Artikel
Antara Lae Pondom dan HKM Gunung Betung
( Sebuah Catatan Perjalanan Studi Banding
)
15-02-2006
Hutan Lae Pondom
yang terancam rusak
Bila kita melakukan perjalanan dari Medan menuju
kabupaten Dairi, yang pertama kali menyapa adalah hijau dan luasnya
hutan Dairi yang disebut juga hutan Lae Pondom. Hutan seluas 21.131
hektar ini merupakan hutan lindung. Sepanjang jalan menembus lae pondom,
kita memang tidak begitu melihat kerusakan hutan yang berarti.
Namun bila kita melihat ke dalam hutan juga
melalui peta hutan citra satelit, maka tampaklah kerusakan lae pondom.
Perbandingan kondisi hutan lae pondom melalui citra satelit antara tahun
1989 dengan tahun 2001 menunjukkan dibeberapa wilayah, telah terjadi
penggundulan hutan.
Dan bila kita coba masuk lebih dalam, tampaklah
dengan jelas kondisi lae pondom yang mengkuatirkan. Kawasan hutan
lindung telah banyak yang dirusak. Penebangan liar dan pengambilan hasil
hutan secara berlebihan banyak terjadi. Pembukaan perladangan dan
perkebunan didalam hutan juga menjadi faktor penyumbang besar kerusakan
hutan Lae Pondom.
Siapa pihak yang bertanggungjawab? Persoalan
timbul saat kita tahu bahwa perambahan hutan tidak hanya disebabkan oleh
keserakahan perambah saja, namun sangat erat kaitannya dengan lemahnya
penegakan hukum dan pengawasan hutan. Secara kasat mata, kita bisa
melihat langsung adanya pembukaan perladangan didalam kawasan hutan
lindung yang dilakukan oleh masyarakat pendatang, sehingga dengan
mudahnya kita akan memvonis bahwa pihak yang harus dipersalahkan adalah
masyarakat sekitar.
Namun bila dilihat dari sisi lain, perambahan oleh
masyarakat tentu tidak akan terjadi apabila pemerintah menentukan secara
jelas batas hutan lindung dan selalu melaksanakan pengawasan dan
sosialisasi terhadap masyarakat di kawasan tersebut. Arti pentingnya
hutan, menjadi suatu agenda penting untuk dikampanyekan. Jika masyarakat
di sekitar hutan dapat diajak menjadi bagian Yang terjadi hanyalah tidak
pernah terlihat adanya upaya itu. Bahkan para oknum dengan bebas
merambah hutan secara besar-besaran dan membuka perladangan luas didalam
hutan.
Kinerja dinas kehutanan seperti ini memperburuk
kondisi. Yang dikuatirkan, bila nantinya pemerintah pusat mengeluarkan
perintah tegas untuk menertibkan kawasan hutan lindung, mereka mungkin
akan seenaknya saja menggusur kawasan hutan yang telah didiami penduduk
tanpa pernah merasa bahwa mereka juga turut berperan dalam perusakan
tersebut. Sementara oknum perambah berskala besar telah menyelamatkan
diri dengan mudahnya. Sekali lagi, kambing hitam yang paling mudah
didapat adalah masyarakat sekitar hutan.
Ekses
yang ditimbulkan dari kondisi hutan Lae Pondom
Masyarakat jugalah yang akan pertama kali
merasakan akibat dari perusakan tersebut. Sekarang saja, dibeberapa
dusun disekitar hutan Lae Pondom mulai sulit mendapatkan air. Debit air
yang mengalir dari sungai Renun dan anak-anak sungainya telah mulai
berkurang, menyebabkan kurangnya kebutuhan air untuk sawah ladang dan
kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Belum lagi ancaman lain dihadapan; longsor ,
perubahan musim tanam akibat perubahan iklim dan ancaman hama penyakit
yang makin banyak menyerang tanaman petani. Tanpa kesadaran, masyarakat
akan terus-menerus menjadi korban dari sistem pengelolaan hutan yang
buruk.
Solusi
Sebelum benar-benar menjadi korban berkepanjangan,
masyarakat sekitar hutan harus mulai membangun sistem yang bisa menjaga
kelestarian hutan sekaligus menjamin keberadaan mereka dikawasan itu.
Mereka harus mulai belajar menentukan masa depan mereka.
Pelibatan
masyarakat untuk mengelola dan melindungi hutan merupakan pilihan yang
tepat. Ketika masyarakat sekitar hutan mampu menunjukkan keseriiusan
akan tanggungjawab pemeliharaan hutan tanpa harus kehilangan hak
hidupnya, maka tuduhan miring akan dapat di tepis.
