SINAR HARAPAN, Kamis, 23 Januari 2003
Bibit Konflik dan Kekerasan Jangan Terbang ke Papua
Oleh Indra J. Piliang
Setelah penebangan "pohon" kekerasan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak
Perjanjian Penghentian Permusuhan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan
pemerintah Republik Indonesia di Jenewa, Swiss, bibit-bibit kekerasan justru muncul
di tanah Papua. Tanah yang mayoritas dihuni oleh suku bangsa Melanesia ini akan
menjadi ajang pembuktian, apakah kekerasan dan konflik yang melanda banyak
pulau di republik ini merupakan pekerjaan sistematis atau memang sporadis.
Pohon kekerasan sudah bercabang, berurat, berakar, berdaun, bahkan berbuah di
Indonesia. Buah-buah kekerasan itu menghasilkan biji-biji yang bisa tumbuh di mana
saja, apabila tempatnya mengandung humus yang cukup. Humus tempat tumbuhnya
bibit kekerasan itu biasanya diberi pupuk organik, tetapi sebagian karena kandungan
alamiah.
Masalahnya, kenapa demikian cepat perpindahan bibit kekerasan dari daerah di tepi
pantai Samudera Hindia dan Selat Malaka itu ke tepian Samudera Pasifik dan Laut
Banda? Jawaban klasiknya adalah wilayah Indonesia begitu luas, lemahnya
pemahaman aparatur negara dari segi humane security, serta anarkisme penduduk.
Tetapi jawaban ini agak gampangan, sebagian karena faktor alamiah, sebagian sikap
underestimate terhadap penduduk. Sebab jarang sekali sebuah peristiwa kekerasan
yang menganaksungaikan darah dan air mata dilakukan atas inisiatif penduduk.
Kekerasan dan konflik biasanya terjadi akibat adanya intervensi berlebihan, baik oleh
institusi negara atau pihak-pihak asing dalam negara kolonial. Pascakolonialisme,
kekerasan dan konflik nyaris semua muncul dari institusi negara, baik akibat-akibat
perseberangan antarelite sipil dan militer, atau karena masalah ideologis.
***
Juga, negara nyaris absen dalam berbagai formulasi rekonsiliasi konflik dan
kekerasan. Memang ada Malino I (Poso) dan Malino II (Maluku bagian selatan), begitu
pula Cessation of Hostilities Agreement yang difasilitasi oleh Henry Dunant Center.
Tetapi, pasca-Malino I dan Malino II, negara lalai. Gerakan bakubae di Maluku jauh
lebih efektif mempertemukan jiwa-jiwa yang saling bermusuhan padahal bersaudara.
Uniknya, Menteri Sosial berencana mencanangkan Indonesia bebas dari pengungsi
tanggal 15 Januari ini, dengan memulangkan 30.000 pengungsi asal NAD. Padahal,
ribuan pengungsi belum kembali ke Maluku, juga penduduk Madura ke Kalimantan,
bahkan korban bencana alam di mana-mana. Untuk Kalimantan, tidak ada semacam
task force menangani kasus yang potensial untuk kembali meletup itu. Konflik dan
desentralisasi seakan membangkitkan kembali silsilah turun-temurun tentang
keaslian ras, gen, dan etnis.
Sekalipun begitu, konflik di berbagai daerah sudah mulai memudar, diselesaikan
waktu dan kesadaran penduduk. Acungan dua jempol atau sepuluh jari dan tundukan
kepala tidak cukup memberikan penghargaan kepada komponen masyarakat, aktivis
LSM, pers, pekerja kemanusiaan, bahkan individu-individu negara yang bekerja di
wilayah konflik, termasuk prajurit lapangan, atas prestasi ini. Kini, harus ditemukan
formulasi penyelesaian konflik agar benih-benihnya tak tumbuh di lahan subur,
akar-akarnya mati, serta damai kembali di hati. Kalau inisiatif masyarakat itu diklaim
sebagai prestasi kalangan tertentu untuk memperoleh benefit politik dan ekonomi,
alangkah celakanya nasib bangsa ini.
Belum usai kelegaan itu, pemicu kekerasan baru muncul di provinsi terluas, terkaya,
sekaligus paling banyak penyakit sosialnya, yakni Papua. Penyebabnya adalah
penembakan terhadap istri dan anak Direktur ELSHAM Papua, Else Rumbiak Bonay,
Mariana Bonay, dan Yeni Ireuw Meraudje. Siapa pun pelakunya, tentu sedang
berupaya menciptakan instabilitas keamanan di tanah Papua, guna mendapatkan
keuntungan politik dan ekonomi. Kasdam XVII Trikora di Jayapura Brigjen TNI Nurdin
Zainal langsung menduga kelompok separatis bersenjata pimpinan Matias Wenda
sebagai pelaku.
Dugaan itu, kalau benar, akan membawa konsekuensi atas kemampuan TNI
menghadapi separatisme di Papua selama 40 tahun, sejak 1963. Bila keliru, seperti
kasus Theys, TNI akan terpaksa meralat pernyataannya. Strategi komunikasi massa
yang terburu-buru ini hanya akan menjepit TNI dalam alur ketidakpastian. Citra TNI
yang mulai membaik kembali dipertaruhkan. Sebaiknya TNI menyerahkan persoalan
penyelidikan dan penyidikan tindak kriminal kepada kepolisian, lalu masyarakat
tinggal sama-sama menunggu hasilnya.
