"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Cermin-cermin Bicara

Cermin: Monas Junior

Semula aku pikir, aku telah gila. Atau lebih parah lagi dari itu. Beberapa minggu, beberapa bulan, bahkan beberapa detik lalu. Aku selalu mendengar suara-suara menyayat dari sesuatu yang tak terstruktur. Dari pelan berupa gumam, hingga tinggi melengking berujud pekik, lalu terkejut-kejutlah aku tanpa sebab pasti.

Seperti suatu waktu di kamar tidur sebuah rumah tetangga. Suara-suara maya itu menyeruak begitu saja dalam rupa angin milir. ''hidupku selalu menemui kata buntu. Isteri, anak, tetangga, rekan-rekan, mereka seperti kebuntuan abadi... huh''

Kemudian ia memantul dalam rupa kabur seorang lelaki berkumis tebal, bertubuh kurus ceking. Rambutnya putih hampir keseluruhan, dan kerut-kerut besar berhimpitan di jidatnya. Ia kukenal; Pak Imam. Suami dari seorang wanita cantik, punya tujuh anak sekarang ia. Tapi sayang, jabatannya belumlah cukup menghidupi kedelapan kepala tanpa pekerjaan itu. Yah, keluhan Pak Imam telah disampaikan kembali oleh suara-suara maya yang tak lain adalah cermin lemari kamar mereka.

Lalu waktu-waktu kemudian suara-suara maya serupa juga aku dengar berkali-kali, berlokasi-lokasi. Salah satunya di toilet wanita sebuah gedung bioskop.

''Wan, kemarin kau bilang aku adalah wanita terdahsyat cantiknya. Tapi sekarang, aku kau campak seperti sehabis manis sempah saja. Aku tahu, usai ini, kau pasti menghabisi hubungan kita, Wan...''

Berikut, di kaca ruang khusus merokok sebuah kantor megah; lelaki egois itu, selalu saja kehendaknya yang mau diturut. Dikit-dikit instruksi ini, rapat itu, kebijakan ini, sanksi itu, dasar setan. Kalau bukan boss, sudah kucincang kau!.

Satu lagi di balik spion mobil kijang biru, sementara kerumunan orang di muka sesak penuhi suatu siang; Ton.. Ton. Kemarin malam baru kita lepas rindu bersama berpasang-pasang botol alkohol. Eh, siang ini, malah kau kasih orang-orang di luar itu ceramah agama. Kau munafik, Ton! Munafik!.

Bahkan dari lusinan cermin di penjaja kaki lima sepanjang jalan gedung DPR pusat, juga riuh rendah menyuarakan lantunan yang sama, mungkin beginilah rata-rata syairnya; 'parlemen-parlemen keparat! Apalagi kurangnya pemberianku pada kalian, sampai-sampai sekarang kalian sibuk menggulingkan aku. Grrr!'.

Demikianlah. Kalimat-kalimat serupa sumpah serapah itu seolah-olah gerayangan bayang sekujur tubuh. Dimana, kapan, bagaimana pun selalu mengikutiku. Sampai-sampai sehardik-hardik angin menampar musim pun tak bisa redakan teriakan cermin-cermin tersebut, yang mungkin, atau entahlah, barangkali salah satu dari suara kalian. Atau barangkali saja aku benar-benar gila?

Yang pasti mereka kian akrab saja bagi telingaku. Entahlah orang-orang. Dan aku pun mencari penyebab kenapa mereka, cermin-cermin itu sekarang telah pandai bicara selayaknya manusia. Dengan nada, emosi, juga tekanan-tekanan intonasi, persis manusia.

Atau barangkali saja, manusia-manusia kekinian dengan segala kondisi dan situasi yang ada, memaksa ia bertutup mulut dari kelepasan kata-kata yang gatal ingin keluar dari lubuk hati terdalamnya. Kebekuan nilai-nilai kesopanan, kecintaan akan kemunafikan, kebutuhan jilat menjilat, juga rongrongan diri supaya disebut 'orang baik' malah membawa manusia ke arah kepengecutan. Ya, terlalu pengecut untuk mengakui bahwa ia bosan, ia benci, ia cemburu, ia tertekan, ia marah, ia kesal, ia dongkol, ia... bahkan ia pun sulit sekali menebarkan sedikit tangis untuk pemuasan hati itu. Hati yang telah berat dengan pemendaman perasaan-perasaan buruk.

Oi, jadilah cermin-cermin, sebuah bidang datar yang memiliki daya pantul tinggi itu sarana pelampiasan disamping diary, anak-anak, isteri, saudara, bantal, kasur dan media lainnya sansak yang siap dihancurkan oleh emosi-emosi mereka, manusia-manusia itu. Lalu setelah berjuta-juta ton beban masalah ditanggung-'nya', mau tak mau ia pun terpaksa melampiaskan kembali semua itu agar tubuhnya tak retak, berderai, dan hancur berkeping-keping. Lalu mulailah cermin-cermin itu bersuara, bernyanyi, bersendu, berceloteh, tak jarang bercarut! Hingga, aku mendengar suara-suara mereka dengan lantang dan menggiris! Ya, suara-suara manusia yang penuh dilema hidup. Adakah mereka sadar bahwa tangis mereka, senandung mereka, tawa mereka, benci mereka, rutukan mereka, dan segala-segala peledakan emosi itu telah membawa malapetaka bagi cermin-cermin dunia.

Setelah situasi semakin tak terkendali seperti sekarang, siapakah yang mesti disalahkan. Manusiakah, cerminkah, masalahkah, atau... hidup ini sudah menuju tanda-tanda kegilaan. Barangkali juga, aku yang telah gila. Namun bisa jadi kalianlah yang jauh lebih gila karena mendengar ocehanku, salah satu cermin yang terabaikan.***

Jambi, Februari 2003