SINAR HARAPAN, Kamis, 02 Desember 2004
Surat Mendagri Dianggap Picu Konflik di Morowali
Jakarta, Sinar Harapan
Sekitar 200 warga Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng), melakukan demonstrasi
untuk memprotes surat Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No 135/2835/sj tentang
pemindahan/pemfungsian ibu kota Kabupaten Morowali di Bungku. Surat tertanggal
19 Oktober 2004 itu ditandatangani Hari Sabarno. Surat itu dinilai berpotensi memicu
konflik di Morowali.
Demonstrasi berlangsung di depan Kantor Departemen Dalam Negeri (Depdagri),
Jakarta, Rabu (3/11). Di antara 200 warga Morowali itu, juga dihadiri sejumlah camat,
anggota DPRD Morowali, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Warga Morowali
diterima empat staf Depdagri.
Warga Morowali menganggap surat Mendagri itu berpotensi melahirkan konflik
horizontal di Morowali, antara warga yang setuju ibu kota Morowali dipindahkan ke
Bungku dengan warga yang menginginkan agar ibu kota Morowali tetap di
Kolonedale.
Surat Mendagri itu melaksanakan ketentuan Pasal 10 Ayat (2) UU No. 51 tahun 1999,
dimana Kolonedale merupakan ibu kota sementara Morowali dan setelah lima tahun
akan dipindahkan ke Bungku (ibu kota defenitif). Hanya saja, warga Morowali
mempertanyakan prosedur perpindahan ibu kota yang harus menggunakan PP.
Menurut Ketua Tim Pemekaran Morowali, yang juga Asisten I Setda Morowali, A.
Badudin, situasi di lapangan sangat tidak kondusif, karena adanya dua kelompok
masyarakat yang bersikap berbeda.
Dia menuturkan setelah adanya surat Mendagri itu, secara terpisah warga yang
menuntut perpindahan ibu kota ke Bungku mendatangi Pemda, kemudian dibalas
warga yang menginginkan Kolonedale tetap menjadi ibu kota Morowali.
"Penanganan harus cepat, karena terdapat potensi konflik. Sesungguhnya, kami ke
Jakarta untuk mencari solusi dari persoalan yang ada di Morowali. Ibu kota Morowali
tetap atau dipindahkan tetap akan melahirkan masalah," katanya.
Untuk itu, pihaknya memandang solusi untuk menyelesaikan masalah di Morowali
dengan melakukan pemekaran untuk membentuk Kabupaten Labuha dengan ibu kota
Bungku, sehingga Kolonedale tetap menjadi ibu kota Morowali. "Ini solusi yang bisa
memuaskan kedua pihak di Morowali," katanya.
Selain itu, warga Morowali mendesak, agar segera dilakukan pembahasan RUU
tertanggal 27 Mei tentang pembentukan delapan daerah otonom, termasuk
pembentukan Kabupaten Labuha.
Minta Dicabut
Sebelum diterima staf Depdagri, sekitar 200 warga Morowali yang dipimpin Yusri
Ibrahim melakukan unjuk rasa di depan Kantor Depdagri, sambil menyampaikan
orasi, yang intinya meminta agar surat Mendagri tertanggal 19 Oktober 2004 itu
dicabut, karena dikeluarkan hanya sehari sebelum berkahirnya masa pemerintahan
Megawati.
Selain itu, warga Morowali juga menuntut pemekaran Morowali, sehingga Kabupaten
Labuha bisa segera dibentuk dengan ibu kota Bungku. Tanpa pemekaran itu, maka
diperkirakan akan terjadi konflik antara warga yang pro dan menolak pemindahan ibu
kota.
Sementara itu, staf Direktur Penataan Daerah, Otsus dan Otda, M. Darwis yang juga
menerima perwakilan dari warga Morowali, menjelaskan, sesungguhnya surat
tertanggal 19 Oktober 2004 itu sudah dipersiapkan lama, tapi Menteri barus bisa
tanda tangan pada 19 Oktober 2004. Bahkan, katanya, pihaknya sudah menyurati
instansi berwenang mengenai perpindahan ibu kota itu, tapi tidak ada respon dari
Morowali.
Darwis menjelaskan sesungguhnya surat Mendagri itu sama sekali tidak membuat
kebijakan baru, karena hanya melaksanakan ketentuan yang ada dalam UU No 51
tahun 1999.
Justru, Depdagri bisa disalahkan kalau tidak melaksanakan UU. "Surat itu tidak
menambah atau mengurangi ketentuan yang ada dalam UU. Kami hanya
melaksanakan ketentuan yang ada dalam UU," katanya. (ady)
Copyright © Sinar Harapan 2003
|