"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Filosofis:
"Hidup adalah rentetan kenangan yang alpa. "
(Gazali Burhan Riodja--Alm. Sastrawan Jambi seangkatan Chairil Anwar)

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat

Tahun 2004
- Cyberlovetika

My Book


Stum Palalao

Cerpen : Monas Junior

      Sebagai seorang intelek, Rizal sama sekali tak percaya hal-hal berbau mistis. Seperti mitos, pameo, atau sampiran yang ditularkan orang-orang tua terdahulu. Dan sampai tujuh bulan lalu ia masih bersikukuh pada pendiriannya, bahwa suatu yang mistis itu cuma berasal dari sugesti pada akal secara terus menerus hingga mempengaruhi kejiwaan.
      Tapi akhirnya ia terpaksa menelan ludah sendiri, ketika dengan tanpa disadari ia telah terkena guna-guna dan merubah drastis perjalanan hidupnya.
      ***
      Dalam perkebunan karet di sebuah desa kecamatan Muara Siau, orang-orang sibuk melakukan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengiris-iris batang karet, mengumpulkan getah di dalam cawan ke dalam dirijen besar yang tutupnya telah dibelah hingga berbentuk baskom, kemudian ada juga yang membawanya pada tempat penampungan berupa bak-bak berbentuk empat persegi panjang. Lalu beberapa orang menuangkan sejenis cairan keras ke karet cair itu sedikit demi sedikit. Sedang beberapa orang lain sedang mengangkat karet beku pada bak lain yang sudah berbentuk balok ke atas timbangan. Dan disitulah, di balik timbangan tergantung itu, sesosok lelaki berkulit coklat duduk bersila di atas rumput sementara dua rekannya menghitung berat karet balok itu.
      Lelaki itu tampak sekali tengah hanyut dalam arus pikirannya. Hal itu dapat dilihat betapa ia tak memperdulikan aktifitas orang-orang di sekitarnya, ia juga tak mengubris betapa matahari telah sebegitu kasar menghujam lengan kirinya yang menyeruak dari sela-sela daun karet dan mendarat tepat di lengan lelaki setengah baya itu. Sementara itu ia tetap tak bergeming dari duduknya ketika seorang lelaki tua yang tadi menghitung berat karet menegurnya; ''Engkau sedang tak enak badan?''
      Seketika itu, barulah ia mengerjapkan mata beberapa kali. Lalu menjawab perhatian lelaki tua yang biasa dipanggil Pak Kodir itu dengan muka memelas. ''Lebih dari sakit. Dan sakit ini menyerang pikiran, juga hati saya, Pak.''
      Sejenak Pak Kodir yang bertubuh kurus hitam mengernyitkan dahi. Dia menangkap buncahan masalah di mata lelaki yang adalah juragannya itu.
      ''Kalau pikiran dan tubuh tidak sejalan, tak sepantasnya seseorang membiarkan diri dalam situasi bekerja. Karena itu, saya sarankan Adek segera pulang dan beristirahat. Biar saya yang melanjutkan pekerjaan di sini.''
Rizal, lelaki muda itu adanya, serta merta menatap Pak Kodir. Ia mencari kesungguhan dari perkataan yang dilontarkan Pak kodir tadi. Dan ia tersenyum tatkala Pak Kodir melontarkan senyum tegas.
      ''Tak enak merepotkan Pak Kodir...'' Masih tersisa sebuah keseganan. Segan menyusahkan orang tua dengan tiga orang cucu itu.
      Hingga setelah Pak Kodir tersenyum tegas untuk kedua kalinya, Rizal baru menegakkan tubuhnya. ''Terima kasih...'' ucapnya. Kemudian ia melangkah berat menuju sepeda motor yang bersender sekenanya di salah satu batang karet. Detik berikutnya ia telah memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Meninggalkan asap tipis yang mengepul diantara sampah daun, karet dan tubuh-tubuh para pekerjanya.
      Dalam perjalanan pulang, pikiran Rizal membaca kembali record perkataan Pak Swandi kemarin. Ketika ia dan mertuanya itu duduk di teras muka rumahnya. Bercakap-cakap sambil ditemani kopi dan beberapa batang rokok. Yah, seperti basa-basi mantu dan mertua biasa.
