SUARA PEMBARUAN DAILY, 30 November 2004
Di Papua, Produk Hukum Justru Picu Konflik
Pengantar
Setiap tanggal 1 Desember, situasi politik di Papua selalu dikhawatirkan memanas
karena tanggal itu dianggap sebagai hari kemerdekaan bagi rakyat Papua, sementara
bagi Indonesia, hal itu adalah upaya makar dan memisahkan dari dari NKRI.
Persoalan yang ada dan terjadi di Papua selama ini memang luar biasa banyak. Di
antaranya peraturan perundang-undangan yang dibuat pemerintah dan ternyata
banyak yang berakibat negatif bagi rakyat. Pembaruan menyoroti soal itu dengan
menampilkan dua tulisan, hari ini dan besok.
SEJAK Papua berintegrasi dengan Republik Indonesia, tercatat sedikitnya ada 15
produk hukum yang mengatur dan berkait erat dengan keberadaan provinsi ini. Baik
itu berupa undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan presiden (dahulu
Penetapan Presiden/ PNPS), dan itu merupakan angka terbesar dibanding dengan
provinsi lain di Indonesia.
Menurut dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Universitas Cendrawasih, Jayapura, Moh
Abud Musa'ad, hal itu disebabkan tiga hal. Pertama, sebagai upaya pengetatan
secara politik, karena sejak awal Papua merupakan daerah sengketa. Sebuah
kebijakan yang sadar atau tidak ikut mengubur kreativitas orang Papua. Kedua,
karena diatur secara ketat maka harus diawasi pula secara ketat. Ketiga, sebagai
justifikasi terhadap semua upaya pemerintah dalam rangka mengakselerasikan
pembangunan di Papua.
Ironisnya, semua produk peraturan tentang daerah ini, entah undang-undang atau
PNPS yang awalnya telah menunjukkan keberpihakan terhadap orang Papua, dalam
perjalanannya kemudian mengalami distorsi. Keberpihakan itu berangsur memudar
seiring berayunnya bandul waktu. Semisal dalam PNPS No 1/1963 ditetapkan bahwa
untuk jabatan seorang gubernur adalah Orang asli Papua. Keputusan Presiden No
6/1966 tentang Penghapusan Peradilan Adat, merupakan indikasi dari degradasi
keberpihakan itu. Tak heran, sejak 1966 peran adat demikian termarginalisasi.
Di era reformasi, juga berdampak pada munculnya otonomi khusus, yang kemudian
bisa saja dianggap sebagai masa keemasan bagi orang Papua. Dengan adanya otsus
orang Papua bisa mendapatkan kesempatan dan posisi di berbagai sektor untuk
mengurus dirinya. Dalam bahasa lain, keberpihakan yang hilang itu dikembalikan
(recovery). Sesungguhnya dari pelacakan sepintas, apa yang dirumuskan dalam UU
No 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua sebenarnya sudah pernah diatur
dalam peraturan sebelumnya.
PNPS 1964 tentang Pelaksanaan Pembangunan di Irian Barat, memuat upaya untuk
melakukan berbagai langkah dalam rangka mempercepat pembangunan di Provinsi
Irian Barat ketika itu. Ironisnya, pencanangan itu kemudian mengalami pasang surut.
Boleh dikata, sejak 1973-1993, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Papua
-ketika itu masih bernama Irian Jaya- bisaa dikatakan stagnan. Potensi daerah ini
melimpah tapi hanya dikeruk untuk kepentingan Jakarta, Ironisnya lagi, alokasi dana
pembangunan dari pemerintah pusat setiap tahun untuk anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk Papua sangat minim.
Intrik Politik
Provinsi Papua, sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
diawali dan dilatarbelakangi sengketa Indonesia-Belanda pascaKonferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda pada 1949. Hasil KMB dianggap kurang
mengakomodasi keinginan masing-masing pihak, baik Belanda maupun Indonesia.
Lalu secara diam-diam keduanya melancarkan intrik-intrik politik. Indonesia sendiri
menetapkan UU No 15/1956 tentang Pembentukan Provinsi Irian Barat dengan
ibukotanya di Soa-siu Ternate. Sementara Belanda dengan move politiknya
membentuk Negara Papua Barat sebagai bagian dari Kerajaan Belanda dengan
mensponsori terbentuknya Nieuw Guinea Raad, atau semacam parlemen, berikut
kepolisian serta bendera dan lagu kebangsaan Papua.
Tahun 1958 muncul lagi sebuah UU baru, yakni UU No 23/1958 tentang Pembentukan
Provinsi Irian Barat. UU ini hanya merupakan penegasan kembali dari UU No 15/1956.
Sesudah itu ada sebuah PNPS, yakni PNPS No 1/1962, setahun kemudian muncul
sebuah PNPS lagi yang intinya menegaskan kembali, Irian Barat adalah bagian dari
Indonesia.
Setelah itu, ada UU No 5/1969 yang memperkuat Keppres No 57/1963 tentang
Pembentukan Provinsi Irian Barat. UU No 5/1969 kemudian tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan UU No 12/1969. UU inilah yang sebenarnya secara de jure dan de
facto menjadi landasan hukum dibentuknya Provinsi Irian Barat dan
kabupaten-kabupaten otonomnya, seperti Kabupaten Sorong, Manokwari, Fakfak,
Yapen Waropen, Paniai, Jayapura, Jayawijaya, Biak Numfor, dan Merauke.
Ha ini kemudian dianggap sebagai era baru karena telah melalui tahapan Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera). Sesungguhnya secara yuridis formal proses ini
merupakan titik awal dari adanya pemerintahan yang sah. Selanjutnya pada 1973
nama Irian Barat digantikan dengan Irian Jaya melalui Peraturan Pemerintah No
5/1973.
Kemudian, tahun 1996, sesuai perkembangan pemerintahan daerah, dikeluarkan
Peraturan Pemerintah No 54/1996 tentang Pembentukan tiga kabupaten administratif,
dimana kepala daerah hanya menjalankan tugas-tugas administrasi tanpa ada
pendampingan dari DPRD. Kabupaten tersebut masing-masing Mimika, Puncak Jaya
dan Nabire. Hal ini merupakan babak baru dalam sistem Pemerintahan di Indonesia,
karena dalam UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang
menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan daerah tak mengenal istilah kabupaten
administratif.
Polemik dan perbedaan itu yang kemudian justru mendorong pemerintah
mengeluarkan UU No 45/1999 tentang Pembentukan Provinsi Irjateng, Provinsi Irjabar,
Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong.
UU inilah yang membuat konflik berkepanjangan di Papua, terutama dengan lahirnya
UU No 21/2001 dan kemudian Inpres No 1/2003 yang mengakibatkan pertumpahan
darah di sana.
Sekarang, terlepas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang masih
menimbulkan tanda tanya, diharapkan pihak-pihak yang memang berwenang
membuat peraturan itu dapat berpikir jauh ke depan dan selalu memasukkan rakyat
Papua sebagai subjek yang harus diperhatikan dan bukan objek atau bahkan hanya
sebagai pelengkap penderita dalam menerbitkan aturan, karena pertimbangan
kepentingan sesaat atau materi saja.
Rakyat Papua harus menjadi tuan rumah sekaligus pemilik tanah Papua dalam arti
yang sesungguhnya dalam semua aturan yang ada, baik yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat maupun daerah. Semoga itulah yang akan dinikmati rakyat Papua
di masa mendatang.
Pembaruan/Gabriel Maniagasi
Last modified: 30/11/04
|