SINAR HARAPAN, Jum'at, 17 Januari 2003
Belum Dinaikkan, Bensin di Ambon Sudah Rp 2.200/liter
JAKARTA–Pemerintah akhirnya mengkaji ulang kebijakan menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM), tarif listrik, dan menunda kenaikan tarif telepon. Sekalipun
belum ada kepastian apakah kenaikan harga BBM dan tarif listrik akan ditunda, paling
tidak langkah yang diambil pemerintah sudah bisa membuat rakyat sedikit bernafas
lega.
Pemerintah, dalam setiap kesempatan menjelaskan alasan menaikkan harga BBM,
tarif listrik dan telepon, selalu berpijak pada asumsi bahwa selama ini subsidi yang
diberikan pemerintah justru diterima rakyat kalangan menengah ke atas. Alasannya,
karena kalangan menengah atas lah yang lebih banyak memanfaatkan BBM, listrik,
dan telepon. Oleh karena itu, pemerintah bertekad mengarahkan subsidi kepada
kalangan yang tepat yaitu rakyat miskin.
Asumsi yang senantiasa disampaikan pemerintah baik secara langsung oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri maupun melalui Wapres dan para menterinya ini,
barangkali bisa diterima dalam situasi normal. Artinya, rakyat tidak sedang berada
dalam himpitan kesulitan ekonomi akibat krisis berkepanjangan.
Melihat sikap pemerintah yang kemudian melunak, di satu sisi patut mendapat
acungan jempol karena dengan kata lain pemerintah mau mendengarkan aspirasi
rakyat yang disampaikan melalui aksi unjuk rasa maupun melalui forum-forum
lainnya. Di sisi lain, sikap ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak
mempertimbangkan matang-matang dari berbagai aspek kehidupan dampak dari
kebijakan yang digulirkannya tersebut.
Biaya Tinggi
Menarik apa yang dilakukan empat menteri yang baru-baru ini mengunjungi Atambua,
Ambon, dan Sorong. Di tiga tempat tersebut, keinginan merevisi kebijakan menaikkan
harga BBM, tarif listrik, dan telepon, bukan hanya disampaikan mahasiswa dan
kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tetapi juga bupati dan gubernur.
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara H Feisal Tamin, Menteri Kesehatan
Achmad Sujudi, Menteri Kehutanan Prakoso, dan Menteri Riset dan Teknologi Hata
Rajasa beberapa waktu lalu mengadakan kunjungan di tiga daerah tersebut. Selain
memperoleh masukan langsung dari rakyat, para menteri juga mensosialisasikan
kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik, telepon, dan harga BBM.
Di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste—Atambua—rakyat mengeluhkan
tingginya biaya hidup yang harus ditanggung setiap hari. Apalagi, di daerah ini masih
terdapat banyak pengungsi sehingga bisa menyimpan kerawanan sosial tersendiri.
Selama ini, kondisi kehidupan rakyat sehari-hari sudah sangat berat karena berbagai
fasilitas yang belum memadai. "Kalau kami melihat ke arah Timor Timur, betapa di
sana terang benderang, sementara di Atambua gelap gulita," ujar seorang ibu yang
berkesempatan melakukan dialog langsung dengan para menteri.
Di Ambon, sebelum pemerintah menaikkan harga BBM, harga bensin per liternya
sudah mencapai Rp2.200,- Menjadi pertanyaan bagi rakyat, berapa rupiah yang harus
mereka keluarkan untuk seliter bensin, bila pemerintah bersikukuh menaikkan harga
BBM.
Tunjangan Kemahalan
Di tiga kawasan Indonesia Timur yang dikunjungi para menteri—Atambua, Ambon,
Soong—keluhan yang disampaikan pegawai negeri sipil relatif sama. Tingginya biaya
hidup membuat gaji yang mereka peroleh tidak memadai lagi, bahkan untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimal sekalipun. Pada umumnya mereka menuntut
diadakan tunjangan kemahalan guna menutup kebutuhan hidup.
Anggota DPRD Ambon, Thamrin Elly, dalam kesempatan dialog dengan para menteri
mengungkapkan, seorang pegawai yang tinggal di luar kota harus mengeluarkan dana
sedikitnya Rp30.000-Rp40.000/hari untuk menuju ke tempat kerjanya. Oleh karena
itu, pemerintah daerah setempat juga tidak bisa menuntut banyak bila kehadiran PNS
di Ambon tidak mencapai 100 persen. Kebijakan menaikkan harga BBM, jelas
membuat rakyat di Ambon semakin terpuruk
Pernyataan Thamrin itu sebelumnya juga dinyatakan pejabat Gubernur Maluku S.H.
Sarundajang. Ia mengungkapkan, ketidakhadiran pegawai negeri di kantor antara lain
disebabkan transportasi yang relatif mahal. Apalagi mereka tinggal sangat jauh dari
pusat kota seperti di Passo, Tulehu, dan Leihitu yang rata-rata harus menyiapkan
uang transport Rp 30.000 sampai Rp 40.000 per hari untuk datang dan pulang kantor.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, menurut Sarundajang, bisa diterima
sebagai kebijakan untuk menyelesaikan krisis dimensional dalam jangka panjang.