      Namun bukan itu yang mengusiknya. Melainkan kata-kata jujur Pak Swandi telah membuka selimut yang selama ini menutupi alam bawah sadarnya. Dan ia seperti baru terjaga dari tidur panjang.
      ''Sebelum aku berkata-kata, anakku. Ada baiknya kau siapkan kesabaran sebanyak mungkin. Karena kau bakal membutuhkan itu setelah aku selesai berkata-kata.'' Pak Swandi melontarkan pembicaraan baru setelah sekian topik telah mereka selesaikan.
      Di sisi Rizal, ia seperti akan menemui sebuah kenyataan. Sebab kata-kata 'sabar' tak lain adalah kunci sebuah pintu rahasia. Makanya ia segera membenarkan duduk dan menekan mati puntung rokoknya, meski itu tak bisa menghapus debar-debar kecemasan yang ia rasakan.
      Pak Swandi melirik Rizal sejenak, kemudian ia ikut-ikutan mematikan puntung GP-nya.
      ''Aku sudah memikirkan ini sejak seminggu lalu. Hal ini teramat berat untuk ditutupi. Akan lebih baik menyimpan sebilah belati di kantung baju ketimbang sebuah rahasia keluarga. Karena itu aku memutuskan untuk menceritakannya kepada engkau. Selain aku sudah tak sanggup menyimpannya, aku beranggapan kau sudah cukup kuat menerima kenyataan dibalik rahasia ini.''
      Rasanya Rizal sudah tak sabar mendengar rahasia apa yang akan diceritakan mertuanya itu. Ingin saja ia mengejar dengan lecutan-lecutan pertanyaan, tapi tatakrama keluarga melarangnya untuk berbuat hal itu. Jadilah ia menunggu detik-detik berikut dengan gelisah.
      Sementara Pak Swandi sama sekali tak menunjukkan gejala gelisah. Ia dengan tenang kembali membakar sebatang rokok baru. Lalu menyelipkannya di sela bibir.
      ''Perlu kau tahu. Perjodohan kau dan Munah tidak murni dari rasa cinta. Melainkan....''
      Lalu Pak Swandi mulai bercerita panjang lebar asal muasal pertemuan Rizal dan Munah. Bagaimana sesungguhnya percintaan mereka cuma sandiwara orang tua belaka. Dalam artian tidak murni lahir dari hati masing-masing.
      Seperti diketahui, Munah ialah permata sulung tak ternilai bagi pasangan Pak Swandi dan Bu Ijah. Dua pasangan kaya pemilik sekian hektar kebun karet warisan. Sebab itu Munah disayang mati-matian oleh pasangan itu bak menjaga telur di ujung tanduk, salah langkah sedikit bisa berakibat fatal.
Namun apa dikata, kata orang hati-hati itu perlu tapi terlalu hati-hati malah akan menyulitkan. Buktinya ketika Munah beranjak dewasa dan berhasil mendapatkan gelar sarjana agama, ia terkena stum palalo.
      Stum Palalao adalah kutukan adat pada gadis yang menolak tiga kali lamaran. Kutukan ini entah sudah berapa tahun ada dalam masyarakat desa Siau, dan asal muasalnya tak jelas darimana, namun kemungkinan berakar dari turunan adat masyarakat sumatera barat. Sebab kutukan serupa ini juga berkembang di masyarakat Padang dengan nama Santuang Palalai. Cara kerjanya juga sama yakni menjauhkan jodoh penderitanya. Dan hanya bisa diobati dengan pernikahan. Tentu saja pernikahan yang dipaksa.
      Oleh karena itu orang tua Rizal dan orangtua Munah sepakat menjadikan anak mereka sepasang suami isteri. Melalui jalur magic juga. Munah dan Rizal dihembuskan 'pengasih' hingga kedua-duanya seperti telah lama mengenal. Dan setiap saat selalu kerinduan menyesakkan dada keduanya. Rindu untuk bertemu, bercakap-cakap, berkasih-kasihan hingga sampailah waktu yang ditetapkan itu. Pernikahan.
      Resepsi pernikahan Rizal dan Munah diselenggarakan di kediaman Pak Swandi, mertua Rizal. Dengan acara yang amat meriah. Sampai tujuh hari tujuh malam, desa Siau berubah menjadi pasar malam. Orgen tunggal dan pedagang-pedagang keliling ikut-ikutan bertengger di balik pagar rumah Pak Swandi.
