumah milik Huliselan itu, rumah tersebut memang terlihat
sudah dihuni. Namun, ketika itu penghuni rumah sedang keluar. Sejumlah tetangga
mengatakan, penghuni rumah tersebut bernama Udin.
BERKEBALIKAN posisi dengan Huliselan, keluarga Arif Tehuaya (35) adalah salah
satu pengungsi korban kerusuhan Maluku yang begitu saja menempati sebuah rumah
toko (ruko) di Jalan Sam Ratulangi, Ambon, yang ditinggal mengungsi pemiliknya.
Bersama delapan keluarga lainnya, atau total berjumlah sekitar 35 jiwa, Tehuaya
sudah dua tahun menempati ruko yang berseberangan dengan pertokoan Ambon
Plaza itu.
Saat kerusuhan meletus tahun 1999, Tehuaya bersama istri dan tiga anaknya tinggal
di rumah kontrakan di kawasan Air Salobar. Ketika amuk massa menghancurkan
rumah-rumah di Air Salobar, keluarga Tehuaya dan sejumlah keluarga lain selama
sebulan mengungsi di Kantor Transmigrasi-masih di kawasan Air Salobar.
Selanjutnya, masih bersama tetangga-tetangganya, Tehuaya mengungsi ke Kantor
Navigasi di kawasan Waihaong. Setelah setahun tinggal di Kantor Navigasi, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Maluku memandu keluarga Tehuaya bersama delapan
keluarga lain pindah ke ruko dua lantai di Jalan Sam Ratulangi itu.
Oleh Tahuaya dan rekan-rekannya, ruko tersebut dirombak untuk memungkinkan
sembilan keluarga tinggal bersama di situ. Dibuatlah bilik-bilik dari papan dan tripleks,
dengan satu bilik diperuntukkan bagi satu keluarga. Tiap bilik kira-kira berukuran 3 x
2,5 meter persegi.
Hingga kini tidak seorang pun dari sembilan keluarga yang tingal di situ kenal siapa
pemilik ruko tersebut. Mereka tidak pernah bertemu dengan si pemilik. Setiap bulan,
siapa yang membayar listrik yang hingga saat ini tetap menyala pun mereka tidak
tahu. "Kami tidak tahu siapa pemiliknya. Katanya orang Tionghoa. Kami juga tidak
tahu apakah dia yang membayar tagihan listrik setiap bulannya langsung ke PLN (PT
Perusahaan Listrik Negara). Yang jelas, listrik sampai hari ini terus menyala dan kami
tidak dikenai pungutan apa pun selama tinggal di sini," kata Tehuaya yang berprofesi
sebagai kepala sekuriti di pertokoan Ambon Plaza.
MALUKU memang menyimpan sebuah "bom waktu" persoalan permukiman, yang
sewaktu-waktu bisa meledak setelah rentetan konflik reda. "Bom waktu" itu akan
menjadi masalah besar baru ketika para pengungsi kembali ke lahan, rumah, atau
gedung milik mereka, dan mendapati properti mereka itu sudah dihuni orang atau
pengungsi lain.
Tidak ada data tentang jumlah pasti lahan, rumah, dan gedung milik pengungsi yang
dihuni pengungsi lain ketika ditinggalkan, tanpa seizin atau persetujuan sang pemilik.
Namun, di Ambon, sangat mudah dijumpai properti yang bertahun-tahun ditinggal
pemiliknya untuk mengungsi demi menyelamatkan diri dari amuk kerusuhan, kini
telah diisi oleh pengungsi lain. Di pusat keramaian kota, deretan ruko di kedua sisi
Jalan AY Patty dan beberapa ruko di Jalan Sam Ratulangi adalah sedikit contoh.
Tidak hanya pengungsi yang menempati properti kosong yang ditinggalkan
pemiliknya. Menurut Wali kota Ambon Jopie Papilaja, sejumlah warga masyarakat di
kawasan Tantui mengajukan komplain, karena di tanah yang sertifikatnya mereka
miliki berdiri Markas Brimob Kepolisian Daerah Maluku. Sementara di tanah milik
pemda di sepanjang kawasan Batu Merah-Galunggung, pengungsi dan pendatang
mendirikan bangunan tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Menurut Papilaja, meskipun persoalan pemukiman sudah banyak terjadi di lapangan,
saat ini belum banyak masyarakat yang melapor dan mengajukan gugatan. "Itu
memang potensi konflik yang bisa tereksploitasi, lebih-lebih jika ada pihak lain yang
memperkeruh suasana. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu Pemkot (Pemerintah
Kota) Ambon sudah menyurati para ketua rukun tetangga (RT) dan kepala desa untuk
tidak memberi izin kepada orang yang mengungsi di suatu desa untuk menggunakan
rumah atau tanah milik orang lain tanpa izin tertulis dari pemiliknya," kata Papilaja.
