The Cross

 

Ambon Berdarah On-Line
News & Pictures About Ambon/Maluku Tragedy

 

 


 

 

 

Masariku Network


Masariku Network, 03 December 2003

Baku Pukul Manyapu di Mamala

Dear All,

Sore tadi kami baru kembali dari daerah Lei Hitu. Tepatnya ke negeri Mamala dan Morela. Sejak dari Ambon hujan lebat mengiringi perjalanan kami, namun memasuki daerah Benteng Karang hujan terlihat reda, diiringi lambaian tangan ratusan orang yang terlihat memagari badan jalan. Pemukiman padat penduduk asal Buton terlihat berderet dibelakang kerumunan masyarakat yang memadati jalan yang dilewati. Memasuki negeri Hitu Lama dan Hitu Mesing kerumunan masyarakat terlihat semakin menumpuk. Banyak diantara mereka terlihat melambaikan tangan dan menegor kami dengan ramah. Sementara lainnya nampak bergegas ke arah negeri Mamala dan Morela. Tentunya kenderaan tak dapat kami jalankan dengan cepat. Selain padatnya masa, di depan dan belakang kami puluhan mobil dan motor berbaris pelan. Disepanjang jalan dari Hitu ke Mamala ratusan polisi berderet mengatur lalu lintas dan kerumunan masa yang menyesak. Memasuki negeri Mamala kembali kami diguyur hujan lebat, namun masa nampak tak terusik dengan derasnya hujan.

Gambaran di atas adalah suasana 7 Syawal (7 hari setelah lebaran) yang biasanya dirayakan dengan tradisi 'Pukul Sapu' di negeri Mamala dan Morela. Perayaan tahunan yang dilaksanakan kali ini terlihat jauh lebih meriah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat dimengerti mengingat suasana kondusif 'pasca konflik' mendesak tumpukan kerinduan masyarakat untuk kembali menyaksikan salah satu ritual populer di jazirah Lei Hitu – Pulau Ambon. Baik Islam maupun Kristen terlihat membaur dalam lekatnya curah hujan. Baik pejabat maupun rakyat kecil tak lagi penting untuk dibedakan. Tradisi dan budaya menyatukan semuanya.

Sejenak kami memarkir mobil dan memutuskan untuk lebih dahulu menuju negeri Morela. Ternyata dinegeri yang berdempetan dengan negeri Mamala ini kerumunan penonton tak lagi dapat ditembusi. Masyarakat meluber disekeliling lapangan kecil tempat upacara, yang terletak tepat di depan masjid negeri Morela. Saat kami tiba acara sedang diramaikan oleh beberapa artis Jakarta asal Maluku. Diantaranya terlihat Jopie Latul, Ridwan Hayat, dan Joice Pupela. Di podium tamu terlihat wakil gubernur Maluku, Walikota Ambon, serta beberapa undangan lainnya. Sementara itu beranda masjid yang berhadapan langsung dengan lapangan kecil itu telah pula sesak dipadati masyarakat. Kami akhirnya memutuskan bergabung disitu, sekalipun harus berdesak-desakan. Dari ketinggian beranda masjid nampak bagi bagi kami kepala pemuda negeri Waai bersama ratusan warga masyarakat Waai membaur di tengah ribuan penonton yang memadati sekeliling lapangan kecil itu. Jelas terlihat wajah mereka ceria dalam canda dan tawa bersama warga Morela saudara/pela mereka. Apalagi disaat seorang wanita asal Waai dengan suara merdu menyanyikan lagu pela Waai – Morela. Berulangkali terdengar MC meneriakan tekad bersama membangun negeri Waai kembali, dan disambut histeris teriakan ribuan warga Morela dan Waai yang ada disitu. Beberapa pemuda asal Waai yang menetap di Belanda terlihat merekam dengan runtut setiap moment sukacita itu dengan menggunakan berbagai jenis camera dan handycam yang mereka bawa.

