SUARA PEMBARUAN DAILY, 23/10/03
Dua Tahun Deklarasi Malino untuk Poso, Apa Langkah
Selanjutnya?
Oleh S Pelima
Harus diakui bahwa Forum Malino 19-20 Desember 2001 di Malino, Sulawesi Selatan,
yang menghasilkan Penandatanganan Deklarasi Malino untuk Perdamaian Poso
antara Kelompok Masyarakat Muslim dan Kristen yang terlibat langsung dalam
konflik horizontal, sesungguhnya mempunyai arti yang sangat penting bagi
perdamaian Poso, bahkan sampai hari ini. Mengapa?
Karena dokumen kesepakatan damai itu telah menjadi landasan bersama untuk
pertama kali sejak pecahnya konflik Poso Desember 1998, dalam meretas jalan dan
suasana damai di antara kedua komunitas yang terlibat konflik. Meskipun setelah
penandatanganan Deklarasi Malino, lalu akhir Desember 2001 telah terjadi
pengeboman di depan Gereja di Palu dan kemudian disusul oleh rangkaian
pengeboman dan penembakan.
Peristiwanya sudah cukup banyak. Antara lain, penembakan bus umum jurusan
Palu-Tentena di daerah Poso Pesisir, disusul serangkaian penyerangan bersenjata
(organik), pengeboman, pembakaran rumah tinggal dan beberapa rumah ibadah pada
beberapa desa di daerah Poso Pesisir; Tojo Lage; Pendolo; perbatasan Sulawesi
Selatan; daerah sekitar Peleru; Mayumba, Mori Atas, Kabupaten Morowali selang
tahun 2002 termasuk memusnahkan rumah penduduk sederhana dan rumah ibadah
yang dibangun kembali atas bantuan pemerintah.
Menyisakan Luka
Peristiwa itu semua menyisakan luka akibat banyaknya penduduk yang tewas di
samping yang mengalami luka berat dan ringan. Bahkan seorang touris warga Italia
yang meninggal dalam penyerangan bus umum di daerah Pendolo. Banyak lagi
bentuk insiden, tapi tidak sempat disebut di sini.
Pada hemat kami semua rangkaian tragedi itu bukanlah pertanda bahwa "Deklarasi
Malino untuk Poso" telah tidak berarti dalam memperdamaikan masyarakat seperti
kata banyak orang, termasuk beberapa petinggi di Jakarta. Sesungguhnya letak
permasalahan karena tindak lanjut yang tidak tuntas atas semangat perdamaian yang
terkandung dalam Deklarasi Malino, terutama sekali pola pengamanan selama ini di
daerah konflik yang terlihat kurang proaktif.
Ketika terjadi penyerangan bersenjata terhadap masyarakat, terutama selang tahun
2002 yang lalu, selalu berakhir dengan pernyataan aparat bahwa itu dilakukan oleh
"orang yang tidak dikenal." Pernyataan seperti itu jelas menyisakan tanda tanya bagi
masyarakat, mereka akhirnya menduga-duga sendiri bahkan bisa berkembang
menumbuhkan kecurigaan antarkomunitas yang pada akhirnya bisa pula menyulut
dendam tanpa akhir.
Mestinya pemerintah sadar betul, termasuk aparat keamanan bahwa tindak lanjut
Deklarasi Malino untuk mencapai perdamaian sebenarnya diperlukan langkah terpadu
antara pemerintah/ aparat keamanan bersama masyarakat. Hal itu perlu, karena kita
tidak bisa mengharapkan sumbangan optimal masyarakat kalau mereka tetap dalam
kegalauan, ketidakjelasan, kecemasan, kecurigaan bahkan masih terus menyimpan
dendam. Ini salah satu aspek tindak lanjut Deklarasi Malino yang kami katakan tidak
tuntas itu.
Sekadar menyegarkan kembali ingatan kita semua, Deklarasi Malino untuk
Perdamaian Poso adalah sebuah pilihan dari sekian cara yang dikenal dalam teori
pengelolaan konflik, yaitu menggunakan cara menghindari (avoiding)
mempertentangkan fakta konflik di lapangan dalam meja perundingan damai.
