HOME

Kembali ke Arsip: Hasil RISET (Feb-Mar 2005)

Perbandingan Efektivitas Model Mengajar Kecerdasan Majemuk dengan Model Mengajar Konvensional (oleh: Soejanto Sandjaja & Meilania <meilania@telkom.net>)

 

Lihat juga: Desain Rancangan Materi Pelajaran

Hasil RISET

Analisa Kualitatif 4Avs4C    Analisa Kualitatif 4Bvs4C    Analisa Kualitatif 4B    Pialang Penilaian

 

Evaluasi Lembar Tugas Kelas “konvensional” 4B

Mata Pelajaran : IPS

Pokok bahasan : Peninggalan Bersejarah

 

  1. Salah satu ciri pengajaran konvensional adalah dengan memberikan latihan soal yang nantinya semua atau sebagian soal akan ditanyakan kembali saat siswa menghadapi ujian. Biasanya proses pembelajaran ini dilakukan dengan mengandalkan kekuatan memori / teknik menghapal “kunci jawaban”. Jadi, siswa dilatih untuk menjawab dengan benar sesuai kunci jawaban yang diberikan (diharapkan) oleh Guru. Dalam banyak kasus, kunci jawaban mengacu pada bahan text book / buku pelajaran yang digunakan oleh siswa. Salah satu kelemahan pengajaran “konvensional” adalah terabaikannya pendapat pribadi siswa, yang meski secara nalar dapat diterima tapi bisa jadi pendapat tersebut tidak termasuk dalam kunci jawaban yang benar.

 

Contoh: Soal no 5

Pertanyaan: Apa saja manfaat pelestarian bagi masyarakat setempat?

Kunci jawaban: -    membuka lapangan kerja

-         menambah wawasan

-         meningkatkan kecerdasan masyarakat

 

Berikut adalah contoh kasus dimana saat siswa memberi jawaban yang “tidak sesuai” dengan kunci jawaban, namun sebenarnya BENAR secara nalar, ternyata dicoret atau disalahkan oleh Guru (jawaban “benar” secara nalar tersebut dinyatakan “salah” hanya karena tidak sesuai dengan kunci jawaban).

 

Michael (no.12) menjawab: ekonomi bertambah meningkat.

Ano (no. 14) menjawab: anak cucunya dapat mengenal kembali peninggalan sejarahnya.

Andru menjawab: bisa dinikmati generasi penerus.

Vivian (no. 29), Veronica, Veza (no. 3) menjawab: meningkatkan pendapatan daerah, meningkatkan citra daerah, meningkatkan mutu pendidikan.

 

Keenam siswa diatas, meski menjawab dengan “benar”, namun karena tidak sesuai dengan kunci jawaban, maka konsekuensi yang mereka peroleh adalah: jawaban mereka dinyatakan salah oleh Guru.

 

  1. Umumnya bentuk soal dalam pengajaran konvensional bersifat menguji daya ingat siswa atas materi yang telah disampaikan, yaitu termasuk dalam level yang paling rendah menurut Taksonomi Bloom. Siswa biasanya diminta untuk “menghapal” jawaban yang benar atas suatu pertanyaan tertentu. Kelemahan dari bentuk soal semacam ini adalah bila ternyata soal ujian TIDAK dilatihkan pada siswa, maka biasanya siswa tidak mampu menjawabnya dengan benar. Hal ini terbukti dalam soal no. 2 Pre-Test maupun Post-Test yang ternyata TIDAK dilatihkan pada siswa kelas 4B selama proses pengajaran konvensional. Hasilnya adalah sebagian besar siswa gagal menjawab pada nomor 2 tersebut (baik saat Pre-Test maupun Post-Test).

 

  1. Bentuk soal ujian yang mengandalkan kunci jawaban semacam ini biasanya cenderung menimbulkan BIAS dalam diri Guru yang harus mengoreksi jawaban siswa (karena sifat kerjanya monoton dan Guru bekerja dalam aras berpikir yang rendah).

 

Contoh: Siswa-siswa yang mendapat nilai 10 (sempurna) ternyata tidak semuanya diberi pujian “Bagus!” oleh Guru. Kemungkinan, siswa yang menulis dengan rapi, sistematis, dan runtut lah yang memperoleh pujian tersebut.

 

Bandingkan kertas tugas siswa-siswa berikut:

Indri (no. 13) dan Melita (no. 28) mendapat pujian “Bagus!”

Sedangkan Dhanny (no. 21) meski jawabannya benar semua tidak memperoleh pujian “Bagus!”. Kebetulan tulisan Dhanny kurang bagus dibanding kedua siswi yang disebutkan di atas, selain itu Dhanny menulis jawaban dengan memenuhi satu baris (ke arah kanan), sedangkan Indri dan Melita mengurutkan jawaban ke arah bawah / satu baris satu jawaban – dimana hal ini sangat memudahkan bagi Guru untuk membaca dan mengoreksi jawaban.

 

  1. Cara penilaian seperti soal yang dilatihkan di atas umumnya cenderung untuk memfokuskan perhatian pada KESALAHAN siswa. Salah satu efek negatifnya adalah kurang “memanusiakan” peserta didik, karena siswa dinilai hanya berdasarkan jawaban benar dan salah. Hampir tidak ada (bahkan seringkali sama sekali tidak didapati) unsur apresiasi atas hasil kerja siswa meski mungkin jawaban mereka salah / tidak sesuai dengan kunci jawaban. Karena berfokus pada KESALAHAN, maka pilihan kata-kata yang digunakan oleh Guru pun cenderung negatif daripada kata-kata positif yang mestinya dapat lebih meningkatkan semangat belajar siswa.

 

Contoh:

Siswa-siswa yang mendapat nilai “buruk” dikecam dengan kata “malas” (bahkan diberi tanda seru “!!!”) yang menunjukkan ekspresi marah dari Guru. Lihat lembar tugas Christo dan Chora.