Kurang lebih 20 menit kemudian terdengar MC memberitahukan bahwa acara pukul sapu akan segera dimulai. Penonton diminta mundur dan memberikan ruang yang lebih lebar di sekeliling lapangan. Sementara itu dari arah utara masjid nampak puluhan pemuda bertelanjang dada memasuki lapangan upacara. Tangan mereka menggenggam ratusan batang sapu, sambil bertelanjang dada dan kaki. Umumnya di kepala mereka terikat kain berang merah, simbol kejantanan pemuda Maluku. Sejenak kemudian MC memberitahukan bahwa beberapa tamu diberi kehormatan untuk lebih dahulu memukul para pemuda ini dengan berkas sapu yang dibawa mereka. Boleh memukul sekeras-kerasnya, dan sebanyak-banyaknya. Terlihat kemudian wakil gubernur Maluku, disusul walikota Ambon dan beberapa tamu lainnya mengayunkan batangan sapu dengan bersemangat ke tubuh para pemuda itu. Dengan senyum dan tawa mereka menerimanya, sekalipun bekas puluhan sabetan sapu menorehkan bilur-bilur merah disekeliling tubuh. Segera setelah para tamu diberi kehormatan untuk memukul, para pemuda kemudian membentuk beberapa kelompok. Dua kelompok kemudian mengambil posisi berhadapan di tengah lapangan. Jumlah mereka 10 pasang setiap kelompok. Setelah diberi aba-aba sabetan sapu terlihat mengayun dengan keras ke tubuh telanjang kelompok yang disabet. Mereka menerima dengan pasrah sambil bergerak mundur ke sisi lapangan. Sampai pada batas lapangan, giliran mereka balik memukul sambil mendorong pasangannya ke sisi lapangan lainnya. Hal itu dilakukan berulang kali, sampai ada aba-aba untuk pergantian kelompok. 10 pasangan lainnya segera memasuki lapangan dan kemudian melakukan pola gerak yang sama. Menarik kemudian untuk mengetahui bahwa empat orang pemuda Waai terlibat langsung dalam ritual itu. Pada tubuh mereka terlihat ratusan luka panjang bagaikan goresan pisau. Hal yang sama nampak pada para pemuda Morela saudara mereka. Dan satu yang pasti, mereka tetap tersenyum dan tertawa. Tak nampak tanda-tanda kesakitan, bahkan untuk meringis sekalipun.

Setelah semua kelompok memperoleh bagiannya, MC kemudian menutup dengan resmi acara pukul sapu yang didahului oleh doa bersama. Mengingat acara yang sama sementara berlangsung di negeri Mamala, maka kami memutuskan untuk segera bergegas kesana. Sayangnya jarang sekitar 100 meter menjadi terasa sangat jauh akibat tumpah ruahnya masyarakat meninggalkan area upacara. Kami tiba di Mamala disaat acara pukul sapu baru saja akan dimulai. Prosesinya persis sama dengan apa yang terjadi di Morela. Demikian pula dengan banyaknya penonton, yang berdesakan di stadion mini yang juga terletak persis di depan masjid Mamala. Di podium tamu yang terletak di beranda masjid nampak gubernur Maluku dan Isteri, Pangdam XVI Pattimura, Ketua Sinode GPM, Ketua DPRD Maluku, dan seratusan undangan lainnya. Semuanya larut dalam antusiasme untuk menyaksikan acara dimaksud. Berbeda dengan Morela, pada akhir acara pukul sapu di Mamala tubuh para pemuda yang berdarah-darah kemudian diolesi dengan 'minyak Mamala' yang khasiatnya telah terkenal sejak dulu. Rasanya lucu kemudian menyaksikan ulah para penonton yang kemudian berebut sisa minyak Mamala yang dipakai untuk mengolesi baretan tubuh para pemuda tadi. Tak tertinggal para aparat keamanan yang bertugas ikut berebut bersama masa.

Keseluruhan acara di Mamala selesai jam 17.00. Meskipun demikian kami belum segera dapat meninggalkan areal parkir. Ratusan buah mobil dan sepeda motor berarak tumpang tindih dengan para pejalan kaki. Lebih kurang kami harus menunggu selama satu jam, sebelum bergerak perlahan meninggalkan Mamala. Sebelum kembali ke Ambon kami menyempatkan diri untuk mampir ke rumah tua raja Hitu Mesing. Bersama beberap teman lainnya kami berbincang-bincang bersama raja dan keluarganya sampai tibanya magrib. Tepat jam 19.00 kami bergerak meninggalkan negeri Hitu Mesing menuju ke Ambon. Kelelahan sehari mendorong kami untuk menolak tawaran bergabung dalam pesta basudara yang akan dirayakan malam ini di negeri Morela. Setidaknya kami cukup bahagia untuk memastikan bahwa ritual adat masih menyatukan orang basudara. Karena di dalam adat tak ada beda Salam atau Sarane. Pejabat atau rakyat kecil. Karena yang ada hanya anak-anak adat, yang kemudian berkolaborasi dengan agama dan menariknya membumi dari puncak-puncak kesombongannya.

MASARIKU NETWORK AMBON
 


Copyright © 1999-2001 - Ambon Berdarah On-Line * http://www.go.to/ambon
HTML page is designed by
Alifuru67 * http://www.oocities.org/latoehalat
Send your comments to
alifuru67@yahoogroups.com
This web site is maintained by the Real Ambonese - 1364283024 & 1367286044