|

Ulasan Buku:
ESEI TEATER RADHAR PANCA DAHANA
Tajuk : Homo Theatricus
Pengarang : Radhar Panca Dahana
Penerbit : Penerbit Yayasan Indonesiatera
Tahun : 2001
Tebal : 188 halaman
Pengulas : Marsli N.O
PERIHAL manusia memang tetap menjadi pusat persoalan dalam kerja teater atau seni apa pun. Demikian antara lain disebutkan Radhar dalam pengantar penulis untuk buku yang memuatkan 27 tulisan beliau yang memang pun pusat perhatian persoalannya mengenai teater ini.
Dengan judul “Teater dalam Manusia” pada bahagian pertama, sebahagian besar tulisan Radhar di bahagian ini melihat kehadiran teater dalam kehidupan manusia dengan bertolak dari pertunjukan langsung dan bukannya dari dasar-dasar teori atau pendekatan analisis yang sedia ada.
Mengambil judul besar buku ini dan dijuduli “Manusia Sebagai Insan Teater”, Radhar melihat kekurangan di dalam teater yang dikatakan “modern” di Indonesia jika dibandingkan dengan teater rakyat, beberapa hal menurutnya yang amat ketara ialah tiadanya pemerhati, kritikus, pemikir atau juru bicara seni teater “modern” yang cukup serius, matang dan memiliki disiplin yang tangguh dalam bidang tersebut.
Ketiadaan ini bagi Radhar jelas menjadi bukti betapa teater “modern” di Indonesia tidak memilik tradisi intelektual yang memadai untuk menganalisis dirinya sendiri. Kenyataan pedas beliau ini dihujahkan betapa dari pengamatan dan penelitian beliau secara peribadi didapati hamper semua grup teater yang dikatakan modern hampir tidak memiliki dokumentasi yang memadai mengenai proses kreatif dan pertunjukan mereka.
Pernyataan ini sekali lagi disebut Radhar dalam tulisannya berjudul “Mencari Teater Modern Indonesia”. Menurut Radhar, hampir semua grup tampak hanya berambisi untuk memperkenalkan teater modern Indonesia dengan pelbagai asumsi tetapi sayangnya tidak menunjukkan kemampuan menggunakan landasan empiris dan metodologis yang cukup kuat.
Hampir senada dengan singgungan di atas, Radhar melanjutkan dalam tulisannya “Dicari: Juru Bicara Teater Indonesia” betapa terasa amat ganjil teater modern Indonesia tanpa jurubicara jika dibandingkan dengan bidang seni tampak dengan Agus Dermawan atau tari dengan Sardono sebagai contoh.
Malah dengan nada yang agak sinis Radhar menyebut betapa tokoh-tokoh teater dan grup yang sedia ada jalan sendiri-sendiri dan terlalu asyik dengan grup peribadi.
Dalam tulisannya berjudul “Teater Politik dan Depolitisasi”, antara lain memberikan pengakuan betapa teater modern Indonesia masih mengambil posisi yang defensive terhadap ofensi dan intervensi kepentingan politik (negara) di sekelilingnya. Tegas Radhar, teater hanyalah “sepah yang dibuang”.
Radhar di dalam bukunya ini keliuahatn memberikan tumpuan yang agak banyak terhadap festival teater, khususnya Festival Teater Jakarta (FTJ). Dalam tulisannya “Luka Teater Sepanjang Festival”, Radhar antara lain menyatakan betapa sudah memasuki ke angka 19 tahun, beliau mendapat kesan betapa eksplorasi bentuk memang dominan dalam pentas FTJ. Namun pada sisi lain, tak ada idea atau tawaran baru yang cuba mempersoalkan persoalan-persoalan mereka selaku pekerja teater itu sendiri.
Malah Radhar menyimpulkan juga betapa pada FTJ itu: “Cerita dan kata-kata pun hanya menjadi suara kosong yang diucapkan secara elektronis, macam piringan hitam yang terlalu sering diputar. Dan manusia di atas panggung jadi “mannequin” yang bergerak sistematis dalam etalase kebudayaan kita. Entah siapa tengah memencet tombol di luar……”
Tulisan-tulisan berupa pembahasan atau review pertunjukan dan cuba melihat posisi sebenar manusia di dalam teater menempati bahagian kedua buku ini dengan judul “Manusia dalam Teater”.
Membicarakan pertunjukan Teater Sae “Biografi Yanti Setelah 12 Minit” dalam tulisannya berjudul “Manusia, Absurdisme, dan Romantisme Dalam Teater”, Radhar menyebutkan betapa kesan pertama yang paling dirasai beliau sebaik sahaja usai menontonnya adalah kebisingan suara yang luar biasa, kebisingan yang kerap dijumpainya di pasar-pasar atau terminal.
Kesan ini bagi Radhar tidak lain kerana pertunjukan tersebut banyak mencuatkan idiom yang lebih dekat dengan teater absurd dan sejalan dengan falsafah kaum Dada dan Surrealis betapa kebenaran Cuma dapat dicapai jika manusia mahu melucuti rasio/akalnya.
Selain Teater Sae, pertunjukan kelompok lain seperti Teater Payung Hitam, Teater Kubur, Mandiri, Teater Koma, Gandrik, Kami, Teater Abu (Aneka Buruh) juga turut disorot Radhar dalam tulisannya di bahagian ini.
Tulisan berjudul “Teater Dusta Manusia: Post Scriptum” mengakhiri buku ini. Dinyatakan antara lain oleh Radhar betapa kita sebenarnya sering dan tengah bermain dan secara kolektif berada di sebuah “panggung teater”. Bagi Radhar: “Memang itulah teater sesungguhnya: bersama-sama.”
KEMBALI

|