|
Ulasan Buku:
MENDEKATI PEMIKIRAN PUTU WIJAYA
Judul: BOR : Esai-esai Budaya
Pengarang: Putu Wijaya
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, Indonesia.
Tebal: xi+349 halaman
Pengulas: MARSLI N.O
“KESENIAN sudah menempati posisi mati di zaman Orde Baru....” demikian Putu Wjaya memulai tulisannya berjudul “Reformasi Seni” dalam buku yang dibahagikan kepada tiga bahagian ini.
Tulisan di atas yang mengawali bahagian pertama berjudul “Reformasi” ini memang agak sinis dan malah tegas nadanya. Melalui tulisan ini Putu Wijaya memperihalkan betapa lantaran politik dan ekonomi lebih dimuliakan oleh pemerintah Indonesia (di zaman orde baru) menjadikan kesenian semakin dilihat sebagai sesuatu yang tidak penting atau tidak memberikan apa-apa sumbangan kepada masyarakat.
Sebanyak 11 tulisan Putu Wijaya di bahagian ini memang mengkhususkan persoalannya mengenai reformasi yang melibatkan pelbagai bidang seni, budaya, sastrawan dan seniman.
Mengenai reformasi budaya, Putu melihat reformasi atau perubahannya perlu dihubungkaitkan dengan perubahan atau reformasi politik dan ekonomi. Hanya dengan melakukan reformasi budaya, kestabilan ekonomi dan politik lebih terjamin. Menariknya di sini, Putu menekankan betapa reformasi budaya yang dimaksudkannya ialah reformasi berkaitan dengan iman, kewarasan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Di bidang sastera, Putu melihat reformasi di bidang ini perlu bermula dari kalangan seniman sendiri sebagai pelakunya. Dengan tegas, Putu melontarkan tanya: “Bagaimana seni, sastra dan sebagainya akan dapat memberikan kontribusi pada pencerdasan bangsa dalam perjalanan sejarah menuju Indonesia baru, kalau senimannya sendiri kropos?”
Soalan ini malah dijawab langsung oleh Putu Wijaya. Bagi Putu, itu semua akan dapat dicapai dengan bekerja serta cucur keringat dan bukan sebaliknya: berteriak-teriak, mengemis atau menuding ke orang lain.
Bahagian kedua dengan judul “Opini” memuatkan 16 tulisan Putu yang secara khusus memaparkan sikap kritis Putu Wijaya berhubung soal-soal politik dan sosial di negeranya. Malah pandangan Putu mengenai pemimpin menarik untuk sama direnungkan.
Dalam tulisan beliau berjudul “Mencari Seorang Pemimpin” Putu Wijaya meperkatakan mengenai kewajaran antara seorang dari kalangan sipil atau awam menjadi pemimpin. Persoalan ini ditimbulkan Putu kerana di Indonesia kebanyakan pemimpinnya adalah dari kalangan tentera
Bagi Putu, seorang pemimpin adalah tubuh dari jiwa rakyatnya dan hanya yang benar-benar menjiwai rakyatnya yang layak digelar pemimpin. Walau dari institusi manapun datangnya, pada hemat Putu Wijaya lagi, begitu lahir dalam kepimpinan nasional, seorang pemimpin haruslah sipil dan mengamalkan pemerintahan sipil.
Bahagian ketiga dengan judul “Gagasan” memuatkan 13 tulisan yang memaparkan sikap serta pandangan Putu Wijaya secara khusus mengenai sastera, filem, teater dan malah turut memuatkan pembicaraan beliau terhadap beberapa nama tokoh seniman atau sasterawan lain.
Melihat filem Indonesia di era globalisasi, Putu menyatakan perlunya para pemikir dan tenaga kerja yang profesional. Malah Putu meyakini, betapa pun dianggap belum begitu pasti, namun masa depan filem Indonesia di era ini tetap cerah.
Mengenai cerita untuk kanak-kanak, Putu menyebutkan dongeng karya Anderson sebagai model yang dianggapnya sempurna. Bagi Putu, dibaca oleh siapa pun karya-karya Andrson itu tetap bermakna dan dapat dianggap sebagai semacam esei moral.
Namun begitu, Putu turut mengingatkan betaspa disamping berperanan sebagai pembawa pesan moral, cerita untuk kanak-kanak mestilah juga bermagnet sebagai hiburan.
Dalam tulisannya berjudul “Teater Asrul Sani” Putu mengakui agak sulit untuk menyatakan dari sisi mana kemampuan Asrul Sani yang paling ketara atau hebat. Puncanya, bagi Putu Asrul Sani memiliki banyak “muka” dalam kesenian dan diakuinya semuanya tajam dan hebat.
Dalam tulisan ini, Putu melihat betapa besarnya sumbangan yang diberikan Asrul Sani terhadap pembinaan dan perkembangan teater Indonesia melalui Akademi Teater Nasional Indonesia yang didirikannya . Malah di bahagian lain tulisannya ini Putu menganggap Asrul sebagai seorang “dewa” dalam perkembangan teater moden Indonesia.
Putu Wijaya turut memberikan reaksi terhadap kumpulan sajak Taufiq Ismail berjudul “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”. Dalam tulisannya berjudul “Saya Tidak Malu Jadi Orang Indonesia” yang dibacakan pada peluncuran kumpulan sajak Taufik Ismail ini Putu melihata betapa puisi-puisi Taufik Ismail adalah suatu paket enerji yang amat berkesan apabila dipertemukan dalam sebuah peristiwa tontonan. Malah Putu melanjutkan betapa pyuisi baru terjadi kalau diperdengarkan.
Sebagai kesimpulan, melalui buku ini dapat ditelusuri gagasan-gagasan Putu Wijaya mengenai pelbagai persoalan sosial, budaya dan seni. Walaupun boleh dikatakan setiap tulisannya di dalam buku yang dibahagikan kepada tiga bahagian ini menghadirkan perenungan yang mendalam, namun kerana diperkatakan dengan bahasa yang langsung maka ianya menjadi lebih mudah difahami.
Sumber: Sastera & Budaya, Berita Harian 30 Disember, 2004
KEMBALI

|