SINAR HARAPAN, Kamis, 23 Januari 2003
Menyikapi Konflik Aspirasi "M" dan "O" di Papua
Oleh
Abraham FanggidaE dan Erdhy FanggidaE
PAPUA diperbincangkan agak sedikit menghangat di akhir tahun 2002 sampai
Januari 2003. Perbincangan berkisar mengenai konflik, sesuatu yang sudah tiga puluh
tahun lebih menjadi tema yang melekat pada Papua dan tak pernah diselesaikan
tuntas.
Konflik kali ini pemicunya sudah klasik, yaitu kontak senjata dan penyerangan. Kali
ini pecah di Wutung, wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Papua Nugini
(PNG). Kontak senjata berawal 16 Desember, antara TNI dan Organisasi Papua
Merdeka (OPM) atau pihak "separatis".
Peristiwa berikutnya 28 Desember 2002, ketika istri direktur Elsham Papua, Ny Elsye
R Bonay, anak perempuannya serta seorang ibu lainnya, tertembak ketika mereka
hendak berhari Natal di Vanimo, Sundown province, sekitar dua jam bermobil dari
perbatasan kedua negara. Konflik lanjutan tanggal 1 Januari 2003, terjadi
penembakan di lokasi kejadian. Peristiwa ini mengacaukan kegiatan olah TKP yang
dilaksanakan pihak Polri.
Obsesi Damai
Papua dicita-citakan sebagai zona damai melalui dua sisi pelaku dengan tema
perjuangannya yang berbeda. Pada sisi yang satu berdiri pemerintah provinsi Papua
yang bekerja menyejahterakan rakyat melalui Otonomi Khusus ("O"). Pada sisi
lainnya, Presidium Dewan Papua yang tujuan perjuangan pihak PDP hanya satu:
merdeka ("M") artinya memisahkan diri dari NKRI.
Obsesi damai siapa pun menginginkannya, walau memang tidak mudah di republik
yang rawan konflik ini. "Efek domino" sesungguhnya berlaku di sektor keamanan dan
ketertiban apabila membicarakan keinginan Papua sebagai bagian NKRI yang ingin
sebagai zona damai, alias wilayah netral dari konflik bersenjata. Instabilitas di wilayah
lainnya imbasnya pasti dirasakan di Papua. Konflik Ambon (Maluku), konflik Aceh,
Poso, pengaruhnya sampai di Papua saat ini. Misalnya, ribuan pengungsi dari Maluku
memilih tinggal di Papua sebagai daerah baru mereka.
Ribuan pasukan nonorganik TNI dan Polri yang masih berjaga-jaga di Papua saat ini
seolah merupakan sinyal belum ada damai. Masih kental kecurigaan antara Jakarta
dan Papua, antara TNI-Polri dengan orang Papua.
Kehadiran pasukan nonorganik di Papua puluhan tahun, oleh pemerintah dipandang
logis. Organisasi Papua Merdeka (OPM) masih eksis, pihak Presidium Dewan Papua
(PDP) pun terus memperjuangkan aspirasi "M". Bahkan 14 Desember 2002 lalu,
segelintir orang Papua mencoba merayakan kemerdekaan Melanesia Barat, dengan
menaikkan bendera Bintang Fajar di kampus Universitas Cendrawasih, Abepura,
akibatnya tiga aktivitisnya ditangkap polisi.
Obsesi damai menghadapi tantangan terus-menerus. Peristiwa Timika di mile 62/63
kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia 31 Desember 2002 di mana dua
perempuan warga negara AS serta seorang guru pria warga negara Indonesia
terbunuh. Padahal pembunuhan ketua PDP, Theys H. Eluay, 11 November 2001
subuh, belum selesai dimejahijaukan
Semuanya itu batu sandungan bagi aspirasi Papua sebagai zona damai. Cita-cita
sangat mulia itu memerlukan kerja keras antara pihak-pihak di Jakarta dan Papua dan
tentunya makan waktu yang relatif panjang. Cita-cita ke arah itu menuntut komitmen
yang setara dalam konsep pemikiran, persepsi dan tindakan, antara TNI-Polri,
pemerintah pusat, pemerintah provinsi Papua, berbagai elemen masyarakat seperti
lembaga agama, lembaga adat, LSM yang ada di Papua dan rakyat Papua sendiri.
