Liputan6.com, 03/01/03 01:45 WIB
Catatan Akhir Tahun 2002
Darah dan Air Mata di Tahun Dua
31/12/2002 21:40 — Pemerintahan Megawati Sukarnoputri dinilai tak serius
memerangi korupsi, kolusi, dan nepotisme. Konflik di Aceh dan Maluku juga
membuat wajah Indonesia kian muram.
Liputan6.com, Jakarta: Ini adalah potret buram Indonesia sepanjang 2002; konflik
Aceh yang berkepanjangan, pertumpahan darah di Ambon, kontroversial RUU
Penyiaran, dan penyelesaian kasus korupsi yang jauh panggang dari api. Semuanya
terasa kelam. Gelap dan menyesakkan. Tak berlebihan bila penyair Taufik Ismail
mengeluarkan buku puisi dengan judul "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia".
Tulisan ini bukan bermaksud menjelek-jelekkan, apalagi mencaci maki, Indonesia. Ini
hanyalah sebuah catatan kecil, yang boleh jadi, bisa dilupakan kapan saja dan oleh
siapa saja. Tak ada juga maksud untuk memberi penilaian kepada pemerintah
Presiden Megawati Sukarnoputri. Kami hanya berusaha mengingatkan bahwa
perjalanan bangsa ini masih sangat buram. Masih penuh lobang di sana-sini.
Konflik di Aceh adalah satu di antaranya. Di ujung Pulau Sumatra ini, darah seakan
tak pernah habis tumpah ke tanah. Setiap hari, selalu saja ada penculikan,
pembunuhan, dan pembakaran. TNI membunuh anggota Gerakan Aceh Merdeka,
begitu juga sebaliknya. Ribuan rakyat tak berdosa juga kerap menjadi korban. Situasi
ini berlangsung terus-menerus selama 26 tahun, seperti tak pernah ada akhirnya.
Tanah Rencong yang damai kini sudah menjadi telaga air mata.
Bahkan, beberapa pekan silam, sekitar 1.200 pasukan TNI mengepung Desa Cot
Trieng. TNI yakin di desa ini terdapat Markas GAM. Tentara juga yakin Panglima
GAM Muzakir Manaf bersembunyi di sana. Maka selama 40 hari, sejak 12 November
2002, TNI terus memperkecil jarak kepungan. Mereka benar-benar siap bertempur.
Mereka juga siap menyerang Markas GAM. Tekad ini mengundang polemik.
Sejumlah kalangan, terutama aktivis hak asasi manusia, mengecam rencana TNI
menyerang Desa Cot Trieng.
Di saat situasi genting inilah, Henry Dunant Center mengajak pemerintah Indonesia
dan GAM untuk duduk semeja. Mereka berunding di Jenewa, Swiss. Diawali
pertemuan yang alot, pemerintah dan GAM akhirnya mau menandatangani perjanjian
penghentian permusuhan. Perjanjian ini seperti oase di padang pasir. Rakyat Serambi
Mekah menyambut dengan gembira. Mereka berharap, TNI dan GAM tak lagi saling
serang.
Begitu besar harapan damai itu. Seusai perdamaian, ribuan masyarakat Aceh di
berbagai tempat, seperti Jakarta, Medan, dan Banda Aceh menggelar sujud syukur
sebagai manifestasi kegembiraan. Mereka berdoa agar darah tak lagi menetes di
Aceh. Kegembiraan juga dirasakan pemerintah Indonesia. Di bawah pengawalan
ketat, Presiden Megawati Sukarnoputri bersama sejumlah menteri juga sempat sujud
syukur di Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Bahkan, Mega optimistis pembangunan
di Aceh akan bergerak dalam dua tahun mendatang.
Satu hal yang menggembirakan, setelah penandatanganan damai, TNI langsung
menarik pasukannya dari Cot Trieng. Kebijakan ini begitu penting karena menjadi
simbol keseriusan TNI untuk tak lagi menggunakan cara-cara militer dalam
menyelesaikan konflik Aceh. Tentara berusaha tunduk pada keputusan politik yang
telah diambil pemerintah. Hebatnya lagi, TNI tak lagi menyatakan GAM sebagai
musuh, tapi sebagai saudara sesama warga Indonesia. Mereka juga melepaskan
anggota GAM yang tertangkap selama konflik.