Melalui Menko Kesra, kami wakil delegasi Masyarakat Kristen Poso secara informal
pada waktu itu menyampaikan sikap, dua jam sebelum Pleno Forum Malino tanggal
20 Desember 2001 bahwa kami akan menyatakan ungkapan "permohonan maaf
kepada saudara-saudara wakil Masyarakat Muslim Poso sekaligus menyatakan
memberi maaf pula kepada pihak yang telah menimbulkan tragedi kemanusiaan di
Poso", disertai permintaan melalui Menko Kesra agar saudara-saudara delegasi
Muslim juga menyatakan hal yang sama, karena tragedi Poso telah membawa korban
di kedua belah pihak dan penyebab, kesalahan, kekhilafan juga ada di kedua belah
pihak.
Satu dan lain hal, pernyataan memohon maaf dan memberi maaf harus oleh kedua
belah pihak demi menghindari adanya kesan sepihak bahwa yang meminta maaf
berarti telah mengakui bahwa dialah yang bersalah. Ternyata apa yang disampaikan
pada Menko Kesra disetujui dan memang saat Pleno Malino ide tersebut menjadi
kenyataan.
Meneladani
Sikap yang dikemukakan oleh wakil masyarakat Kristen di Malino sesungguhnya
meneladani kearifan yang dinyatakan oleh Gubernur Sulawesi Selatan pada waktu itu
yaitu Bapak Zainal B Palaguna yang dalam pertemuan dengan delegasi masyarakat
Kristen sebelumnya (pertemuan terpisah dengan masing-masing delegasi dilakukan
pada tanggal 19 Desember 2001) beliau menyatakan, meminta maaf bila ternyata
dalam tragedi Poso ada oknum yang berasal dari Sulawesi Selatan ikut terlibat.
Di samping itu, wakil Masyarakat Kristen ingin secara langsung menyatakan bahwa
mereka datang di Malino dengan membawa setangkai daun zaitun sebagai simbol
perdamaian- menyatakan damai tanpa syarat.
Tidak berarti bahwa delegasi Kristen di Malino telah menutup mata atas hal-hal yang
menjadi masalah pokok, situasi yang mendesak pada waktu itu ialah cease-fire,
menghentikan pertumpahan darah di kalangan anak bangsa. Itu yang didahulukan dan
memang itulah yang dibawa pulang oleh masing-masing pihak dari Malino ke Poso
yaitu menghentikan kekerasan fisik. Hal-hal lain akan diselesaikan secara bertahap
dengan kesabaran, ketekunan, kemauan, ketelitian, persaudaraan.
Di sinilah medan konstruksi dan rekayasa sosial yang disinergikan antara upaya
pemerintah/aparat keamanan, upaya komplementer tokoh agama, masyarakat, adat,
pemuda dan pemberdayaan (empowering) masyarakat Muslim dan Kristen untuk
berperan aktif membangun perdamaian sesuai semangat Deklarasi Malino dengan
saling menghormati standar kerja masing-masing. Itu adalah juga sisi penting tindak
lanjut Deklarasi Malino secara komprehensif. Memang membangun kerja sama
dengan pendekatan komprehensif sebagai tindak lanjut Deklarasi Malino untuk
perdamaian Poso tidaklah mudah. Koordinasi yang harus dibangun bukan hanya
antara aparat sipil dan Polri/TNI tetapi juga antara pemerintah dan komponen
masyarakat. Mereka mewakili bermacam-macam aspirasi dan kepentingan bahkan
mereka datang dari berbagai latar belakang agama, adat-istiadat, budaya, ideologi,
dan daerah asal, masing-masing hendak dihimpun dan dipersatukan dalam suasana
damai dan rukun tidak dengan paksaan (jumping into conclusion), tidak mencari jalan
pintas dengan cepat-cepat menyatakan persoalan sudah selesai, keadaan sudah
sangat kondusif, sudah aman, sudah selesai karena para penyerang yang tidak
dikenal sudah lari ke hutan.