Juga, tidak begitu jelas hubungan Matias Wenda dengan Benny Wenda yang sudah
lama ditahan di Mapolda Papua. Matias Wenda adalah Panglima Tentara
Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM) yang dalam salah
satu wawancaranya menyangkal akan menyerang Presiden Megawati untuk
merayakan Natal di Papua. "Jangan berpikiran kafir seperti mereka! Itu hari besar kita
orang Kristen. Mengapa harus bikin kacau kah?" kata Wenda (West Papua News,
23/12-2002). Kata "kafir" ini juga pernah digunakan oleh GAM untuk TNI di NAD yang
kini mulai berangkulan itu. Perang pernyataan tentu akan terus bertebaran dan bisa
diikuti secara detail.
***
Sebagai provinsi yang letaknya paling jauh dari Jakarta, dengan sarana transportasi
yang kurang memadai dan mahal, Papua membutuhkan perhatian yang lebih serius
dan hati-hati. Apalagi, berbeda dengan NAD, Papua langsung mempunyai garis
perbatasan dengan Papua New Guinea. Garis perbatasan itu paling panjang,
dibandingkan perbatasan dengan Malaysia di Kalimantan yang terbagi-bagi dalam tiga
provinsi.
Garis perbatasan biasanya sangat rentan dengan penyeludupan, baik senjata,
manusia, obat-obatan, sampai narkotik. Di internet, beredar dokumen-dokumen
permintaan bantuan persenjataan oleh OPM kepada negara-negara Pasifik, tetapi
sumber internet ini diragukan secara metodologis. Apalagi, stabilitas di negara-negara
Pasifik juga sering terganggu, sehingga mempengaruhi keseluruhan kawasan.
Hanya karena keterbelakangan ekonomi dan kemiskinan sumber daya alam, berbeda
dengan Timur Tengah yang kaya minyak, menyebabkan kawasan Pasifik Selatan
kurang mendapatkan perhatian dari berbagai negara sebagai kawasan potensial
pemicu konflik di tingkat regional dan global.
Untuk itu, seiring dengan pencanangan tahun 2003 sebagai Tahun Perdamaian dan
Tanpa Kekerasan, wujud konkretnya mestinya langsung dilakukan di berbagai wilayah
konflik dan kekerasan, tak terkecuali Papua.
Menurut sensus tahun 2000, keseluruhan Papua berpenduduk 2.112.756 jiwa.
Terdapat lebih dari 312 suku di Papua, sehingga dinamika antarsuku sangat
mempengaruhi hubungan kerja sama dalam bingkai pekerjaan yang lebih besar,
antara lain melaksanakan pembangunan, sekaligus memberikan pemerataan dan
keadilan ekonomi.
Kerja sama antarsuku harus dibangun, mengingat satu tujuan OPM adalah
membentuk Confederated Tribal-States of West Papua. Pembentukan negara tribal
tentu akan melunak, bila tribalisme ini menemukan pijakan dalam sistem politik
Indonesia, antara lain dengan tumbuhnya partai-partai lokal dan pemilu lokal.
Papua membutuhkan iklim kondusif menjalankan UU No. 21/2001 tentang Otonomi
Khusus Papua. UU ini mengandung beberapa kebijaksanaan baru, misalnya
menyangkut tugas dan kewenangan Kepolisian Daerah (Polda) Papua ditegaskan
adanya kerja sama antara Polda dengan Pemda termasuk perekrutan putra daerah
menjadi calon anggota Polri yang ditugaskan di Papua. Kurangnya perhatian atas UU
ini sempat membawa kerikil masalah yang sudah diakui Kapolri, yakni konsultasi
dengan DPRD mengenai pengangkatan Kapolda Papua. Belum lagi masalah
penempatan pasukan nonorganik yang hanya bisa dilakukan atas persetujuan
Pemda.
Mulai terbukanya fajar perdamaian di NAD, tentu diharapkan juga menerangi daerah
lain. Kerja keras berbagai komponen masyarakat sangat diperlukan untuk mencegah
kembalinya kekerasan di tanah Papua, termasuk memperbaiki pola komunikasi
publik antara TNI atau Polri dengan masyarakat Papua, Indonesia dan dunia
internasional yang menanamkan modalnya di provinsi kaya itu. Langkah pertama
pemerintah tentunya mengajak sebanyak mungkin komponen masyarakat, dan bukan
memonopoli proses penyelesaian damai, atau bahkan tak hadir sama sekali ketika
konflik mengeras.
Dengan berbagai akibat buruk yang dimunculkan oleh sejumlah konflik yang terjadi
dalam beberapa tahun ini, bahkan bagi daerah yang tak mengalami konflik sama
sekali, sinergi kebijakan sangatlah diperlukan. Bukankah Papua ikut menampung
pengungsi asal Maluku, ketika provinsi itu juga sedang menghadapi masalahnya
sendiri? Indonesia, pada prinsipnya, adalah sebuah keluarga, dengan beragam pola
tingkah laku dalam keberagaman. Potensi-potensi kerja sama inilah yang harus terus
diusahakan pemerintah sebagai inisiator, dan bukan dengan mengambil "keuntungan
politis" seperti rencana pencanangan bebas pengungsi itu. Semoga bibit kekerasan
tak (di)terbang(kan) ke tanah Papua...
Penulis adalah Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic
and International Studies (CSIS), Jakarta.
Copyright © Sinar Harapan 2002
|