Sekalipun demikian, ujarnya, pemerintah juga harus mendengar teriakan penderitaan
rakyat yang disampaikan anak-anak bangsa dalam berbagai kesempatan.
Apa yang disampaikan Gubernur Maluku dan anggota DPRD Ambon Thamrin Elly itu
jelas baru menjadi gambaran kecil dari kondisi kehidupan yang sesungguhnya di
Ambon. Kesulitan hidup rakyat di daerah terpencil, bisa dipastikan jauh lebih
memprihatinkan dibanding gambaran umum yang disampaikan elite politik lokal.
Oleh karena itu, tidak berlebihan bila pegawai negeri di kawasan terpencil itu
menuntut diberlakukannya tunjangan kemahalan untuk menutup tingginya biaya hidup
di daerah tersebut.
Soal tunjangan kemahalan untuk PNS di kawasan terpencil ini, bukan hanya
disuarakan di Ambon, Maluku, tetapi juga di Atambua, NTT, dan Sorong, Papua.
Pada umumnya pegawai negeri sipil di ketiga daerah mengeluhkan biaya transportasi
yang harus mereka keluarkan untuk menuju ke tempat kerja. Sudah pasti tidak bisa
dibandingkan dengan Jakarta yang untuk menuju satu tempat, bisa ditempuh dengan
buskota atau metromini yang memberlakukan tarif jauh-dekat Rp1000,-
Baru melihat perbandingan ongkos perjalanan yang harus dikeluarkan tersebut, sudah
pasti kebijakan menaikkan tarif yang dilakukan pemerintah semakin memberatkan
rakyat di daerah terpencil. Dengan kata lain, asumsi bahwa pencabutan subsidi
hanya berdampak pada kalangan menengah ke atas bisa terpatahkan karena pada
kenyataannya, rakyat di daerah jauh lebih menderita dari kalangan menengah di
perkotaan.
Mengkaji
Menanggapi permintaan PNS di Atambua, Ambon, dan Sorong, untuk mengadakan
tunjangan kemahalan ini, Men-PAN Feisal Tamin menyatakan akan mengkaji struktur
golongan dan gaji pegawai guna diubah dan disesuaikan dengan tingnginya harga
berbagai kebutuhan hidup di pasaran.
"Tunjangan kemahalan untuk PNS di Maluku ini akan saya sampaikan kepada
Presiden serta dibicarakan dengan menteri terkait sehingga bisa diputuskan,"
ujarnya. Ia mengungkapkan, kebijakan pemerintah memberlakukan tunjangan
kemahalan sebenarnya pernah dilakukan pada era 60-an dengan sebutan rayonisasi.
Saat itu tunjangan kemahalan yang paling tinggi diterima PNS di Irian Jaya.
Feisal mengakui, tuntutan PNS di tiga daerah tersebut tidak berlebihan bila melihat
langsung fasilitas yang dimiliki masih sangat terbatas dan tingginya harga berbagai
kebutuhan pokok masyarakat. Oleh karena itu, ide memberi tunjangan kemahalan
merupakan pemikiran yang bagus untuk dikaji.
Terlepas dari itu semua, langkah yang dilakukan empat menteri yaitu Feisal Tamin,
Achmad Sujudi, Prakoso, dan Hata Rajasa dengan melakukan dialog langsung
dengan rakyat ini merupakan langkah yang menarik. Sekalipun dari sisi sosialisasi
kebijakan kenaikan tarif telepon, listrik, dan BBM bisa dibilang terlambat, tetapi
langkah seperti ini sangat positif untuk menyerap masalah yang dihadapi masyarakat
secara langsung.
Apalagi, dalam iklim keterbukaan sekarang ini, forum yang pada masa Soeharto
terkenal dengan sebutan "Sambung Rasa" atau Klompencapir, singkatan dari
kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa. Kalau pada masa Orde Baru forum
seperti ini diatur dan direkayasa siapa yang akan mengajukan pertanyaan, hal
semacam itu tidak berlaku pada masa kini.
Ketika mengadakan dialog langsung dengan rakyat di ketiga tempat tersebut, satu
per satu penanya menyampaikan pertanyaan dan pendapatnya dengan bahasa yang
lugas, tidak direkayasa. Bahkan, tidak jarang mereka mengungkapkan kekesalannya
pada pemerintah dengan bahasa yang memerahkan telinga pendengarnya. Kalau saja
langkah seperti itu dilakukan pejabat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
bisa jadi kesalahan menerapkan kebijakan dapat dieliminir.
Bukan satu hal yang sulit bila pemerintah pusat menginstruksikan pada pemerintah
daerah untuk menyerap aspirasi rakyat soal kenaikan tarif listrik, telepon, dan BBM,
kemudian dari laporan itulah berbagai kebijakan diambil. Bukan sebaliknya, ketika
aksi unjuk rasa merebak sampai menyentuh eksistensi pemerintahan, baru
pemerintah dan DPR berinisiatif mengkaji ulang kebijakan tersebut. Kalau saja
pemerintah mau mendengar suara rakyat sejak awal.... tak perlu rakyat turun ke
jalan. (SH/kristin samah)
Copyright © Sinar Harapan 2002
|