Jika TNI menarik pasukannya, bagaimana dengan GAM? Gerakan yang dipimpin
Hasan Tiro ini juga melakukan langkah serupa. Mereka menarik pasukannya dari
sejumlah tempat strategis, meski belum bersedia meletakkan senjata. Seperti halnya
TNI, GAM juga menghormati keputusan politik yang diambil pimpinannya di Jenewa.
Penarikan pasukan TNI dan GAM dianggap sebagai implementasi awal dari sembilan
butir kesepakatan penghentian permusuhan. Nah, langkah awal ini adalah momentum
yang tepat untuk membangun rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Sebab,
penarikan pasukan menjadi simbol rasa saling percaya itu mulai dipupuk. Mereka
juga mempercayai Komite Keamanan Bersama untuk memantau pelaksanaan
perjanjian damai. Komite ini terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia, GAM, dan
pihak ketiga.
Namun, Aceh tak serta merta menjadi aman. Bau mesiu masih tercium di sana. Baku
tembak antara TNI dan GAM belum juga hilang seusai perjanjian. Sedikitnya dua
personel TNI tewas dalam sebuah kontak senjata. Masyarakat luas menyayangkan
peristiwa itu. Mereka khawatir kedamaian menjadi hal yang paling mewah di Serambi
Mekah. Kini masyarakat berharap kesungguhan kedua belah pihak untuk
membuktikan bahwa mereka bisa hidup berdampingan dengan damai.
Konflik berdarah tak hanya terjadi di Aceh. Di Maluku, kekerasan juga menjadi
santapan masyarakat di sana. Dalam beberapa tahun terakhir, daerah ini luluh-lantak
dihantam serangan kerusuhan yang berlangsung secara seporadis. Umat Islam
menyerang mereka yang beragama Nasrani, begitu juga sebaliknya. Akibatnya,
ribuan orang tewas, sejumlah bangunan hangus terbakar, dan Maluku semakin
tertinggal. Ini membuat Indonesia kembali menangis.
Perlahan namun pasti, perdamaian di Maluku mulai terwujud, meski masih terbatas
pada perjanjian di atas kertas. Tapi, setidaknya dua kelompok yang bertikai,
sama-sama memiliki itikad baik untuk menghentikan permusuhan. Mereka bertemu di
Malino, 70 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Adalah Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla yang memfasilitasi pertemuan tersebut.
Sayangnya, pertemuan yang berlangsung 11-12 Februari 2002 tak berlangsung
mulus. Soalnya, beberapa kelompok, baik dari kubu Kristen maupun Islam, menolak
hadir. Mereka menganggap pertemuan ini tak sesuai dengan aspirasi. Meski begitu,
pemerintah tetap menggelar pertemuan itu. Alasannya, sejumlah unsur yang terlibat
langsung dalam konflik sudah terwakili. Dalam suasana penuh haru, pertemuan itu
akhirnya melahirkan Deklarasi Malino II. Isinya, sejumlah kesepakatan yang
menjamin terlaksananya perdamaian di Maluku.
Deklarasi ini disambut sukacita masyarakat Ambon. Mereka langsung mengadakan
konvoi perdamaian. Konvoi yang diikuti ribuan orang ini seolah menjadi tanda bahwa
perdamaian di Maluku akan segera terwujud. Mereka benar-benar haus dengan
suasana damai. Kegembiraan rakyat semakin terlihat setelah kedua kelompok
menyerahkan senjata sebagai bentuk pelaksanaan butir kesepakatan Malino II.
Tak hanya itu. Untuk memberi rasa aman kepada masyarakat, personel TNI/Polri juga
menggelar sweeping senjata ke rumah-rumah penduduk. Ini dilakukan untuk
memastikan tak ada lagi senjata yang dipegang penduduk. Secara bergilir, mereka
mendatangi rumah penduduk. Puncak peran serta aparat keamanan terjadi ketika
mereka membongkar barikade-barikade di sejumlah tempat. Barikade ini sebelumnya
dijadikan garis demarkasi antara dua kelompok yang bertikai. Pembongkaran ini
sekaligus menjadi simbol keinginan warga Ambon untuk kembali hidup
berdampingan, tanpa diselimuti rasa curiga dan amarah.
