Balinese Gamelan Concert
Sunday, November 17, 2002 - 3:00 p.m.
MIT Kresge Auditorium
(Benefit for the Bali Relief Fund)
Hujan dan angin dingin menyapu kota Boston dan sekitarnya sejak pagi hari.  Aku berharap semoga hal ini tidak menyurutkan minat para pengunjung untuk menonton pertunjukan kesenian yang bagiku sangat membanggakan ini.  Terus terang, ketika masih tinggal di Indonesia, aku tidak begitu tertarik untuk menonton pertunjukan kesenian dari negeri sendiri, tetapi ketika sudah tinggal di negara orang, perasaan cinta kepada tanah air begitu kuat, yang aku salurkan dengan salah satunya yaitu menonton pertunjukan kesenian Indonesia, yang kebetulan digelar di kota tempat tinggalku sekarang.  Aku juga mengajak pasangan suami-istri (American-Japanese) serta Marlyn & Wilbert van der Linden, kenalan kami, untuk bergabung bersama, dan kami akan bertemu di Lobby Auditorium sekitar pukul 2:30 p.m.  Harga tiket $8.00/adult/person untuk umum; gratis bagi MIT Community.

Semalam aku juga sempat berbicara di telephone dengan Ketty Rosenfeld, seorang wanita Indonesia yang menikah dengan American yang juga tinggal di sini.  Kami sepakat untuk bertemu di women's dressing room sebelum pertunjukan dimulai.  Kebetulan anak kedua Ketty serta salah seorang keponakannya akan tampil menari juga.

Dan inilah kami, berada di gedung ini untuk menyaksikan salah satu pertunjukan kesenian Indonesia, yang bagi kami berenam adalah untuk yang pertama kalinya:-).  Setelah mendapatkan kursi depan di dalam gedung, aku pamit pada mereka semua untuk menemui Ketty.  Duuuch....Ketty kayak apa ya sekarang?  Ketty (Munaf) yang aku "kenal" dulu adalah cantik, tinggi, langsing, gesit, penuh aktifitas, dan terkenal akan kepiawaiannya sebagai Majorette Drumband Tarakanita, yang seringkali meraih predikat juara pada events di tanah air dan international.  Kubuka pintu women's dressing room, dan....
woalaaaa....5 orang gadis cantik berpakaian penari Bali, seorang wanita berparas ayu berpakaian traditional Bali lengkap dengan sanggulnya (yang belakangan kuketahui namanya adalah Desak Made Suarti Laksmi), dan seorang wanita cantik, langsing, berpakaian casual berwarna hitam dengan sehelai selendang melilit pinggangnya, sedang sibuk mendandani seorang gadis penari.  Semuanya menoleh ke arah aku, yang langsung mengumbar senyum lebar.  Wanita cantik & langsing berpakaian casual itu pastilah Ketty.  "Haaaaaiii.....", kami saling menyapa dengan riang dan berpelukan.  Setelah ngobrol-ngobrol sejenak dengan Ketty dan beberapa penari yang salah satunya aku kenal melalui milis Permias (MA), aku pamitan untuk kembali ke dalam gedung.  Ketika beberapa menit lagi acara akan dimulai, Ketty menghampiri kursi kami untuk berkenalan dengan Michael, yang sekaligus aku kenalkan dengan teman-temanku juga.  Ketty, sosok yang kukenal dulu ternyata masih tetap aktif dengan seabreg kegiatan hingga saat ini, juga bekerja pada salah satu University terkenal di Boston area sebagai Associate Director di Department of Career Services.
Pertunjukan dibuka dengan gebyaran music yang diberi judul "A Dangerous Thing" karya Dan Schmidt (1999).  The composer writes: "What speaks to me most in Balinese music is a sense of rhythmic joy, two dozen musicians hurtling through time in unison.  A Dangerous Thing takes that rhythmic sense and explores it in ways rather alien to the traditional repertoire of Bali.  The title refers to the seductiveness of danger; when confronted with a large spiky spring-loaded object, it's hard to resist the temptation to touch it and set it in motion.  Perhaps more relevantly, I still only really understand a little bit about Balinese music, and there's a proverb about a little bit of knowledge.....".

Selanjutnya adalah tarian "Panyembrama" karya I Gusti Gede Raka and I Wayan Beratha (1963).  Dibawakan oleh 4 orang gadis penari yang cantik-cantik, yang 2 orang di antaranya adalah putri kedua serta keponakan Ketty.  Panyembrama -- a modern composition based on the movements of "inner temple" offering dances--now commonly used to welcome honored guests.