Ulasan Buku:
ACEP BERDONGENG DENGAN PUISI

Tajuk : Dongeng Dari Negeri Sembako
Penyusun: Acep Zamzam Noor
Penerbit : Aksara Indonesia, Yogjakarta
Tebal : 81 halaman
Cetakan : 2001
Pengulas : Marsli N.O

KEPEKAAN seorang penyair terhadap segala macam isu yang berlaku di dalam masyarakat mudah menggetarkan hati nurani seorang penyair. Gugahan itu akhirnya yang mendorong penyair supaya segera memberikan reaksi. Kesegeraan tersebut, selain sebagai bukti akan kehadirannya, juga demi untuk menunaikan tanggungjawab utama kepenyairannya: menjadi saksi sejarah dan mengucapkan kembali suara hati nuraninya.

Dalam upaya untuk menyata dan memberikan reaksi itu, disebabkan oleh sesuatu peristiwa yang sangat menekan perasaan, tidak mustahil penyair menyuarakan suara hati nuraninya ini dalam bentuk yang sama sekali lain dari bentuk karya yang sudah menjadi identiti dirinya sebelum ini.

Tidak mustahil juga, selepas terlalu terhenyak dan tersentak oleh sekian banyak peristiwa yang sedemikian rupa, penyair akhirnya memilih untuk tidak mahu lagi menyeksa jiwa dan raganya dengan segala macam pertanyaan dan tanggapan yang serius.

Akhirnya, guyon atau gurau senda dijadikan alat untuk meredakan ketegangan di dalam jiwa. Malah bagi seniman murni yang selalu mengharapkan keadaan akan berubah, guyon atau gurau senda yang diucapkan secara serius ke dalam karya dijadikannya wadah menyatakan resah di dalam batinnya.

Inilah kelihatannya yang dialami oleh penyair Acep Zamzam Noor. Beliau yang sebelumnya terkenal sebagai salah seorang penyair liris generasi baru yang terkenal di Indonesia dengan kumpulan puisinya “Tamparlah Mukaku” (1982), Aku Kini Doa” (1986), “Kasidah Sunyi” (1989), “Dari Kota Hujan” (1996), “Di Luar Kata” (1996) dan “Di Atas Umbria” (1999) kini tampil dengan “Dongeng Dari Negeri Sembako ” yang sama sekali dengan jalur karya puisinya sebelum ini.

Malah dalam satu pengakuannya kepada penyunting di dalam buku terbarunya ini, Acep sendiri mengaku ragu dengan apa yang dia tulis dalam hubungan dengan masalah estetika yang pernah ia buat sebelum ini. Acep sendiri tidak pasti mahu menamakan karya-karya terbarunya ini sebagai apa.

Malah dalam karya penutupnya (309) Acep sendiri mengakui: “Sehebat-hebatnya yang kutulis ini/ Ternyata bukan puisi”.

Karya-karya Acep dalam kumpulan terbaru ini sekali imbas kelihatannya seperti haiku tetapi pada sisi yang lain kelihatan lebih seperti pantun.

Namun yang pasti, karya-karya di dalam kumpulan ini yang dijuduli dengan nombor terakhir sehingga 309 menjadi semacam catatan sosiologis dan sejarah terhadap apa yang terjadi di Indonesia ketika ianya dicipta.

Ianya menjadi semacam potret sosial yang di samarkan sesekali dan pada saat yang lain sangat jelas dan gamblang. Sehingga dengan begitu pembaca mudah dapat menduga tokoh dan watak atau juga peristiwa mana yang dirujuk di dalam realiti. Sebagai contohnya, dengan puisi: “Ada banyak cara/ Untuk bebas dari hukuman/ Salah satunya/ Pura-pura sakit (233). Puisi ini jelas merupakan sindiran yang merujuk kepada peristiwa penegakan hukum keadilan terhadap Tommy Soeharto, anak sang presiden Indonesia pada waktu itu.

Semua peristiwa dan pelbagai watak yang terlibat dan dirasakan Acep perlu diberikannya reaksi menjadi titik tolak pengkaryaannya di dalam buku ini: presiden, menteri, artis, wartwan, kiai, bupati dan bahkan beberapa teman seniman penyairnya sendiri.

Kes-kes politik, ekonomi, sosial, budaya, cinta dan malah hal-hal yang sulit diduga kerana bersifat lokal dan terlalu personal menjadi isi yang menguatkan bentuk dan kata-kata puisinya di dalam kumpulan ini.

Penyanyi turut menjadi watak di dalam senda Acep (109): “Para pengagum Desy Ratnasari yang patah hati/ Kini bahu membahu mendirikan Partai Tenda Biru”. Ini disusuli Acep dengan sindirannya terhadap terhadap para pemimpin (110): “Para pejabat yang sudah banyak merugikan negara/ Seharusnya berhimpun dalam Partai Koruptor Indonesia”.

Sebagai kesimpulannya, “Dongeng Dari Negeri Sembako” adalah sosok lain identiti kepenyairan Acep Zamzam Noor. Berbeza dengan karya-karya beliau yang telah dibukukan sebelum ini, karya Acep kali ini lebih merupakan sejarah simbolis dan penuh metafora yang disaluti dengan jenaka yang makna sebenarnya sudah diketahui umum oleh khlayak tetapi sekaligus membuat mereka berfikir sejenak dan tersentak.

Sumber: Berita Harian, 14 September 2004


KEMBALI