Menurut dia, salah satu butir Perjanjian Malino menyatakan, hak-hak keperdataan
orang tidak bisa hilang karena kerusuhan, karena konflik, dan karena dia mengungsi.
"Yang terjadi sekarang ini kan karena hukum belum bisa ditegakkan betul. Kalau
hukum ditegakkan betul, kepemilikan tetap ada pada pemilik yang sah. Hak pemilik
tidak bisa hilang hanya karena dia pergi mengungsi," ujarnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku melalui Satuan Koordinasi Pelaksana
(Satkorlak) Penanganan Pengungsi Maluku menyatakan akan membangun kembali
rumah para korban kerusuhan dengan anggaran dari Pemprov Maluku sebesar lima
juta per unit rumah. Sementara untuk pemulangan pengungsi, Satkorlak menerapkan
tiga mekanisme, yakni pemulangan ke tempat asal, relokasi, dan transmigrasi.
Asisten II Gubernur Maluku Djafar Soamole yang saat ini mengepalai Satkorlak
menjelaskan, jika pengungsi ingin kembali ke tempat asal, Pemprov Maluku siap
membangunkan rumah di lokasi tersebut. Jika si pengungsi trauma tinggal di tempat
asal dan dia memiliki lahan di tempat lain, Pemprov akan membangunkan rumah di
lahan tersebut (inilah yang dimaksud dengan relokasi). Menurut Soamole,
penanganan dan pengembalian pengungsi terkendala oleh tidak akuratnya data
tentang tempat asal pengungsi. Pendataan tersebut dilakukan melalui kuesioner yang
disebarkan kepada pengungsi.
Baik Huliselan maupun Tehuaya mengemukakan, mereka sudah belasan kali mengisi
kuesioner yang sama, tetapi realisasi pembangunan rumah oleh pemerintah di lokasi
yang mereka ajukan hingga saat ini masih nihil. Yang ada hanya kuesioner yang
menyusul kuesioner yang sama, dan begitu seterusnya.
"Sejak tahun 2001, entah sudah berapa puluh kuesioner yang sama yang sudah saya
isi. Saya sudah sebutkan di kuesioner itu, saya menghendaki rumah untuk kami itu
dibangun di kawasan Lateri saja, di lahan milik saya di sana. Sampai sekarang,
bukan rumah yang saya dapati, tetapi lagi-lagi kuesioner yang sama," keluh
Huliselan.
Menurut Ketua Pos Komando Penanggulangan Percepatan Pemulangan Pengungsi
Abdul Rahman Soumena, jumlah sementara rumah yang rusak akibat rangkaian
kerusuhan di Maluku sejak 19 Januari 1999 adalah 29.414 unit. Antara tahun
1999-2001, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Maluku telah membangun kembali 7.548
unit rumah. Untuk tahun 2002, Dinas PU Maluku membangun 9.324 unit rumah,
Dinas Sosial Maluku 4.000 unit, dan Dinas Tenaga Kerja dan Transnigrasi
(Nakertrans) Maluku 1.400 unit. "Itu adalah jumlah rumah yang sudah dibangun
kembali, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai data jumlah pengungsi yang sudah
dipulangkan," kata Soumena.
Soumena menambahkan, berdasarkan data, jumlah rumah yang rusak mencapai
29.414 unit, sementara kekurangan rumah yang masih harus dibangun adalah 7.142
unit. Namun, berdasarkan perkembangan data terbaru yang diterima Pos Komando
Penanggulangan Percepatan Pemulangan Pengungsi, jumlah rumah yang masih
harus dibangun pada tahun 2003 adalah 17.410 unit. "Itu dikarenakan data yang
masuk berkembang terus, antara lain ada pengungsi yang mengisi kuesioner
beberapa kali, ada yang sengaja berbohong," katanya.
Sementara itu berdasarkan catatan Dinas Sosial Maluku, sepanjang kerusuhan
melanda Maluku tercatat pengungsi asal Ambon berjumlah 29.163 keluarga (145.328
jiwa), Maluku Tengah 18.764 keluarga (98.867 jiwa), Maluku Tenggara 11.842
keluarga (59.855 jiwa), Maluku Tenggara Barat 2.360 keluarga (16.489 jiwa), dan Buru
1.842 keluarga (12.069 jiwa). Sepanjang tahun 2001, pengungsi asal Ambon yang
sudah dipulangkan dan menerima jaminan hidup berjumlah 327 keluarga, Maluku
Tengah 591 keluarga, Maluku Tenggara Barat 610 keluarga, dan Buru 472 keluarga.
Sepanjang tahun 2002, pengungsi asal Ambon yang sudah dipulangkan berjumlah
600 keluarga, Maluku Tengah 629 keluarga, Maluku Tenggara Barat 1.437 keluarga,
dan Buru 771 keluarga.