Komitmen itu dibangun dengan satu harapan, satu tujuan yaitu berbagai elemen
tersebut harus berkolaborasi dan memberi kontribusi nyata untuk mewujudkan Tanah
Papua yang damai, aman, tenteram, dengan meniadakan konflik yang sangat
merugikan itu.
Karena dengan Papua yang damai sejahtera, pada gilirannya Papua dengan sumber
daya alam (SDA) yang kaya raya merupakan sumber berkat bagi rakyat bagian
lainnya dalam NKRI tercinta.
Masalahnya sekarang, komitmen seperti itu belum terstruktur secara sistematik.
Pemerintah tidak terlalu serius belajar dan berpikir tentang konsep membangun
Papua agar aspirasi "M" mereda dan satu saat dengan otonomi khusus yang sudah
dikembangkan setahun ini melalui UU No 21 Tahun 2001, wajah Papua di masa
depan akan lebih baik, lebih cerah, kesejahteraan hidup rakyat membaik.
Kenyataan di permukaan tampaknya tiap elemen pemerintah dalam menyikapi konflik
di Papua berjalan sendiri, tampil sendiri, main sendiri, ingin untung sendiri, ingin
menang sendiri. Kecurigaan, tidak saling terbuka, tidak ingin belajar serius dengan
menjadikan Papua laboratorium hidup yang sangat berarti, tidak saling menghargai,
main pat-gulipat dengan bersekongkol menyembunyikan berbagai tindakan yang
busuk, semuanya membuat konflik Papua berlarut-larut dan memanas.
Siapa tahu, sikap seperti itu justru menguntungkan elemen atau pihak tertentu? Bagi
kelompok ini, zona damai dibiarkan hanya sebuah wacana.
Kelompok ini tidak menyadari, bahwa kepentingan asing, terutama kepentingan
sekitar 22 negara-negara Barat dan negara maju terhadap Papua terutama aset SDA
begitu kuatnya.
Dan puluhan negara tersebut berkomitmen yang satu, agar orang Papua jangan
diintimidasi, ditindas, sebaliknya menghargai hak-hak dasar mereka selayaknya.
Peringatan seperti ini terutama datang dari Amerika Serikat, Australia, Uni Eropa.
Negara-negara yang tetap menyatakan komitmennya terhadap integritas Indonesia
sebagai NKRI dengan Papua di dalam NKRI itu tidak hanya disebabkan ada sejumlah
investasi dan keuntungan mereka, yang sudah barang tentu merupakan kepentingan
mereka harus terjaga dengan aman di Papua, tetapi terlebih dari itu, mereka memiliki
informasi bahwa konflik di Papua yang berjalan 30 tahun lebih ini menyengsarakan
bahkan membunuh ribuan orang Papua dan militer Indonesia dengan siasia.
Kelompok oportunis, yang masih memancing di air keruh perlu menyadari bahwa
sebuah pulau besar Papua, sebagian pulau adalah sebuah negara berdaulat, yaitu
PNG yang dipimpin seorang Perdana Menteri. Sedangkan sebagian pulau lainnya
yang luasnya hampir sama, hanyalah sebuah provinsi Papua, yang dipimpin seorang
gubernur.
Kelemahan OPM
Aspirasi kelompok "M" agar provinsi Papua suatu saat berbentuk negara, dengan
kepala pemerintahan sekaliber PNG, dipimpin seorang PM atau presiden. Bagi OPM,
penyerahan Papua oleh PBB ke dalam NKRI 1 Mei 1963 tidak sah, penuh trick,
penipuan politis yang merugikan orang Papua yang adalah ras Melanesia, bukan ras
Melayu. Sejak dengan Indonesia orang Papua ditindas, martabatnya tidak dihargai,
alamnya dieksploitir dan hasilnya dilarikan ke luar Papua. Singkatnya, orang Papua
tetap miskin selama bersama dengan Indonesia.