      ''Demikianlah kalian sekarang, anakku...'' Pak Swandi menutup cerita. Entah untuk batang keberapa, ia mematikan api rokok ke asbak di atas meja sambil melirik Rizal yang melotot kosong.
      Betapa bingungnya Rizal mengungkapkan perasaan yang ia alami sekarang. Marah, kesal, bodoh, malu, semuanya berkecamuk seperti ombak di lautan lepas. Bergemuruh menghantam-hantam pinggiran jantungnya hingga menimbulkan suara, gup! Gup! Gup! Gup, yang keras. Namun tak ada reaksi apa-apa dari sekujur tubuhnya, selain menegang dan pucat.
      Mungkin cuma malulah yang lebih besar ia rasakan sekarang. Betapa malunya Rizal pada dirinya sendiri. Karena selama ini ia sama sekali tak mempercayai hal-hal berbau magic dan perjodohan yang diatur orang tua. Ia merasa dirinya adalah pemuda produk masa kini. Dimana segala hal dipandang dari realitas, logika dan penjelasan-penjelasan yang bersumber dari pikiran. Bahkan ia berikrar akan memerangi sebuah akar masyarakat indonesia umumnya; tradisi! Ya, ia merasa dirinya adalah obor kecil yang nyala apinya bisa membakar tradisi-tradisi kampungan semacam; perjodohan orang tua dan sekelumit kebiasaan adat lainnya. Ia juga memandang betapa tidak majunya negeri ini jika segala sesuatu harus berlandaskan pada adat-adat yang hampir selalu merumitkan itu.
      Tapi kenyataan yang harus diterimanya kini memaksa ia untuk mengakui betapa tradisi dan adat istiadat itu seperti buncahan larva dari gunung merapi. Apinya panas menyala yang tak ada apa-apanya jika dibandingkan ia, obor kecil. Bahkan lahar-lahar itu kini menenggalamkan ia dalam ketidakberdayaan.
      ''Mantuku, Rizal. Sekarang bagaimana?'' Pak Swandi menegur.
Rizal menarik napas, ia kumpulkan kembali kesadarannya, ia pusatkan pikirannya kembali.
      ''Agar kau tahu. 'Pengasih' itu akan hilang seketika setelah diceritakan kepada yang bersangkutan. Berarti mulai detik ini, kau akan menjadi engkau sebelum terkena 'pengasih'. Idealis, logis, egois dan macam-macam seperti diceritakan orangtuamu kepadaku sebelum pernikahan kalian. Jadi, selamat datang di dunia normalmu kembali, Rizal, mantuku.''
      Pak Swandi benar. Tiba-tiba Rizal seperti baru bangkit dari mimpi panjang. Ia merasa betapa pandangan-pandangan idealis itu seperti hantu yang berkelebat kembali di kawasan otaknya, terus mengalir ke dasar hatinya dan perlahan mulai mengaburkan debar-debar kerinduannya terhadap, Munah. Sampai akhirnya cinta itu benar-benar tak berbekas lagi di hatinya, di kenangannya, lalu digantikan oleh Rizal sang idealis. Juga, sedikit dendam!
      ''Aku tahu perasaanmu sekarang. Emosi, marah, merasa ditipu. Namun seperti telah kuingatkan dari awal, kau butuh kesabaran sebelum kuceritakan semua rahasia ini. Nah, sekaranglah kesabaran itu perlu kau terapkan. Setelah kau tahu cerita yang sebenarnya, aku harap kau mau membiarkan dirimu merenung beberapa waktu. Jangan ambil keputusan disaat emosi, bisa-bisa kau akan menyesali perbuatanmu ketika kau telah kembali dalam keadaan tenang.'' Pak Swandi menutup ucapannya dengan tatapan bijak. Kemudian ia berdiri, memandang Rizal sambil menjalin tangan di perutnya yang sedikit besar.
      ''Aku ingin kau pulang, bicarakan ini sama Munah. Tapi harus dengan baik-baik, karena aku tak ingin mendengar anakku menjerit kesakitan. Bawa ia dalam pengertianmu, bimbing ia ke sebuah kenyataan ini dengan tenang. Dan apapun keputusan yang akan kalian buat, aku siap menerimanya.''
