"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Filosofis:
"Hidup adalah rentetan kenangan yang alpa. "
(Gazali Burhan Riodja--Alm. Sastrawan Jambi seangkatan Chairil Anwar)

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat

Tahun 2004
- Cyberlovetika

My Book


Negeri apa?
Cerpen : Monas Junior

      Burung besi raksasa itu terbang tinggi membedah mega-mega, membelah awan putih. Melewati merpati, gunung-gunung, laut biru dan semua yang tak mungkin terlampaui kecuali hati penumpang burung besi itu. Pesawat terbang namanya. Tercipta untuk menembus pembeda ruang jarak dan waktu.
      ‘’Anda datang dari mana, wahai, Saudara yang tengah terhanyut?’’ sapa akrab seorang penumpang kepada kawan duduk sebelahnya. Sementara deru burung besi semakin kencang menggoyang perasaan semua yang ada dalam perutnya.
      Pria yang dimaksud menjawab sapaan turis tersebut tanpa memalingkan muka. ‘’Saya berasal dari Afrika. Dunia emas hitam. Tapi saya tak tahu kenapa orang menyebut kaum kami seperti emas. Padahal kami tak punya apa-apa selain jiwa dan semangat tinggi.’’ Dia membenarkan letak selimut di pahanya.
      ‘’Anda sendiri darimana?’’
      Sambil mengurai senyum, pria yang pertama kali menyapa itu menatap lapisan awan tipis yang terbang tanpa massa dengan bebasnya. ‘’Negeri serba ada. Indonesia. Saya rasa negeri kami memang pantas disebut demikian. Karena apa saja tersedia bahkan berlimpah ruah di negeri kami. Minyak, emas, rempah-rempah, air, gunung, lembah, hutan, bahkan kami punya kekayaan yang mungkin jarang anda temukan di negeri manapun ’senyum ramah para pribumi’. ‘’Anda boleh buktikan ! . Begitu anda pijakkan kaki dan melangkah beberapa depa dari pesawat ini, anda akan disambut hangat oleh senyum-senyum ramah orang bangsa kami. Meskipun mungkin bukan ditujukan untuk anda, tapi anda bisa melihat betapa murninya senyum yang kami miliki.’’
      ‘’Minyak, emas, air, rempah, gunung, lembah, hutan, dan senyum ramah penuh ketulusan. Ah, rasanya saya pernah mendengar selentingan negeri idaman seperti yang anda gambarkan itu. Tapi, dimana?’’ sangsi si turis dari benua emas hitam.
      ‘’Anda tak perlu bersusah payah mencarinya. Karena itu adalah negeri saya, Indonesia tercinta. Tanah penuh keakraban dan kasih sayang. Tanah yang tak pernah butuh pupuk atau sejenis obat penambah percepatan tumbuh dan sebagainya. Tanah yang hanya butuh disiram setiap hari dan akan memberikan pelayanan terbaik pada tanaman apa saja yang anda tanam. Ya, itulah negeri kami. Indonesia!’’ seru si pria dengan lantang.
      ‘’Indonesia?!’’
      ‘’Benar, Indonesia! Tempat kelahiran para sesepuh agama, birokrat, orang pintar. Meski sesekali tempat kelahiran para pendusta, penghianat, dan orang-orang cacat moral. Tapi itu tetap Indonesia. Negeri yang paling damai dari segala negeri di alam terpampang ini!’’
      ‘’Lalu, dimana letaknya Indonesia?’’
      ‘’Diantara dua benua. Benua Asia dan Australia. Diapit dua samudera. Samudera Hindia dan Australia.’’
      ‘’Bagaimana karakternya?’’
      ‘’Negeri kami terdiri dari lima pulau besar dan beribu pulau kecil, kesemua pulau itu tertampung dalam wajan suci bernama Indonesia. Negeri penuh persatuan dan kesatuan!’’
Lelaki berkulit hitam menatap wajah pria yang mengaku dari Indonesia. ‘’Apakah sekarang masih bersatu?’’
      Pria Indonesia sedikit mengerutkan kening, berpikir barangkali. ‘’Mmm. Masih. Walau ada satu dua yang berusaha memisahkan diri dari komunitas. Tapi itu tak jadi persoalan,’’ kelit si pria dengan lihai.
      Mereka berdua diam dengan pikiran masing-masing. Namun burung besi rupanya tak mengubris percakapan cucu adam itu, ia masih asyik membelah satu persatu awan putih tanpa tersisa. Sesekali tampak raut kemarahan dari wajah burung-burung merpati karena hampir tertabrak, dan celoteh anak-anak yang tengah bermain layang-layang di tanah lapang.
      ‘’Saudara… Saya minta maaf. Karena saya belum juga tahu letak negeri Anda tersebut. Bahkan mendapat gambaran saja tidak.’’ Si pria negro memulai percakapan.
Pria satunya memalingkan muka menabrak mata si negro. ‘’Anda ini benar-benar tak tahu, atau pura-pura tak tahu dengan maksud menyelidiki seberapa saya cinta negeri saya!’’
      ‘’Bukan. Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin tahu lebih lanjut, biar hati saya puas sepuas anda mengenal negeri anda.’’
      Napas berat begitu saja lepas dari mulut si pria asal negeri seribu pulau. ‘’Rasanya saya telah mengisahkan segalanya mengenai negeri saya. Supaya anda lebih jelas, saya sarankan untuk membeli peta dunia dan anda bisa lihat sekumpulan pulau dengan tulisan besar disana, Indonesia. Itulah negeri saya.’’ Ada nada kesal dari ucapan si pria barusan. Mungkin ia merasa cukup berbicara dengan orang asing tersebut, karena apa yang telah dikisahkannya dari tadi tak membawa hasil apa-apa, selain kesangsian dan kesangsian berkepanjangan. Kemudian ia membuka selembar koran yang sengaja dibawanya dari tanah air.
      Sewaktu ia membaca halaman dalam, si pria negro memperhatikan sampul koran yang tengah dibaca si pria Indonesia. ‘’Ini koran negeri anda?’’ tanyanya sopan, berusaha semaksimal mungkin agar lawan bicaranya tak tersinggung lagi.
      ‘’Benar.’’
      ‘’Boleh saya pinjam, saya tertarik dengan berita pada halaman satu koran anda,’’ujarnya sambil menyodorkan tangan.
      Si pria Indonesia memberikan dengan senang hati, dan dengan harapan bisa memberi gambaran lebih jelas kepada si negro mengenai negerinya. Setelah koran berpindah tangan ke si negro, ia mengangguk-angguk puas.
      ‘’Ooo, jadi ini negeri anda!’’ katanya dengan antusias. ‘’Kalau negeri ini, saya tahu pasti.’’
      Ada kelegaan dari dada si pemuda Indonesia. ‘’Sekarang anda tahu. Tapi, dari berita apa hingga anda tahu pasti bahwa negeri saya memang sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran anda,’’ tanya si pria sekedar ingin tahu.
      ‘’Dari berita ini!’’ Ia menunjuk judul besar pada satu berita.
      HARI INI PENGUMUMAN CPNS. ***

Jambi, 2001