Tetapi kelemahan berbagai kelompok "M" yang tersebar di berbagai kabupaten adalah
selain ketidakkompakan di antara para pemimpinnya, bahkan sekarang banyak yang
menjadi informan TNI-Polri untuk saling memusuhi OPM, mereka masih
menggunakan persenjataan tradisional seperti: panah, tombak kampak, senjata
rakitan.
Senjata rampasan jika mereka berhasil membunuh anggota pasukan TNI-Polri tidak
seberapa. Dan pasukan TNI-Polri dengan serius berusaha mengejar kelompok OPM
untuk merebut kembali senjata rampasan. Satuan Brimob menggelar "Operasi
Wasior" di Manokwari untuk merebut senjata yang dirampas OPM ketika OPM
menyerang dan membunuh beberapa anggota pasukan di sebuah pos Brimob di
Manokwari dua tahun lalu.
Diplomat negara sahabat, bahkan Dubes AS ketika mengunjungi Papua tahun 2002
lalu mendukung otonomi khusus Papua sebagai upaya menyejahterakan orang
Papua. Untuk memperkuat aspirasi "O" di Papua itu diperlukan alokasikan waktu
dengan intensitas tinggi untuk melakukan dialog di Papua dengan berbagai elemen
masyarakat Papua, mendengar serta mengaktualkan aspirasi mereka setepat dan
secepatnya. Kelemahan dari elemen tertentu yang mau menang sendiri, untung
sendiri harus dihentikan. Stigmatisasi terhadap orang Papua OPM, GPK, Separitis,
harus dicabut, karena itu buatan kita yang mengompori orang Papua.
Manakala pemerintah kurang serius belajar dan menganalisis dengan jeli, serta lebih
jelas menciptakan Papua sebagai zona damai melalui berbagai rencana, program
yang memajukan rakyat Papua dalam era otonomi khusus sekarang, bukan tidak
mungkin suatu saat Papua terlepas dari NKRI, mirip dengan Timtim di tahun 1999,
terlepas dari Indonesia karena pertarungan sejumlah negara maju untuk
memerdekakan Timtim luar biasa kuatnya. Padahal potensi SDA Timtim di daratan
dan laut belum seberapa dibandingkan dengan SDA daratan dan lautan yang dimiliki
Papua, dengan penduduk hanya sekitar 3 jutaan jiwa. Secara ekonomis, seandainya
merdeka, ekonomi Papua bisa cepat melaju.
Dari analisis singkat di atas, yang ingin kami diskusikan di sini dalam konteks
merealisasikan Papua zona damai. Maka hendaknya kembali kita mengkaji:
Pertama, penegakan hukum melalui penyelesaian kasus-kasus besar secara cepat,
transparan dan adil, (pembunuhan Theys, kasus Abepura, kasus Timika, kasus
Wutung), sehingga orang Papua yakin, pelanggaran HAM di Papua diselesaikan
menurut proses hukum yang adil.
Kedua, menghentikan provokasi yang coba menggiring orang Papua ke dalam
jebakan-jebakan yang tidak bertanggung jawab. Aspek etika dan moral perlu
dikedepankan. Martabat orang Papua dihormati selayaknya melalui layanan
pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya yang optimal.
Ketiga, TNI-Polri harus mengkaji kembali keberadaan pasukan nonorganik yang
berjumlah besar dengan persenjataan modernnya. Hak-hak dasar orang Papua untuk
memperoleh serta menikmati suasana aman dan damai di tanah mereka sendiri
haruslah dihormati.
Keempat, perangkat otonomi khusus, terutama pengesahan Majelis Rakyat Papua
(MRP), serta dana dukungan otonomi khusus agar digulirkan segera dan tepat waktu.
Hal itu penting agar operasional otonomi khusus di lapangan berlangsung dengan
baik.
Penulis pertama adalah pengamat sosial tinggal di Abepura-Papua, penulis kedua
adalah mahasiswa reguler pascasarjana ilmu komunikasi, Universitas Indonesia,
Depok.
Copyright © Sinar Harapan 2002
|