      ''Satuhal yang perlu jadi pertimbangan kalian berdua. Kalian bukan hanya hidup berdua. Pernikahan kalian juga pernikahan beberapa keluarga. Ayahmu, ibumu, aku, isteriku, saudara-saudaraku, ipar-ipar kalian, semuanya tergantung kalian. Andai perpisahan adalah keputusan itu, kau harus siap menerima perpecahan dari dua keluarga besar ini. Kau harus bersedia menjadi panglima dari perang saudara ini. Kalian, kau dan Munah adalah meja perundingan buat perang ini. Mau damai atau tempur, semuanya terserah kalian...''
      ''Pulanglah...'' Pak Swandi berjalan mendekati Rizal yang masih duduk termenung. Ia memukul beberapa kali pundak Rizal. Lalu ia dekati bibirnya ke telinga Rizal, ''Jangan kecewakan kami...'' bisiknya pelan. Kemudian menghilang di balik pintu rumahnya.
      ***
      Aspal jalan yang dilalui Rizal seakan-akan ingin teriak minta diperbaiki. Debu-debu menempel erat di atasnya, belum lagi tumpukan daun dan rerumputan liar yang tumbuh di pinggirnya mulai merangkak naik ke atas wajahnya. Aspal itu benar-benar menderita, ia butuh perawatan ulang.
      Namun tentu saja itu tak mengusik Rizal. Ia masih menarik gas motornya dengan perlahan diantara angin yang menerpa wajahnya sementara pikirannya telah lebih dulu sampai di rumah.
      Ia merencanakan akan menceritakan hal ini kepada Munah. Setelah seharian hanya berdiam saja, ia putuskan untuk hari ini sebagai awal dan akhir semuanya. Mungkin keputusan yang dibuatnya bakal mencetus perang dua keluarga. Ya, karena ia telah bertekat untuk menceraikan Munah!
      Terlepas dari ego, atau kembalinya kesadaran. Karena merasa dirinya ditipu itu yang membuat ia terpaksa harus membuat keputusan ini. Cerailah jawaban untuk menghilangkan kesan bodoh pada dirinya. Lagian obor kecil itu belum lah padam benar apinya, meski kecil api itu tetap menyala menerangi jiwa Rizal. Dan itu sudah cukup menciptakan kekuatan untuk sebuah peperangan sekalipun.
      Ia juga telah siap keluar dari rumah-dimana ia dan Munah tinggal-- dengan mengenakan pakaian melekat di badan. Tanpa membawa apa-apa selain itu, karena sekali ini saja ia mau mengikuti tradisi. Tradisi yang menetapkan bahwa seorang suami yang cerai harus keluar rumah isteri tanpa membawa apa-apa selain pakaian di badan. Ya, biarlah. Bathin Rizal. Lebih baik mengalah selangkah demi kemajuan berlangkah-langkah menuju masa depan.
      Akhirya sampailah Rizal di muka pagar rumahnya. Ia turun lalu mendorong sendiri pagar yang masih tertutup itu untuk kemudian membawa masuk motornya ke dalam pekarangan depan rumahnya. Standar motor ia turunkan, setelah benar-benar berdiri, motor itu ditinggalkannya menuju teras.
      Disitu tak ditemukannya Munah sedang asyik merangkai bunga seperti hari biasa. Tak dilihatnya beo kesayangannya berjingkrak-jingkrak riang menyambut setiap kedatangannya, juga tak dijumpainya senyum manis Munah melihat ia pulang. Hm, kemana semuanya.
      Sambil terus bertanya-tanya, Rizal melangkah masuk setelah memutar kunci pada pintu depan. Lalu ia hempaskan tubuh di kursi L ruang tamu. Kelelahan yang ia rasakan membuat ia terlelap.
Hingga suara sapaan dari seseorang di muka pantu membangunkan Rizal.       ''Assalamualaikum...''
      ''Alaikumsalam...'' balas Rizal sembari berdiri menyambut pemilik suara yang tak lain Munah di ambang pintu.