Di saat masyarakat mulai merasakan hidup damai, sejumlah letupan terjadi.
Kerusuhan di Desa Soya adalah satu di antaranya. Dalam kerusuhan ini, 12 orang
tewas dan sebuah gereja terbakar. Ini membuat Jakarta kebakaran jenggot, karena
bisa mementahkan kembali hasil Deklarasi Malino II. Untungnya, keinginan damai
masyarakat lebih kuat. Sehingga kekhawatiran pemerintah tak terbukti. Pemerintah
menduga, kerusuhan Soya dilakukan oleh segelintir orang yang memang tak
menghendaki perdamaian di Maluku.
Untuk menjamin keamanan di Ambon, penegakan hukum terus dilakukan. sejumlah
orang yang dinilai berperan besar dalam pertikaian, seperti Ketua Front Maluku
Selatan Alex Manuputty dan Panglima Laskar Jihad Ja`far Umar Thalib ditangkap.
Belakangan, Alex divonis tiga tahun penjara karena terbukti berbuat makar.
Sedangkan Ja`far divonis setahun karena terbukti menyebarkan permusuhan pada
pemerintah yang sah. Kini, perlahan tapi pasti, Ambon terus berbenah. Mereka
berharap, sinar mahatari 2003 akan lebih terang menyinari Maluku, sehingga dapat
mengembalikan senyum di Ambon Manise.
Ini tak berhubungan dengan daerah konflik, tapi cukup membuat Indonesia panas
dingin. Setelah lebih dari 30 tahun disakralkan, MPR mengubah Undang-Undang
Dasar 1945 pada 10 Agustus 2002. Tepat pukul 23.45 WIB, Ketua MPR Amien Rais
mengetuk palu sebagai tanda disahkannya amandemen UUD 1945. Ada yang
gembira, namun tak sedikit yang kecewa. Memang butuh perjalanan panjang dan
melelahkan untuk mengamendemen UUD 1945.
Keputusan bersejarah ini tak pernah terbayangkan saat Soeharto berkuasa. Apalagi,
berulang kali, jenderal berbintang lima yang memperoleh dukungan penuh dari ABRI
dan partai politik menyatakan bahwa UUD 1945 sudah final dan tak dapat diubah.
Namun, keadaan berubah 180 derajat di saat ia lengser. Petinggi di negeri ingin
membawa Indonesia ke arah yang lebih demokratis, lebih transparan, dan lebih
menghargai HAM.
Secara umum, MPR sudah bekerja empat kali untuk mengamandemen UUD 1945.
Amandemen pertama dilakukan pada 19 Oktober 1999, dilanjutkan pada 18 Agustus
2000, kemudian 9 November 2001, dan terakhir 10 Agustus 2002. Sejumlah pasal
diamandemenkan. Satu di antaranya adalah Pasal 2 Ayat 1. Perubahan ini membuat
MPR seperti kehilangan gigi. Lembaga ini bukan lagi sebagai lembaga tertinggi dan
tak berhak memilih presiden dan wakilnya. Selain itu, kehadiran Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) secara otomatis membuat Fraksi Utusan Golongan kehilangan tempat
mulai 2004. Posisi inilah yang ditentang habis-habisan oleh sejumlah anggota MPR,
termasuk Fraksi Utusan Golongan.
Perdebatan panjang juga menyelimuti pembahasan Pasal 29. Namun, pada akhirnya,
Sidang Tahunan MPR 2002 tak berhasil mengambil keputusan terhadap beberapa
alternatif amandemen. Setelah melalui serangkaian lobi akhirnya diputuskan untuk
tetap pada naskah asli. Ini membuat sejumlah fraksi meminta pimpinan sidang
memberi catatan atas keputusan tersebut. Fraksi Partai Bulan Bintang, Fraksi
Persatuan Pembangunan, Fraksi Daulat Umah, dan beberapa anggota Fraksi
Reformasi termasuk yang keberatan dengan keputusan MPR. Untuk itu, pimpinan
sidang membuat catatan khusus terhadap pembahasan Pasal 29.