Ketenangan dan keteladanan pemerintah memang diperlukan masyarakat dalam
menyikapi keadaan yang "nampaknya" seperti sudah mulai membaik, namun sekali
lagi pemerintah seharusnya teliti dan hati-hati membaca tanda-tanda zaman di daerah
konflik horizontal yang telah menyentuh dimensi suku, agama, ras dan antar
golongan. Ilmu sosial dasar mengajarkan biasanya hal demikian menyisakan luka
yang penyembuhannya bukan tidak mungkin tetapi memakan waktu lama, perlu
pengertian baik, pengorbanan, kerelaan, kepercayaan, kesungguhan, kesediaan
bahkan pengorbanan material. Semua itu diperlukan agar bisa menggugah kembali
kemanusiaan yang paling dalam.
Oleh sebab itu, kami selama ini heran banyaknya pernyataan, baik oleh pemerintah
yang kemudian diikuti oleh masyarakat awam yang menyatakan bahwa Poso sudah
sangat kondusif, keadaan sudah dikuasai. Statement ini mungkin di kalangan aparat
mempunyai arti tersendiri, tetapi bagi masyarakat awam mungkin diartikan semuanya
sudah beres, sehingga menjadi lengah - ketika tertembak dan meninggal mungkin dia
belum sempat kaget karena tidak menyadari apa yang terjadi.
Saran
Sebagai oknum yang ikut dalam Forum Malino dan sebagai bagian masyarakat Poso,
kami ingin menyampaikan saran kepada pemerintah dan karena ini menyangkut
kewenangan atau bagian kewenangan di bidang keamanan yang menurut UU Nomor
22 Tahun 1999 tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, maka kiranya melalui
Menko Polkam dapat mengkaji kembali cara penanganan keamanan dan ketertiban di
Poso.
Tidak dapat disangkal, pemerintah secara keseluruhan telah banyak berbuat demi
kedamaian warga negara Indonesia yang ada di Poso, namun berdasarkan
pengamatan tentang cara pengamanan selama ini yang terkait pula dengan
penempatan jumlah personel Polri/TNI dalam jumlah cukup banyak di seluruh lini
wilayah Poso dan Morowali, perlu dilengkapi kajian strategis sebagai berikut.
Pertama, fakta lapangan selama ini hendaknya melengkapi analisis sekarang dan ke
depan. Lokasi penyerangan bersenjata sepanjang tahun 2002 (setelah Forum Malino)
oleh gerombolan bersenjata organik tidak terjadi di semua wilayah Kabupaten Poso
dan Morowali, ternyata penyerangan bersenjata terutama yang terjadi paling akhir
2003 ini juga pada lokasi dan pola yang sama, komunitas korban yang sama,
pengenalan medan sasaran, persiapan dan perlengkapan melalui rencana yang
matang. Itu berarti fokus pengamanan seharusnya diarahkan pada lokasi di sekitar
Poso Pesisir, Poso Kota, Lage Tojo, Pendolo dan sekitarnya, Mori Atas s/d Beteleme
(Kabupaten Morowali).
Selama ini memang terdapat pengamanan dalam bentuk penempatan personel aparat
pada pos-pos penjagaan dan terakhir ini sebagian telah dikosongkan/ditinggalkan.
Disarankan perubahan pola pengamanan dalam bentuk: Pelaksanaan patroli (perlu
penambaan kendaraan operasional) terutama di wilayah sasaran penyerangan dengan
waktu yang tidak dijadwalkan; Penambahan pasukan hendaknya diikuti dengan
langkah pengamanan pro-aktif yaitu pengerahan pasukan untuk menyisir daerah
hutan/persembunyian di sekitar lokasi penyerangan untuk menemukan basis
gerombolan bersenjata, lokasi pelatihan dan penyembunyian senjata/amunisi yang
selama ini hanya menjadi sassus tanpa kejelasan.
Selama ini, kecuali operasi pengejaran pelaku penyerangan di Morawali baru-baru ini,
masyarakat selalu menerima pernyataan bahwa penyisiran tidak menemukan pelaku
dan sudah lari ke hutan, yang tersisa pada masyarakat ialah "penyerang tidak
dikenal" - masyarakat terbiarkan mereka-reka sendiri. Hal itu memerlukan tindak
lanjut sampai tuntas, bila tidak sama dengan pekerjaan yang tidak selesai. Mungkin
saja karena medan di hutan bukan lagi di kota, maka sudah saatnya pengerahan TNI
yang sangat mahir menghadapi perang gerilya.
