Media Indonesia, Selasa, 14 Desember 2004
EDITORIAL: Dari Poso ke Palu
POSO dan Palu. Ini adalah dua kota yang ada di Provinsi Sulawesi Tengah. Yang
satu, Poso, adalah ibu kota sebuah kabupaten. Yang satu lagi, Palu, adalah ibu kota
provinsi. Dua kota ini sekarang sama-sama menjadi titik teror yang membara.
Sejak 2000 aksi teror lebih banyak dipusatkan di Poso. Tetapi, pelan dan pasti pusat
teror itu bergeser ke Palu. Berpindah dari sebuah kota kabupaten ke ibu kota provinsi.
Kalau teori pengepungan desa terhadap kota dipakai sebagai pijakan analisis, teror
terhadap Palu menunjukkan kemenangan para teroris menguasai kota-kota di
sekitarnya. Setelah daerah pinggir dikuasai, sekarang mereka memasuki tahap akhir
pengepungan untuk menggapai kemenangan. Artinya, teror terhadap Palu menandai
sebuah fase kemenangan. Fase yang amat memalukan bagi para penguasa dan
pengendali keamanan dan ketertiban Republik Indonesia. Memalukan bagi polisi,
tentara, presiden, gubernur, bupati. Memalukan kita semua yang cinta damai
terhadap negeri ini.
Sudah terlalu banyak gereja yang dibom. Sudah amat banyak masjid yang
diporak-porandakan. Sudah sangat banyak manusia di daerah ini yang menjadi
korban keganasan. Tetapi, sekali lagi, kita memperlihatkan ketidakmampuan.
Mayoritas anak negeri yang cinta damai yang didukung oleh aparatur keamanan
dengan senapan lengkap dan mematikan, yang didukung oleh pemerintah yang
berkuasa dan berwenang, kalah cepat dari kalangan teroris-teroris lokal.
Minggu (12/12) malam dua gereja di Palu yang sedang dipadati jemaat diserang bom
dan tembakan senapan dalam waktu yang bersamaan. Seperti teror-teror selama ini
di Palu dan Poso, pelakunya bisa melarikan diri dengan enteng. Polisi datang ke
tempat kejadian hanya untuk mengatakan penyesalan karena kecolongan.
Apa yang menonjol dari kasus-kasus kekerasan di Poso dan Palu? Yang pertama
adalah kehadiran orang-orang bersenjata atau penduduk setempat yang memiliki
senjata atau dipersenjatai. Mereka mahir menggunakan senjata dan bahan peledak.
Artinya, mereka adalah orang-orang terlatih. Yang harus dijawab adalah dari mana
mereka memperoleh senjata dan siapa yang melatih. Itu pertanyaan yang tidak
pernah dijawab tuntas dan jujur.
Yang kedua, sasaran kekerasan adalah tempat ibadah, baik gereja maupun masjid.
Tetapi, para pejabat kita selalu mengelak untuk mengatakan bahwa ada bibit konflik
agama yang bersumber jauh dan dalam pada struktur dan mekanisme kehidupan
sosial kemasyarakatan di daerah itu yang tecermin dalam ketidakadilan.
Yang ketiga, dan ini menjadi penyakit klasik, tidak ada komitmen kuat dan berani
pemerintah untuk menyudahi konflik tersebut. Ganti kapolres adalah pilihan paling
sederhana untuk membungkus rasa kecolongan. Tetapi, yang ditunggu sebenarnya
hukuman seberat-beratnya kepada siapa pun yang diketahui membunuh dan merusak
sarana umum, termasuk gereja dan masjid.
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|