|
Ulasan Buku:
ANTARA NOSTALGIK DAN GUMAM DALAM "BAGIKU SEPILAH SUDAH" KUMPULAN PUISI MOHAMED LATIFF MOHAMED
Judul: Bagiku Sepilah Sudah
Pengarang: Mohamed Latiff Mohamed
Penerbit: Pustaka Nasional, Singapura
Tebal: 71 hlm.
Pengulas: Marsli N.O
"SEHABIS rentetan mimpi itu/ Bagiku sepilah sudah/ Walau bau tubuhmu mengimbaukan duka - gerimis/ di bianglala itu adalah saksi sejarah...” Seimbas membaca penggalan puisi “Bagiku Sepilah Sudah” (halaman 37) yang juga dipilih penyair Mohamed Latiff Mohamed sebagai judul kumpulan puisinya ini terkesan rasa nostalgik penyair yang agak kental. Berlamaan merenungi puisi ini, terkesan betapa kata sejarah memberikan suatu konotasi makna yang amat dekat kaitannya dengan nostalgik kemelayuan penyair.
Tentu saja mengucapkan nostalgia serta imbauan kemelayuannya itu bukanlah sesuatu yang memalukan. Meyakini inilah, sebagai penyair Mohamed Latiff sanggup menyatakan rasa nostalgia dan kemelayuannya itu secara terbuka seperti di dalam puisinya antara lain berjudul “Nostalgia dan Malam Itu” dan “Nostalgia Nusantara”.
Jelasnya, ketika mengucapkannya Mohamed Latiff tidak menjuruskan puisinya sebagai medium luahan resah peribadi semata. Sebaliknya puisinya dijadikan cermin pembanding melihat wajah sendiri, seperti antara lain diucapkan dalam puisinya “Nostalgia Nusantara” (halaman 35): “Duhai seniman Singapura/ bermimpikah anda semua/ Bersenda di pelamin puteri keraton/ Atau menginai jari Puteri Gunung Ledang.....”
Demikian juga dalam puisinya “Melayumu, Melayuku”. Persoalan Melayu bagi Mohamed Latiff tidak seharusnya dilihat dalam perspektif kenegaraan yang sempit. Sebaliknya, persoalan ini boleh saja dilihat sebagai suatu pertanyaan yang retrospektif sifatnya untuk saling merenungi diri sesamanya.
Mengakhiri puisi ini, dengan suara yang agak merendah, Mohamed Latiff menyatakan:”... Melayumu adalah bulan purnama/ harum cempaka; wangi cendana/ Melayuku adalah pelamin yang patah/ pusara yang legam/ dan malam yang pasrah.”
Lanjut merenungi dan mentafsir makna Melayu, selepas memberikan semacam pemaknaan kembali terhadap kata Melayu, Mohamed Latiff mengakhiri puisinya berjudul “Melayu” ini dengan tanya: “...Kini Melayu itu apa?/ Bocah cilik semanis cempaka/ Roh-roh mmpi di cakerawala/ Memendam cinta di pualam senja”.”
Dalam puisinya yang lain berjudul “Yang Dia Inginkan”, tanpa berselindung Mohamed Latiff mengucapkan isi nuraninya. Bagi Mohamed Latiff yang diinginkannya dari sebuah dari sebuah negara adalah: “... sebuah negara yang mengenali sejarah/ tahu pedih dan luka/ air mata...” setiap warganya yang “meminta kasih, memohon sayang/ untuk sebuah kehidupan/ yang bertiang serikan keadilan/ yang berimankan kebenaran.”
Pada sisi yang lain kenostalgiannya itu disisipi pula Mohamed Latiff dengan suara penuh letih dan pasrah, seperti di dalam puisinya “Pasrah” (halaman 26): “Kubiarkan lukamu menjadi pasrah/ kubiarkan cintamu menjadi gundah...”
Sambil disulam dengan rasa rawan, Mohamed Latiff mengucapkannya dalam puisi “Rawan Kita” (halaman 27): “ Ranjang pengantin ini/ selalunya basah dengan darah/ dari tenunan sejarah/ semasa nobat dan nafiri/ melangiri gerimis senja ini/ kita luka....”
Namun di dalam rawannya Mohamed Latiff tidak lupa menyelitkan tekad: “kita adalah anak manusia/ yang bermaruah/ yang bergelanggang/ bernegeri/ akan menakluki seluruh denyut manusiawi.”
Tetapi bukanlah kenostalgian semata-mata yang menjadi inti di dalam kumpulan 45 puisi pilihan sekitar tahun 1990 hingga 2002 karya penyair dari Singapura ini. Di samping gumam dan desis, sesekali terdengar juga suara meledak penyair.
Sebagai contoh, di dalam puisi “Lapar” (halaman 16), meski layaknya insan berdoa, namun rentak puisi Mohamed Latiff ini jelas menghentak dan menyentak. Atau dalam puisinya yang lain berjudul “Siapa” (halaman 22): “ Siapa meninabobokan kita/ kalau bukan tangisan malam/ rentetan sepi/ diri kita sendiri/ bercerminkan: bangkai peribadi”.
Atau kita mendengar juga suara pendoa seorang Mohamed Latiff ketika mendepani atau tersentuh oleh nasib jutaan warga Palestine dan sekaligus mengesali perilaku segelintir umat Islam sendiri. Suara ini terungkap di dalam puisi “Doa Untuk Palestin” (halaman 12): “...Lihatlah bumi Palestine/ diinjak; diradak/ dirogol; dicabul/ sedangkan seluruh saudara-saudara Islammu/ asyik menadah tangan; mendaha ihsan/ takut kepada kuasa yang durjana/ rela melihat; menyaksikan/ bulan hitam di Palestine/ embun menjadi raucn berbisa....”
Berdasarkan catatan lokasi di akhir puisinya, sedikit kita dapat menebak. Betapa berada jauh dari tanah lahir penyair Mohamed Latiff dapat lebih berhening atau meredamkan suara baranya. Ketika ini puisi Mohamed Latiff menjadi lebih menusuk dan penuh daya renungan.
Ini tertera seperti di dalam puisi yang ditulisnya di kota London “Angin”, “Hidup” dan “Mawar”. Meski amat pendek, suara Mohamed Latiff di dalam puisinya “Hidup” (halaman 56) adalah suara suara seorang perenung: “ samar dan sepi/ kelam dan sunyi/ terapung/ antara realiti/ dan ilusi.”
Sama ada disedari tidak atau Mohamed Latiff memang melakukannnya dengan sengaja, beberapa puisinya di dalam kumpulan ini kelihatan mempunyai topografi yang menarik. Topografi atau bentuk visual luaran ini seakan mahu membantu menyampaikan maksud penyair secara luaran.
Sebagai contohnya, ini dapat dilihat dari puisi antaranya “Sejarah”, “Pemimpin”, “Bulan”, “Akan kukirimkan Jua Setangkai Mawar Rimba” atau “Parlimen”.
Bahagian Puisi-puisi Pilihan kumpulan ini memuatkan 6 puisi Mohamed Latiff. Selain puisi “Melayumu, Melayuku”, turut mengiringi ialah “Bangsaku di Hari Lahirku”, “Bicara Damai”, “Pelangi”, “Tekad”, dan “Api”.
Di bahagian ini, tetap juga ditemui berbaur suara penyair Mohamed Latiff. Antara nostalgik dan gumam, tetap kita dengar atau kesani suaranya yang tegas dan menghentak. Namun suara apapun dilontarkan Mohamed Latiff, itu tidaklah sampai menghakiskan seni atau estetik puisinya di dalam kumpulan ini.
KEMBALI

|