MENURUT sosiolog Universitas Pattimura, Tonny Pariela, kapasitas pemerintah
untuk mengatasi situasi yang relatif masih chaos dalam suasana yang dikatakan
kondusif di Maluku sebenarnya cukup, tetapi pemda tidak punya cukup itikad baik
untuk bekerja secara serius. "Yang kita butuhkan adalah sebuah masterplan
(rancangan dasar) dari pemulihan situasi berbagai aspek yang komprehensif dan
terintegrasi. Kalau saja pemda mau sedikit capek dan mau duduk bersama-sama
dengan komponen masyarakat yang dianggap sebagai stakeholders yang bisa
memberi masukan, saya kira akan jadi," katanya.
Dalam pandangan Pariela, pemda seakan-akan berpendapat Perjanjian Malino sudah
cukup. Namun, bagi masyarakat, Perjanjian Malino belumlah cukup. "Dari perspektif
masyarakat, Perjanjian Malino hanya momentum yang diberikan kepada pemerintah
supaya bisa memulai proses pembenahan. Persoalannya timbul pada implementasi
Perjanjian Malino. Contohnya soal penanganan pengungsi. Penanganan pengungsi
tidak semudah yang orang awam bicarakan. Penanganan pengungsi Maluku butuh
pengondisian di lokasi pemulangan, butuh terapi psikologis untuk membangun
kepercayaan diri mereka supaya mereka bisa kembali, butuh fasilitas transportasi,
pembangunan perumahan, dan sebagainya," papar Pariela.
Pengungsi itu bukan terdiri atas satu kelompok, melainkan banyak kelompok yang
kondisi lokal di tempat pemulangan mereka berbeda-beda, yang membutuhkan
pendekatan yang berbeda-beda pula. "Kalau strategi yang dilakukan pemerintah
bersifat sporadis, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk bisa dengan cepat
melakukan pemulihan. Tingkat kepercayaan masyarakat secara perlahan memang
mulai membaik, tetapi sangat lamban. Ini lalu diterjemahkan pemerintah sebagai
sesuatu yang harus berjalan alami," kata Pariela.
Pandangan "alami" itu harus dikritisi secara positif. Proses pemulihan kondisi di
Maluku harus dipercepat. Alami memang baik, tetapi ada banyak hal yang harus
diintervensi pemerintah untuk mempercepat proses pemulihan, sambil melakukan
manajemen konflik. Menurut Pariela, potensi konflik ada di mana-mana. Yang menjadi
masalah adalah bagaimana me-manage potensi konflik tersebut.
"Pada masyarakat normal saja yang tidak mengalami kerusuhan seperti di Maluku
ada potensi konflik. Apalagi masyarakat Maluku yang sudah telanjur mengalami
konflik, potensinya semakin besar. Oleh karena itu, pemetaan masalah untuk bisa
me-manage potensi konflik dengan baik itu penting sekali. Fokus pemerintah
sekarang pada resolusi konflik, yakni bagaimana menyelesaikan konflik dengan
pendekatan instan. Manajemen konflik tidak sekadar resolusi konflik, tidak sekadar
konflik terjadi, datang, dan lerai; melainkan me-manage konflik supaya tidak menjadi
konflik yang terbuka," jelasnya.
Penanganan pengungsi menyimpan potensi konflik cukup besar. Saat ini para
pengungsi tinggal di lokasi yang daya dukung lingkungannya sudah terlewati.
Contohnya di bidang ekonomi, banyak sekali pengungsi yang mencari nafkah di
Ambon dengan berjualan di pasar-pasar kaget. Sementara masyarakat setempat
yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) juga harus mencari nafkah
dengan berjualan di pasar tersebut. Persaingan masyarakat setempat dengan
pengungsi di lahan yang sama, dengan jumlah pembeli yang tidak bertambah secara
signifikan, menyimpan potensi konflik baru.
"Oleh warga setempat, keberadaan pengungsi dirasakan sebagai membatasi
akses-akses ekonomi dan aspek lain, sehingga terjadi kompetisi yang
membahayakan. Semakin banyak kompetitor, semakin kecil akses, kemungkinan
benturan semakin besar. Sedikit saja terjadi gesekan akan menyebabkan percikan
dan kerusuhan baru. Untuk itu, daya dukung Kota Ambon harus segera distabilkan
dengan cara memulangkan pengungsi sesegera mungkin," kata Pariela.
Sementara Pemprov Maluku, Satkorlak Penanganan Pengungsi Maluku, Pos
Komando Penanggulangan Percepatan Pemulangan Pengungsi, serta
instansi-instansi terkait terus saja berkutat dengan angka-angka dan kuesioner, akan
tiba menit dan detiknya "bom waktu" persoalan pemukiman meledak dahsyat. (Ferry
Irwanto)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|