Banyak pihak percaya, konstitusi perlu diubah sesuai perkembangan zaman. Itulah
sebabnya, diperlukan Komisi Konstitusi sebagai penyelaras dan penyempurna
konstitusi. Kendati semua fraksi telah menyetujui pembentukan Komisi Konstitusi,
namun bukan berarti pembentukannya berjalan mulus. Sejumlah kalangan
mempertanyakan dasar hukum pembentukan komisi tersebut. Fraksi TNI/Polri dan
sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengusulkan Komisi Konstitusi tercantum
dalam aturan tambahan. Sedang fraksi lain, seperti PDI Perjuangan merasa cukup
dengan Ketetapan MPR. Sidang pun deadlock.
Namun, belakangan, Ketua F-TNI/Porli Letnan Jenderal TNI Slamet Supriyadi
mencabut usulan fraksinya. Ini membuat sidang pada akhirnya menyepakati
membentuk Komisi Konstitusi melalui TAP MPR. Berbeda dengan TNI, sejumlah
LSM masih belum bisa menerima keputusan tersebut. Mereka khawatir MPR tak
mengeluarkan TAP untuk membentuk Komisi Konstitusi.
Suasana di Senayan juga sempat gerah ketika wakil rakyat membahas Rancangan
Undang-undang Penyiaran di penghujung 2002. Mereka bersikeras mengesahkan
RUU Penyiaran, meski para praktisi televisi menentang RUU tersebut. Itulah
sebabnya, letika anggota DPR menggelar Sidang Paripurna, ratusan pekerja televisi
berunjuk rasa. Mereka mendesak anggota Dewan membatalkan pengesahan RUU
Penyiaran. Namun, usaha ini sia-sia. DPR akhirnya mengesahkan RUU tersebut.
Sebenarnya, ada dua hal utama yang ditentang para pekerja televisi. Pertama,
kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia. Kedua, keharusan bekerja sama dengan
pengelola televisi lokal bila televisi swasta nasional ingin bersiaran di daerah. Mereka
juga menilai KPI hanya sebagai bentuk baru lembaga sensor. Soalnya, lembaga ini
dibentuk DPR dan pemerintah, tanpa melibatkan wakil dari pekerja televisi atau radio.
Mereka khawatir akan ada pengebirian kebebasan pers, seperti yang terjadi pada
masa Orde Baru.
Sedangkan keharusan bekerja sama dengan televisi lokal dinilai sebagai arogansi
otonomi daerah. Alasannya, kerja sama antara televisi nasional dan lokal tak dapat
dipaksakan. Kerja sama seharusnya sebagai buah kesepakatan, bukan paksaaan.
Bila ini terus terjadi, masyarakat pasti akan dirugikan. Soalnya, banyak daerah yang
tak dapat menikmati ragam siaran seperti sekarang ini, mengingat televisi lokal
diyakini sulit membeli program yang mahal harganya.
Dalam hal ini, sejumlah kalangan mengecam arogansi anggota DPR. Selain angkuh,
mereka juga dianggap tak mendengar aspirasi rakyat. Kekesalan ini wajar adanya.
Apalagi, banyak perilaku anggota Dewan yang tak membuat masyarakat marah.
Kasus korupsi Ketua DPR Akbar Tandjung satu di antaranya. Meski era reformasi
telah bergulir hampir lima tahun dan pemimpin negara telah berganti, korupsi rupanya
masih menjadi keseharian sejumlah penguasa di negeri ini.
Akbar Tandjung sudah dinyatakan bersalah. Ia terbukti terlibat dalam kasus
penyalahgunaan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar. Meski begitu, Akbar tak
juga ditahan. Alasannya, kasus ini belum mempunyai keputusan hukum yang tetap.
Itulah sebabnya, dengan penuh keyakinan, Akbar yang juga Ketua Umum Partai
Golkar masih memimpin sidang wakil rakyat. Benar-benar menyakitkan hati rakyat.
