UTAMA
Kamis, 04 Oktober 2001

Surabaya Post

 

Laine Berman: Wong Cilik Rela Ditindas


"Aku seneng mancing, nggolek kodok, juga capung. Lo iya, itu kesenangan saya. Seneng banget aku," kata Laine Berman kepada Surabaya Post.

Kata-kata campuran bahasa Jawa dan bahasa Indonesia yang keluar dari mulut wanita kelahiran New York itu terdengar akrab di telinga. Apalagi ia ucapkan di antara tawanya yang renyah.

Anak New York cari kodok dan capung? Laine Berman (46), memang lain. Ia tampaknya bukan tipe orang yang akrab dengan liku-liku bisnis keuangan di pusat keuangan Amerika itu. Ia juga bukan orang yang biasa naik turun lift gedung kembar World Trade Center , yang baru hancur ditabrak pesawat itu. Ia adalah orang yang gemar berinteraksi dengan orang-orang berbagai bangsa, belajar bahasanya, dan menelitinya.

Saat para pakar bahasa bertemu di Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di Denpasar pekan ini dan menyerukan penggalakan pengajaran BIPA untuk meningkatkan citra Indonesia, Laine Berman sudah lama berkecimpung di dalamnya. Lihat juga pekerjaannya sekarang: Ketua Jurusan Bahasa Indonesia Universitas Hawaii .

Ia tidak hanya ahli bahasa Indonesia , tetapi juga bahasa Jawa serta paham benar liku-liku budayanya. Satu bukunya yang diterbitkan Oxford University Press pada 1998 berjudul Speaking through the Silence: Narratives, Social Conventions, and Power in Java.

Tulisan-tulisannya yang muncul di berbagai jurnal ilmiah juga menunjukkan luasnya pemahamannya soal budaya Jawa. Tulisan Comics as social commentary in Java , Indonesia , dimuat di Illustrating Asia : Comics, Humor Magazines, and Picture Books yang disunting J. Lent. Tulisan lainnya, Dignity in tragedy: How Javanese women speak of emotion, termuat di Language Sentiment (2000). Lainnya lagi, Surviving on the streets of Java: Homeless children's narratives of violence bisa dibaca di Discourse & Society (2000).

Tampak sekali Laine Berman senang merekam berbagai fenomena di negeri ini. Ia ternyata pernah tinggal beberapa tahun tinggal di Jogjakarta . Di kota itu pula ia bertemu dengan Saptorahardjo, seorang seniman rajah (tatto), dan saling jatuh cinta. Setelah melalui liku-liku panjang, keduanya menikah 29 Februari 2000.

"Bojoku wong Jawa. Aku ora. Aku dudu wong Jawa," kata Laine Berman dengan tertawa.

Teliti Buruh Pabrik
Berbicara tentang persoalan wong Jawa, Laine memang fasih. Salah satu pandangannya adalah bahwa orang Jawa ternyata "suka menindas diri sendiri". Kok? "Dulu orang Jawa lama ditindas Belanda. Tetapi ketika Soeharto berkuasa, dia juga menindas orang-orang Jawa. Soeharto sama kejamnya dengan Belanda," katanya.

Tetapi yang lebih menarik adalah hasil penelitian Laine yang mengungkapkan bahwa wong cilik di Jawa ternyata "merelakan dirinya tertindas." Hasil penelitiannya tersebut dituturkan Laine di depan Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta pada Juli lalu dalam makalah "Kepribadian dalam Tuturan Bahasa Jawa".

Dari analisis wacana yang dilakukannya dari sumber percakapan beberapa situasi sosial asli dari 1991 hingga 1993, Laine menulis makalahnya itu. Dalam konteks tersebut, topiknya menyangkut pengalaman kerja di pabrik garmen. Setelah kerja hanya beberapa minggu, tiba-tiba gaji buruh perempuan dipotong drastis dan kerja lembur dan masuk 7 hari seminggu langsung dilaksanakan. Karena tekanan ekonomi, para buruh tidak berani minta keluar. Walaupun tindakan sewenang-wenang seperti itu dilarang, UU hak pekerja jarang ditegakkan. Para buruh pabrik garmen ini belum berpengalaman sama sekali dengan melakukan tindakan protes. Pada mulanya, mereka mempelajari peraturan-peraturan yang sah dan setelah lama mempertimbangkan baik-buruknya, mereka mengajukan gugatan kepada Depnaker. Beberapa bulan setelah gugatan diajukan, Depnaker disogok oleh pabrik dan kasus tersebut ditutup. " Para buruh perempuan yang melakukan protes itu langsung terkena PHK, diancam dengan tuduhan terlibat PKI, dan namanya dimasukkan ke daftar hitam. Tak satu pun dapat bekerja lagi selama dua tahun," kata Laine.