Hutan dan manusia
harus menemukan pola hubungan yang saling menguntungkan. Hutan Lestari,
masyarakat sejahtera. Prinsip ini menjadi motto bersama warga masyarakat
Gunung Betung yang telah menemukan pola hubungan mereka dengan Hutan
sekitarnya. Keberhasilan mereka dengan segala kesulitan-kesulitan yang
dihadapi menjadi penting untuk dipelajari, ditiru dan disebarluaskan.
Pengenalan HKM Gunung Betung
Nun jauh
dipangkal pulau Sumatera, tersebutlah sebuah kawasan
hutan lindung yang didalamnya tak melulu hanya hutan belantara. Diantara
lebatnya pepohonan hutan terselip beranekaragam tanaman buah dan sayuran.
Agak aneh memang, kawasan yang dinyatakan sebagai hutan lindung biasanya
tidak boleh dieksplorasi atau diolah oleh pihak manapun, aturan
perundang2an menetapkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.
Tanaman buah dan
sayuran itu memang bukan tumbuh sendiri, namun memang sengaja ditanam
oleh masyarakat sekitar hutan. Dan dengan alasan tertentu, kegiatan itu
tidak melanggar hukum.
Hutan raya Wan
Abdul Rahman Gunung Betung, Propinsi Lampung. Hutan lindung seluas
24.444 ha ini sebagian wilayahnya masuk dalam kelurahan Sumber Agung,
kelurahan dimana masyarakatnya mengelola 492 ha kawasan hutan lindung
gunung betung. Mereka mengelola kawasan hutan dengan membentuk 7
kelompok pengelola dan pelestari hutan (KPPH). Istilah yg digunakan
dalam mengelola hutan tersebut sering disebut sebagai hutan
kemasyarakatan.
Sejarah panjang
mengikuti usaha mereka dalam memperoleh izin mengelola hutan lindung
gunung betung. Bermula dari keinginan bersama untuk mempertahankan hak
hidup yang bersumber dari kawasan hutan.
“Pendahulu kami,
para orang tua, kakek nenek kami, awalnya datang ke kawasan ini sebagai
buruh di perkebunan Belanda. Sejak perkebunan itu tutup dan dialihkan
kepada pemerintah, kawasan ini ditetapkan menjadi hutan lindung dan
selanjutnya menjasu Kawasan Hutan Raya, mereka tanpa pilihan membuka
hutan menjadi areal pertanian”.
Sadar akan
pentingnya keberadaan hutan dan gentingnya mata pencaharian, maka
disepakati untuk mengelola hutan tanpa harus melakukan perusakan.
Menanam tanaman produktif di antara pepohonan hutan lindung dipilih
menjadi suatu cara yang tepat dan baik bagi generasi mendatang.
Turun temurun
cara ini dipraktekkan, jadilah masyarakat sekitar hutan lindung ini
menjadi bagian masyarakat yang secara ekonomi tergantung terhadap
kawasan hutan namun secara ekologis justru menambah daya dukung hutan
terhadap kesediaan air.
Mereka berhasil menunjukkan, bahwa masyarakat
tidak selalu hanya sebagai perambah yang bersifat merusak, namun
sebaliknya menjadi pengelola yang melindungi hutan sehingga lestari dan
berkelanjutan.
Berbagai komoditi ditanami, mulai dari pohon
bertajuk rendah, sedang bahkan bertajuk tinggi.
Penebangan pohon
diharamkan dan penanaman pohon yang bernilai ekonomi dihalalkan.
Dari peninjauan ke
kawasan Hutan Kemasyarakatan Gunung Betung diketahui bahwa masyarakat
dapat hidup berkecukupan dengan mengandalkan hasil panen dari berbagai
jenis tanaman yang ditanam dalam kawasan. Melinjo, Durian, Alpokat,
Nangka, Pisang, Coklat, Kopi, bahkan sayur-sayuran silih berganti
menyumbangkan hasilnya untuk dipetik. Ada yang dijual ke pasar, ada yang
dikonsumsi sendiri.
Kegiatan yang
dapat dicontoh warga sekitar Lae pondom dari kunjungan Gunung Betung
Sadar akan
pentingnya keberlanjutan hidup masyarakat di sekitar hutan lindung lae
pondom, dan besarnya ancaman bahaya jika perusakan kawasan ini terus
berlangsung, LSPL salah satu organisasi non pemerintah bidang lingkungan
bekerjasama dengan Japan NGO Network on Indonesia (JANNI) memfasilitasi
sebagian warga Desa Sileuh-leuh Parsaoran mengikuti studi banding
tentang hutan kemasyarakatan.
Pengalaman
merupakan guru yang baik, menjadi dasar menentukan Kelompok Pengelola
dan Pelestari Hutan di Desa Gunung Betung Bandar Lampung sebagai tempat
tujuan belajar.