Celakanya, hakim juga enggan menelusuri aliran dana Rp 40 miliar yang seharusnya
untuk masyarakat miskin itu.
Bopeng DPR juga terlihat ketika Meilono Suwondo "bernyanyi". Anggota Fraksi PDI-P
ini mengungkapkan bahwa dirinya pernah menerima US$ 1.000 saat fraksinya
bertemu dengan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin
Temenggung di sebuah hotel. Teriakan Meilono ini didukung Indira Damayanti,
anggota F-PDIP yang lain. Sebuah traveller`s cheque sebesar Rp 10 juta untuk
Aberson Marle Sihaloho juga pernah ditemukan. Tersiar kabar, cek itu atas nama
Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Anshari Ritonga.
Kasus dugaan suap yang diungkapkan Permadi juga memperkeruh kinerja DPR.
Anggota DPR dari F-PDIP ini mengaku pernah ditawari suap sebesar Rp 20 miliar dari
A.M. Fatwa. Suap itu diberikan ketika DPR membahas perselisihan antara PT Peruri
dengan PT Pura. Pengakuan ini membuat Fatwa Berang. Ia langsung mengadu ke
Mabes Polri dan meminta Permadi membuktikan tuduhannya. Kasus ini sekarang
tengah ditangani tim penyidik.
Kasus korupsi rupanya tak hanya melanda lembaga legislatif. Di akhir tahun,
pemerintahan Megawati juga ikut terguncang badai. Jaksa Agung M.A. Rachman,
pejabat yang seharusnya menindak para penjahat dan koruptor justru dinilai tak
bersih diri. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara menemukan bukti
bahwa Rachman memiliki sejumlah kekayaan yang tak disebutkan dalam formulir
daftar kekayaan. Ia disebut-sebut memiliki sebuah rumah mewah di Cinere senilai
lebih dari Rp 1 miliar. Ia juga menyimpan deposito Rp 500 juta lebih dan US$ 26.600.
Jumlah yang tak sedikit, tentunya. Soalnya, meski bekerja 24 jam sehari, tujuh hari
dalam seminggu, dan 31 hari dalam sebulan, rasanya sulit bagi Rachman yang
mengabdi 30 tahun untuk mempunyai harta sebanyak itu.
Rachman memang patut dicurigai korupsi. Soalnya, jawaban dia atas asal rumah di
Cinere cenderung berubah-ubah. Pertama, ia menyatakan lupa soal status
kepemilikan rumah itu. Berikutnya, ia menyatakan sudah dihibahkan untuk anaknya,
Chairunnisa, sehingga tak perlu dilaporkan. Sedangkan mengenai deposito, tanpa
malu, Rachman menyebutkan uang itu berasal dari jasa hukum yang ia berikan
kepada sejumlah orang saat bertugas di Jawa Timur. Anehnya, beberapa hari
kemudian, ia meralat dan menyatakan uang itu sebagai titipan para pengusaha untuk
para pengungsi Madura korban kerusuhan Sambas yang kini ditampung di Pontianak,
Kalbar.
Jawaban Rachman yang mencla-mencle membuat KPKPN berang. Ketua KPKPN
Jusuf Syakir akhirnya melaporkan Rachman ke polisi. Ia diduga korupsi. Jusuf juga
mengirim surat ke Presiden Megawati Sukarnoputri. Isi suratnya tegas: Mega harus
menghentikan Rachman agar memudahkan pemeriksaan. Sayangnya, sampai saat
ini, Mega tak berbuat apa-apa. Ia tak memecat Rachman. Mega juga tak
mengklarifikasi kasus Rachman, yang notabene sebagai anak buahnya. Alih-alih
memecat, Mega malah akan mempertahankan Rachman sebagai Jaksa Agung.
Penegasan ini disampaikan Mega saat menerima Ketua Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia Nusron Wahid, beberapa waktu silam. Mungkin, karena inilah,
Indonesia selalu disebut sebagai surga para koruptor. Habis, pemimpinnya tak serius
memerangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.(ULF/Tim Catatan Akhir Tahun
2002)
© 2001 Surya Citra Televisi.
|