|

Puisi MARSLI N.O
MEMBACA SANDIWARA
Jasad kita yang letih terseok-seok melewati rumah demi rumah bernama peristiwa sudah berabad-abad lamanya. Betapa, nafas kita yang tersengal-sengal kini tak lagi mampu berkata-kata ketika hatinya sedang meratap dan berduka.
Apa lagi yang tersisa menjadi milik kita? Dendam kesumat atau ketakutan? Atau kita sebokkan fikiran dengan onani serta gogokan beer.
Ketika jerit mortar dan desing bom menggoda kesunyian menjadi dunia baru yang lebih hiruk dan pikuk atau dari medan demi medan pertempuran mayat demi mayat yang sebahagiannya pernah kita kenal nama serta tatap wajahnya perlahan-lahan bangkit dari tanah-tanah lindap bernama perkuburan dengan suara seraknya berkali-kali menyeru nama kekasih yang telah berubah menjadi igauan atau terkial-kial mencari nama negerinya yang semakin kumal disimbahi darah.
Apa lagi yang tersisa menjadi milik kita? Kerinduan semakin menyesaki ingatan dan mimpi telah berubah menjadi dunia teramat gulita yang penuh dengan kesangsian. Tak ada dian yang dapat kita gantikan dengan kata-kata atau kepercayaan.
Kita lepaskan keluh yang sarat dengan kesal dan ketakutan yang berabad-abad kita simpan. Dengan suara robek kita senandungkan tembang demi tembang. Tetapi tidak lain hanyalah ninabobok yang teramat panjang dan kematian yang berulang-ulang datang menjemput secara paksa nama demi nama, jasad demi jasad di antara kita.
Betapa, dunia telah berubah menjadi daerah tanpa matahari di situ kita menyaksikan otot menggantikan keramahan dengan darah panas yang selalu menggelegak dan bahasa yang berteriak dengan bentak berkumandang di dalam pesawat, internet, majalah atau mikrofon
Apa lagi yang tersisa menjadi milik kita? Mengingati sebuah nama dan negara bernama peribadi dengan tubuh gementar dan senyuman kita rubah menjadi seribu sindiran Kerana ketakutan yang kita simpan di dalam diari dengan kesumat yang berkobar-kobar kita tuliskan dengan huruf-huruf yang tak kelihatan.
Tidak lain adalah seekor raksasa.
Kuantan, 20 Februari 2000 Marsli N.O
KEMBALI

|
|