Kedua, sebagai Daerah Tertib Sipil, seharusnya diberlakukan pengawasan efektif
terhadap lalu lintas keluar-masuk daerah Poso, melalui darat, laut dan juga udara.
Kendaraan pengangkut barang lintas provinsi dan masuk wilayah Poso misalnya,
hendaknya diperiksa dengan alat detektor metal untuk mengetahui kemungkinan
adanya titipan senjata/amunisi, pemeriksaan pada pos-pos pengamanan selama ini
terkesan rutin belaka.
Itulah sebabnya bila pemerintah dan masyarakat terlibat polemik tentang dugaan,
sangkaan bahwa aparat terlibat konflik tidak memperoleh penyelesaian yang
meyakinkan; padahal yang mungkin sesungguhnya terjadi senjata standar/amunisi
curian dikirim melalui bagasi darat lengkap dengan pakain/sepatu curian mirip yang
digunakan aparat lalu pelaku penyerangan menggunting rambut mirip aparat untuk
mengalihkan tuduhan bahwa pelakunya aparat.
Ketiga, memang tidak mungkin untuk meminta penempatan personel TNI/Polri dalam
jumlah banyak terus-menerus di sebuah kabupaten termasuk Kabupaten Poso dan
Morowali. Menyadari bahwa pengamanan masyarakat umum di samping oleh
pemerintah dan aparat juga oleh warga masyarakat sendiri, sudah saatnya
menggiatkan pembentukan dan pelatihan secara profesional para pemuda di tiap desa
daerah-daerah konflik Poso dan Morowali untuk melaksanakan PAM
swakarsa/siskamling. Langkah ini penting untuk tahap awal mengeliminir para
provokator pendukung gerombolan bersenjata, tidak memberikan dukungan logistik/
bahan makanan dan dalam jangka panjang membangun "ketahanan desa"
menghadapi ancaman keamanan dan ketertiban, sinerji dengan langkah
represif/langkah operasional TNI/Polri yang sedang gencar-gencarnya sekarang ini.
Keempat, pengawasan dan pembinaan pemerintah daerah di daerah konflik untuk ikut
menunjang Tertib Sipil dan langkah-langkah rekonsiliasi di kalangan warga
masyarakat. Sebuah contoh kecil, pada bulan Mei 2003, Pokja Malino Provinsi
bersama Pokja Malino Kabupaten Poso mengunjungi desa-desa Muslim dan Kristen
untuk mengetahui perkembangan/keadaan terakhir para pengungsi. Sangat
disayangkan karena kesempatan yang baik ini di mana terkumpul banyak pengungsi
dari berbagai desa dan secara langsung menceriterakan suka-duka mereka tetapi
Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten yang seharusnya hadir hanya diwakili oleh
unsur-unsur Dinas Kabupaten didampingi oleh tokoh agama, tokoh masyarakat
Kabupaten Poso.
Hemat kami, alangkah eloknya bila momentum seperti itu dimanfaatkan langsung
oleh Pemerintahan Kabupaten di samping untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya juga terutama untuk membangun keyakinan dan kepercayaan
masyarakat melakukan rekonsiliasi, apalagi banyak kekecewaan masyarakat karena
tidak teraturnya proses penyaluran bantuan yang dijanjikan pemerintah. Ada yang
menerima penuh berkali-kali, ada menerima sebagian dan ada yang bahkan belum
menerima sama sekali.
Pemerintah kabupaten daerah konflik seharusnya menyadari bahwa dari sekian
program terpenting, salah satu program terpenting adalah penciptaan lanjut dan nyata
suasana perdamaian di kalangan masyarakat yang telah dirintis dan difasilitasi oleh
Pemerintah Pusat.
Penulis adalah salah seorang Deklarator Malino; Wakil Ketua Pokja Malino Tingkat
Provinsi Sulawesi Tengah.
Last modified: 23/10/03
|