UTAMA |
|
Laine Berman: Wong Cilik Rela Ditindas
"Aku seneng mancing, nggolek kodok, juga capung. Lo iya, itu kesenangan saya. Seneng banget aku," kata Laine Berman kepada Surabaya Post.
Kata-kata campuran bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia yang keluar dari mulut wanita kelahiran
Anak
Saat
para pakar bahasa bertemu di Konferensi Internasional Pengajaran Bahasa
Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di Denpasar pekan ini dan menyerukan
penggalakan pengajaran BIPA untuk meningkatkan citra Indonesia, Laine Berman
sudah lama berkecimpung di dalamnya. Lihat juga pekerjaannya sekarang: Ketua
Jurusan Bahasa Indonesia Universitas
Ia
tidak hanya ahli bahasa
Tulisan-tulisannya
yang muncul di berbagai jurnal ilmiah juga menunjukkan luasnya pemahamannya soal
budaya Jawa. Tulisan Comics as social commentary in
Tampak sekali Laine Berman senang
merekam berbagai fenomena di negeri ini. Ia ternyata pernah tinggal beberapa
tahun tinggal di
"Bojoku
wong Jawa. Aku ora. Aku dudu wong Jawa," kata Laine Berman dengan tertawa.
Teliti
Buruh Pabrik
Berbicara tentang persoalan wong Jawa, Laine memang fasih. Salah satu
pandangannya adalah bahwa orang Jawa ternyata "suka menindas diri sendiri".
Kok? "Dulu orang Jawa lama ditindas Belanda. Tetapi ketika Soeharto
berkuasa, dia juga menindas orang-orang Jawa. Soeharto sama kejamnya dengan
Belanda," katanya.
Tetapi yang lebih menarik adalah hasil penelitian Laine yang mengungkapkan bahwa wong cilik di Jawa ternyata "merelakan dirinya tertindas." Hasil penelitiannya tersebut dituturkan Laine di depan Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta pada Juli lalu dalam makalah "Kepribadian dalam Tuturan Bahasa Jawa".
Dari
analisis wacana yang dilakukannya dari sumber percakapan beberapa situasi sosial
asli dari 1991 hingga 1993, Laine menulis makalahnya itu. Dalam konteks tersebut,
topiknya menyangkut pengalaman kerja di pabrik garmen. Setelah kerja hanya
beberapa minggu, tiba-tiba gaji buruh perempuan dipotong drastis dan kerja
lembur dan masuk 7 hari seminggu langsung dilaksanakan. Karena tekanan ekonomi,
para buruh tidak berani minta keluar. Walaupun tindakan sewenang-wenang seperti
itu dilarang, UU hak pekerja jarang ditegakkan.
Laine menyatakan, analisis wacana
sehari-hari (sesrawungan sakdina-dinane) dilakukan untuk memahami bagaimana wong
cilik mewujudkan makna di dalam konteks lokal, dan di dalam sistem masyarakat
yang sampai kini masih serba tidak adil, meski sudah zaman "reformasi".
Dengan menerapkan teori-teori konstruksi sosial, analisis yang dilakukannya
mencerminkan bagaimana sekelompok wong cilik, yaitu tenaga kerja wanita di
Dari analisis itu, kata Laine, tampak bahwa kelompok tersebut merekonstruksi diri sendiri sesuai dengan hierarki sosial yang berlaku, yang memaksanakan mereka nrima ketidakadilan yang dihadapi. Mereka nrima karena memang tidak ada jalan keluar. "Hal ini tidak mengherankan bagi mereka yang paham budaya Jawa dan sistem kekuasaan Orde Baru," kata Laine. "Namun yang hendak saya tekankan di sini adalah bahwa wong ciliknya sendiri merelakan dirinya tertindas, bahkan memuliakan kebungkaman itu terhadap yang dianggap "nasib."
Laine Berman menegaskan, penindasan itu adalah penindasan psikologis internal dan kepribadian wong cilik tersebut terwujud oleh kebiasaan ini. Karena begitu terbiasa tertindas --yang terwujud dalam struktur "sopan santun"-- posisi ketidakberdayaan ini juga muncul dalam bahasa ngoko yang sering dianggap kasar, tidak sopan, dan tidak mencerminkan hormat.
Di akhir paparannya, Laine menyatakan bahwa walaupun tradisi Jawa sering disebut mulia, kebiasaan untuk menghargai tindakan alus lahir-batin bisa juga disebut dengan semacam penindasan terhadap diri sendiri maupun masyarakat sekelilingnya. "Hasilnya adalah ketercekikan sosial yang mampu mengulangi tatanan sosial yang opresif sebagai nilai budaya luhur," katanya.
Kaya Pengalaman
Seperti umumnya warga Amerika, Laine Berman adalah wanita yang terbiasa
mandiri. Nilai-nilai keluarga memang menuntunnya demikian. Usia 18 tahun ya
lepas dari tanggung jawab orangtuanya, termasuk biaya untuk sekolah. Pengalaman
kerjanya beragam. Di Selandia Baru, misalnya, ia pernah bekerja di bar,
peternakan domba, pelayan hotel dan sebagainya. "Anda pernah memegang tahi
domba? Saya sudah terbiasa. Sebagai pelayan hotel di desa kecil, saya
membersihkan WC," katanya.
Perkenalannya
dengan
Laine
juga pernah bekerja di
Dari
kawasan Teluk, Laine kembali ke
Dengan
bersuamikan wong Jawa, Laine kiranya lebih sering lagi datang ke
Laine
Berman memang bukan buruh pabrik yang ditelitinya, yang nrima menghadapi
penindasan. (Djoko Pitono HP)
Copyright
© 1996,
All Rights Reserved
Internet Services by RADNET
Media Service