DEWA, 16 Februari 2006
Penanganan Pengungsi Belum Optimal
Ambon, Dewa
Penanganan pengungsi di daerah Maluku yang belakangan ini menjadi sorotan tajam
dari berbagai kalangan, juga tak luput dari pengawasan lembaga legislatif. Hal ini
terungkap lewat rapat perumusan hasil kunjungan kerja pansus A DPRD Maluku yang
bertugas untuk menangani masalah pengungsi, yang baru saja merampungkan hasil
kerja tim dalam bentuk kelompok kerja.
Dalam laporan hasil kerja pokja tersebut, terungkap bahwa penanganan masalah
pengungsi di berbagai kabupaten/kota secara umum banyak terjadi penyimpangan.
Demikian salah satu bentuk kesimpulan rapat hasil kerja pokja yang digelar pansus A
Selasa (14/02) kemarin.
Sebut saja kasus yang ditemui oleh Drs. Jafet Damamain,M.Th bahwa di Kecamatan
Tehoru, yakni bukan pembagian BBR yang dilakukan tetapi pembangunan rumah
yang dikerjakan. Itupun sebagian besar rumah-rumah yang dibangun tidak sesuai
dengan petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan pembangunan perumahan untuk
pengungsi yang ditandatangani oleh Gubernur Maluku.
Kalaupun ada bahan bangunan yang dibagikan, maka para pengungsi tidak akan
mendapat jatah penuh seperti yang didapat pengungsi yang sementara berlokasi di
Kota Ambon. Begitu pula halnya dengan bahan bangunan yang digunakan untuk
membuat rumah-rumah tadi, jika diuangkan atau diukur dengan uang secara
keseluruhannya tidak mencapai harga Rp 5 Juta. Belum lagi ada rumah yang
dibangun tanpa menggunakan fondasi.
Pada sebagian rumah yang sudah dikerjakan, ada juga yang sekat ruangannya hanya
menggunakan kayu lapis (tripleks). Tetapi yang lebih menyedihkan lagi ketebalan
kayu lapis yang dipakai yakni hanya 1,5 mm, padahal sesuai juknis yang
ditandatangani oleh Gubernur kayu lapis harus dengan ketebalan 2,7 mm. Dari jumlah
40 sak semen yang digunakan untuk pembangunan rumah-rumah tadi, ada rumah
yang hanya menggunakan 15 sak semen dengan alasan karena kendala trnsportasi.
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi ada rumah yang hanya dibangun dengan
menggunakan 5 sak semen saja.
Bukan itu saja pada pilihan pembagian Bahan Bangunan Rumah (BBR), seperti yang
dilakukan oleh PT Bernama Lestari, ternyata sangat merugikan para pengungsi. Hal
ini terbukti dengan menurunnya jumlah jatah bahan bangunan rumah tadi. Sebut saja
senk yang sdianya dibagikan ternyata berkurang jumlahnya dari yang sudah
ditetapkan. Begitu pula dengan semen yang dibagikan ternyata bukan 40 sak seperti
yang dibagikan kepada pengungsi di kabupaten yang lain. Thin Seng selaku pimpinan
Bernama Lestari sepertinya sudah mendekati pemkab untuk pembagian BBR, agar
proyek pembagiannya ditangani oleh Bernama Lestari. Hal ini terungkap lewat laporan
damamian yang mengatakan bahwa hampir seluruh desa yang berada di Kecamatan
Tehoru menerima pembagian BBR melalui Bernama Lestari.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh pokja Malteng yang dijurubicarai oleh
Liberandus E. Ivakdalam, dan meninjau daerah TNS, Makariki serta Masohi. Para
pengungsi ini memiliki masalah yang hampir sama dengan pengungsi Tehoru, tetapi
yang menjadi permasalahan adalah rumah yang disiapkan oleh pemerintah sudah
selesai dikerjakan tetapi pengungsi lebih memilih tinggal di barak-barak pengungsian
dari pada harus kembali tinggal di daerah asal.
Hal yang terjadi di Kabupaten SBB pun tak jauh berbeda dengan yang terjadi dengan
di kabupaten Seram Bagian Timur khususnya di Kecamatan Werinama. Bahan
bangunan yang digunakan untuk pembangunan rumah pun disunat oleh para
kontraktor. "Tripleks yang seharusnya dipakai adalah dengan ketebalan 2,7mm, tetapi
yag dipakai adalah tripleks dengan tebal hanya 1,5mm," ungkap anggota Pansus
pengungsi DPRD Maluku, Syam Hatapayo kesal. Dia mengatakan, secara
keseluruhan (dari 6 desa), beberapa desa sudah bisa didiami kembali, tetapi para
pengungsi lebih memilih tinggal di barak. Padahal saat ini musim barat, jika ada
angin, maka rumah-rumah yang sudah ada (dengan bahan yang disunat) bisa cepat
rusak karena tidak ditinggali, sebab kalau ada yang tinggal maka rumah-rumah
tersebut bisa terjaga.[M7D]
|