kepala
Awal | English

Berita

SK Menhut No.44/2005, Ancaman Penggusuran Penduduk

Mingguan Transaksi, 9 Juli 2007

Kenndey AminTrans, Medan : Diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara seluas kurang lebih 3.742.120 hektar ternyata berdampak pada meningkatnya eskalasi ketakutan warga akan terjadinya penggusuran besar-besaran di berbagai desa di Propinsi Sumatera Utara. Hal ini diungkapkan oleh Koordinator Program Institute for Environment Monitoring Studies (IEMS) Ir. Kennedy Amin di Sumbul, Kabupaten Dairi.

Menurut Kennedy, terbitnya SK tersebut tidak didasarkan pada fakta lapangan yang menunjukkan keberadaan masyarakat di kawasan tertentu yang diklaim dalam SK tersebut sebagai hutan lindung.

“Jika, SK No. 44/2005 tersebut diterapkan, maka 80 % Kabupaten Pakpak Bharat adalah kawasan hutan lindung. Lebih aneh lagi, 14 Kecamatan yang terdiri dari 74 desa/ kelurahan di Kabupaten Labuhan Batu juga masuk dalam kawasan hutan lindung atau hamper 70 % dari seluruh wilayahnya, dan warganya harus siap-siap sewaktu-waktu menjadi korban penggusuran ala “SK Menhut””, jelas Kennedy.

Kondisi sedemikian juga dihadapi penduduk di berbagai Kabupaten, seperti Simalungun, Asahan, Labuhan Batu, Dairi, Toba Samosir dan Tapanuli Selatan. Beban berat sebagai masyarakat miskin semakin diperparah dengan ancaman penggusuran yang sewaktu-waktu dapat terjadi, bertamengkan SK Menhut No.44 dan UU No.41/1999 tentang Kehutanan.

Sebagaimana dilansir diberbagai media tentang penangkapan dan penahanan terhadap puluhan warga di Kabupaten Simalungun dengan dalih penerapan SK Menhut No.44/2005, semakin memperkuat anggapan warga bahwa penggusuran sedang berada di pintu gerbang perkampungan mereka.

Salah seorang warga Simalungun, korban penangkapan dan bahkan sudah menjalani hukuman 5 (lima) bulan didakwa melakukan pelanggaran kawasan hutan, T. Sihombing mengungkapkan “Kami sudah tinggal di kawasan itu selama puluhan tahun dan kawasan itu sejak lama sudah menjadi perkampungan, bahkan kantor pemerintahpun sudah berdiri. Lalu, kawasan hutan mana yang saya langgar, saya tidak mengerti”, katanya dengan nada kesal.

Menanggapi kondisi ini, Kennedy Amin mengungkapkan bahwa Menteri Kehutanan seharusnya segera meninjau ulang bahkan mencabut SK No.44/2005, sehingga keresahan warga Sumatera Utara tidak menjadi ancaman stabilitas yang dapat menimbulkan gerakan “pembangkangan social” dan menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

“Disatu sisi, pihak kehutanan tegas dalam mempertahankan kawasan hutan dari warga masyarakat biasa, namun disisi lain, kita dapat menyaksikan betapa perusahan besar seperti PT. Toba Pulp Lestari (TPL) penghasil pulp memiliki HTI di Kabupaten Simalungun, Tapanuli Utara, Tobasa, dan Samosir serta Dairi Prima Mineral (DPM) di Kabupaten Dairi, diberi keleluasan dalam menguasai wilayah hutan, bahkan hutan lindung. Ini merupakan bentuk ketidakadilan Negara terhadap hak hidup rakyatnya”, katanya.

Revisi atau Cabut?
Kisruh akibat SK 44/2005, berbagai tanggapan dilontarkan oleh berbagai pihak dari tanggapan moderat berupa dukungan hingga penyikapan radikal yang menyeru pencabutan.

Ketika Trans menghubungi Kadis Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, Ir. J.B. Siringo-ringo mengungkapkan bahwa penangkapan warga Kabupaten Simalungun bukan semata-mata akibat penerapan SK 44/2005. “Tanpa SK No.44/2005, warga Simalungun itu tetap melanggar, sebab mereka memasuki kawasan hutan secara tidak sah”, katanya.

“Keluarnya SK Menhut 44/2005, merupakan kelanjutan dari Perda Propinsi Sumatera Utara No.7 tahun 2003 tentang Rencana Umum Tata Ruang/ Wilayah yang menunjuk luas kawasan hutan Sumatera Utara 3.742.129 hektar. Jika, dalam penerapannya menimbulkan masalah atau protes masyarakat, amka bias saja dilakukan revisi dimasa mendatang, dengan terlebih dahulu merevisi Perda No.7 tahun 2003 itu”’ tambahnya.

Sementara, Djuanad Banurea, SE, Ketua Komisi C yang membidangi Kehutanan di DPRD Kabupaten Pakpak Bharat mengatakan “Sebaiknya SK itu direvisi saja dengan melakukan upaya penyesuaian dengan kondisi faktual dilapangan. Jika suatu kawasan sudah dihuni oleh penduduk puluhan tahun, maka sebaiknya dilepaskan saja dari kawasan hutan, sehingga penggusuran dan penangkapan warga seperti yang terjadi di Kabupaten Simalungun dapat dihindari sedemikian rupa”, paparnya.

Kennedy Amin yang selama puluhan tahun aktif melakukan gerakan pelestarian hutan dan lingkungan di Kabupaten Dairi, justru lebih tegas mengatakan “ Menteri Kehutanan tidak cukup hanya menggunakan Perda Propinsi Sumatera Utara No.7/2003 sebagai konsideran penerbitan SK No.44/2005, tetapi harus lebih mempertimbangkan kondisi riil hubungan masyarakat dengan kawasan hutan kita saat ini. Rekonstruksi hutan untuk memperjelas batas-batas hutan harus mendahului penerbitan SK ini. Sosialisasi kepada masyarakat oleh pemerintah Kabupaten  se-Propinsi Sumatera Utara  yang cukup dan pelibatan masyarakat dalam penetapan kawasan hutan mutlak dilakukan. Tanpa itu, tindakan yang paling rasional adalah dengan mencabut SK Menteri Kehutanan No.44 tahun 2005”, katanya tegas. (PS)


Awal - Sejarah - Visi dan Misi - Struktur Organisasi - Isu Strategis - Program Kerja - Artikel - Publikasi

E-mail : lsplmdn@indosat.net.id

Jl. Sembada XIII No.6 Padang Bulan Telp.+6261-8216088 Medan 20133 North Sumatra - Indonesia