Dengan
mempertemukan dua kelompok masyarakat yang dipisahkan jarak yang
memiliki kesamaan dan perbedaan kondisi kehidupan, diyakini akan dapat
memperkaya wawasan berfikir terutama dalam tatacara pengelolaan alam
sekitar secara bijak, berkesinambungan dan menguntungkan.
Proses belajar
diawali dengan perkenalan antara kedua kelompok masyarakat, mencakup
identitas dan pola hidup masing-masing. Pertemuan pertama dengan sapa
ramah khas penduduk desa mewarnai pertemuan awal ini. Sebagai tuan rumah
dan tempat belajar warga Gunung Betung ternyata mempersiapkan segala
sesuatu secara rapi dan matang. Sehingga dalam waktu yang singkat
keakraban di antara kedua kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan
agama, suku dan kebiasaan ini dapat terjalin.
Usai perkenalan,
dilanjutkan dengan penyampaian materi belajar bersama yang dilakukan
secara bergantian oleh pengurus KPPH Gunung Betung. Mulai dari sejarah
kaehadiran mereka di sekitar hutan lindung, pola pemanfaatan hutan, pola
berorganisasi dan berbagai suka duka yang dihadapi selama puluhan tahun
di kawasan ini.
Penjelasan demi
penjelasan diselingi tanya jawab diikuti sangat serius oleh seluruh
peserta.
Namun, penjelasan
ternyata tidak cukup untuk meyakinkan peserta studi banding.
Keingintahuan melalui melihat langsung semakin menguat. Pertanyaan
terselip di dalam hati ”Apakah penjelasan ini sesuai dengan kenyataan?”
”Bagaimana
mungkin mereka hidup, tanpa merusak hutan sebagai lahan untuk
pertanian?”
Tentu pertanyaan
ini tidak cukup dujawab dengan penjelasan. Kunjungan langsung ke kawasan
hutan yang disebut hutan kemasyarakatan merupakan satu-satunya jalan
untuk menepis keraguan seraya belajar membandingkan dari apa yang
dilihat.
Mengingat luasnya
kawasan yang ingin dijalani maka disepakati membagi peserta dalam 3
(tiga) kelompok. Ketiga kelompok didampingi masing-masing pengurus KPPH
sebagai penunjuk jalan sekaligus memberikan penjelasan selama dalam
peninjauan ke dalam kawasan hutan.
Semangat ingin
tahu, menjadi modal pendorong yang kuat untuk melangkah ke dalam
kawasan. Jalan mendaki, menurun, terjal, licin tidak penghalang. Di
bawah rimbunan pohon hutan terselip berbagai komoditi pertanian yang
hasilnya dapat dipetik. Aneka ragam tanaman ini menambah indahnya alam
hutan. Di sana-sini terlihat buah siap petik.
Bertemu dengan
warga yang sedang melakukan kegiatan sebagai petanid dalam hutan,
peserta menyempatkan diri untuk melakukan diskusi. Setiap tanya dijawab
dengan ramah dan tepat. Bahkan tawaran untuk mencicipi hasil.
Kemampuan bertani
yang cukup handal yang dimiliki warga anggota kelompok KPPH
diperlihatkan ketika memberi penjelasan menganai teknis penanganan
komoditi pertanian seperti teknik menyebukkan tanaman Vanilli.
Di berbagai tempat
kelihatan upaya menyediakan bibit pohon bernilai ekonomi dan ekologi
sekaligus dilakukan oleh petani anggota kelompok. ”Kami tidak perlu lagi
membeli bibit dari luar, sebab kami telah mampu menyediakan sendiri
bibit yang cocok ditanam di kawasan ini”.
Usai melakukan
kunjungan ke dalam kawasan, pengurus KPPH mempersilahkan peserta studi
banding untuk menyampaikan pertanyaan yang muncul dari hasil kunjungan
dalam diskusi dan evaluasi.
Hasil terbesar
dari kunjungan ini ternyata, lahirnya kesadaran bagi peserta untuk
membangun komitmen bersama, akan mempraktekkan apa yang mereka dengan,
mereka lihat dan mereka rasakan selama beersama-sama dengan warga Gunung
Betung. Hutan tidak selalu harus dirusak demi kepentingan pertanian.
Bertani dalam hutan menjadi salah satu pola hidup baru yang layak untuk
diuji coba. Akankah?
Oleh : Poltak Simanjuntak,
Suratno
Tulisan ini merupakan
saduran film dokumenter "Pelestarian Hutan Berbasis Hutan
Kemasyarakatan" Produksi LSPL.
Awal
- Sejarah
- Visi
dan Misi - Struktur
Organisasi - Isu
Strategis - Program
Kerja - Artikel
- Publikasi