Laine menyatakan, analisis wacana sehari-hari (sesrawungan sakdina-dinane) dilakukan untuk memahami bagaimana wong cilik mewujudkan makna di dalam konteks lokal, dan di dalam sistem masyarakat yang sampai kini masih serba tidak adil, meski sudah zaman "reformasi". Dengan menerapkan teori-teori konstruksi sosial, analisis yang dilakukannya mencerminkan bagaimana sekelompok wong cilik, yaitu tenaga kerja wanita di Jogjakarta , mewujudkan identitasnya melalui penggunaan bahasa Jawa. Untuk ini, ia menggunakan teori agency, yaitu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang dituturkan kepada lawan bicara dan siapa yang dibicarakan.

Dari analisis itu, kata Laine, tampak bahwa kelompok tersebut merekonstruksi diri sendiri sesuai dengan hierarki sosial yang berlaku, yang memaksanakan mereka nrima ketidakadilan yang dihadapi. Mereka nrima karena memang tidak ada jalan keluar. "Hal ini tidak mengherankan bagi mereka yang paham budaya Jawa dan sistem kekuasaan Orde Baru," kata Laine. "Namun yang hendak saya tekankan di sini adalah bahwa wong ciliknya sendiri merelakan dirinya tertindas, bahkan memuliakan kebungkaman itu terhadap yang dianggap "nasib."

Laine Berman menegaskan, penindasan itu adalah penindasan psikologis internal dan kepribadian wong cilik tersebut terwujud oleh kebiasaan ini. Karena begitu terbiasa tertindas --yang terwujud dalam struktur "sopan santun"-- posisi ketidakberdayaan ini juga muncul dalam bahasa ngoko yang sering dianggap kasar, tidak sopan, dan tidak mencerminkan hormat.

Di akhir paparannya, Laine menyatakan bahwa walaupun tradisi Jawa sering disebut mulia, kebiasaan untuk menghargai tindakan alus lahir-batin bisa juga disebut dengan semacam penindasan terhadap diri sendiri maupun masyarakat sekelilingnya. "Hasilnya adalah ketercekikan sosial yang mampu mengulangi tatanan sosial yang opresif sebagai nilai budaya luhur," katanya.


Kaya Pengalaman
Seperti umumnya warga Amerika, Laine Berman adalah wanita yang terbiasa mandiri. Nilai-nilai keluarga memang menuntunnya demikian. Usia 18 tahun ya lepas dari tanggung jawab orangtuanya, termasuk biaya untuk sekolah. Pengalaman kerjanya beragam. Di Selandia Baru, misalnya, ia pernah bekerja di bar, peternakan domba, pelayan hotel dan sebagainya. "Anda pernah memegang tahi domba? Saya sudah terbiasa. Sebagai pelayan hotel di desa kecil, saya membersihkan WC," katanya.

Perkenalannya dengan Indonesia diawali pada 1981 saat ia datang di negeri ini sebagai turis. Ketika itu, ia sudah lulus master (sarjana) seni lukis. Pulang ke Pennsylvania , AS, ia kuliah lagi di jurusan pendidikan hingga lulus sarjana pada 1984. Ia lalu pergi ke Indonesia lagi dan mengajar bahasa Inggris di IKIP Negeri Jogjakarta (sekarang Universitas Negeri Jogjakarta). Di lembaga itu ia bekerja satu setengah tahun.

Laine juga pernah bekerja di Bahrain dan Kairo. Saat terjadinya Perang Teluk pada 1991, ia bekerja pada sebuah badan sosial yang membantu para pengungsi Palestina. Karena bekerja beberapa di negara Arab, Laine pun dapat berbahasa Arab. "Saiki wis akeh sing lali (Sekarang sudah banyak yang lupa)," katanya.

Dari kawasan Teluk, Laine kembali ke Indonesia lagi. Pengalamannya dan penelitiannya beberapa tahun di Jogjakarta menuntunnya kembali ke dunia akademik di negerinya untuk mengambil gelar doktor.

Dengan bersuamikan wong Jawa, Laine kiranya lebih sering lagi datang ke Indonesia . Ia mengatakan, ia sebenarnya punya Kartu Izin Tinggal Sementara (Kitas). Tetapi kartu itu telah dirobek-robeknya di Bandara Soekarno-Hatta. "Saya jengkel dan muak betul karena petugas imigrasi mencoba memeras saya," katanya. "Katanya zaman reformasi, kok sama saja."

Laine Berman memang bukan buruh pabrik yang ditelitinya, yang nrima menghadapi penindasan. (Djoko Pitono HP)


Copyright © 1996, Surabaya Post Daily Newspaper
All Rights Reserved

Internet Services by RADNET Media Service