      Serta merta Rizal menarik lengan Munah ke dalam. Ia membiarkan barang belanjaan Munah tergeletak begitu saja di lantai teras. Namun Munah memang isteri penurut, ia hanya mengikuti langkah suaminya hingga di kursi tamu. Disitu ia didudukkan Rizal dengan pelan. Dan Rizal duduk di samping Munah.
      Sebuah helaan napas berat keluar dari mulut Rizal. Lalu ia mengatur napasnya kembali diiringi kediaman penuh arti Munah.
      ''Begini, Munah...'' Rizal memulai. Meski tenggorokannya serasa sesak, ia terus memaksa untuk bicara.
      Munah menggeser badan hingga kini tepat menghadap wajah Rizal yang masih sibuk dengan pencarian kata-katanya. Mata Munah sayu dan sesekali terpejam lambat menatap suaminya.
      ''Munah...''
      ''Bang...''
      Sekali lagi Rizal menarik napas amaaat panjang. ''Kemarin Abang bertemu dengan Bapak. Ayahmu. Beliau menceritakan sebuah rahasia yang...''
      ''Bang...''
      ''Dapat merubah hubungan kita...''
      ''Abang...''
      ''Rahasia itu teramat menyakitkan, Munah...''
      ''Bang...''
      ''Tapi, sepertinya kau juga harus...''
      ''Bang, Rizal...''
      ''Tolong dengar aku, Munah. Jangan memotong pembicaraan..'' Bagaimanapun Rizal merasa sedikit kesal oleh perbuatan Munah yang memotong kata-katanya. Matanya membulat ke arah Munah yang juga menatapnya dengan pandangan sayu.
      ''Aku hamil, Bang. Sudah dua bulan...'' Munah berkata pelan. Matanya berkaca-kaca menatap Rizal.
      Dan Rizal seketika terbungkam. Ia seolah menemukan tembok tebal yang amat keras. Tiba-tiba saja pertempuran telah terjadi dalam dadanya. Pertempuran antara keputusan dengan keinginan memiliki seorang anak. Ya, seorang anak. Setelah itu resmilah ia sebagai seorang lelaki sejati, juga seorang ayah sejati.
      Munah masih saja berdiri dalam diam. Matanya, pipinya sudah penuh semua dengan air mata. Ia sama sekali tak berbuat apa-apa selain menunggu dan menunggu reaksi Rizal. Calon ayah dari anaknya nanti.
      Sekitar beberapa menit berdiam, Rizal menemukan solusi. Ia menarik tangan isterinya ke kamar dengan langkah tergesa-gesa. Dimatanya terpancar sebuah sinar kehidupan, dan kebahagiaan itu terbayang begitu saja dari senyum mekarnya. Lalu kedua suami isteri berbahagia itu lenyap di makan kamar. Dalam canda, dalam senyum dan dalam impian baru pada kehidupan baru.
      Biarlah rahasia itu tetap menjadi rahasia di hati Rizal. Ia sama sekali tak lagi berniat membicarakannya kepada Munah. Bahkan keputusan untuk menceraikan Munah, telah dibuangnya jauh-jauh ke angkasa bersama awan-awan kenyataan. Biarlah semua ini jadi pelajaran buat perjalanan angkuh seorang pelawan tradisi. Karena bagaimanpun, tradisi itu tak bisa dilawan. Ia adalah larva yang keluar dari gunung merapi, dan panasnya membakar langit, menghanguskan tanah sekalian obor-obor kecil di sepanjang jalan.
      Namun di dalam kawah hati Munah, Rizal tak tahu betapa pergulatan hebat telah terjadi. Sebab ayah Munah juga telah menceritakan semuanya kepada Munah, kemarin. Sewaktu Rizal buru-buru pergi dari rumah orang tuanya. Saat itulah ayahnya membuka seluruhnya pada Munah. Ia sama seperti Rizal. Bahkan keputusan yang ia tentukan juga sama, tetapi cabang bayi yang dikandungannya memaksa ia berbuat lain.
      Biarlah... Biarlah semua ini menjadi rahasia buat mereka berdua, juga buat kehidupan baru. Meski cinta itu harus dibina kembali bersama pertumbuhan seorang bayi menjadi anak-anak, menjadi remaja, menjadi dewasa, untuk kemudian menjadi seperti mereka. Orangtua yang tahu letak ketuaannya.***

Jambi, Maret 2002