Potret
Cerpen : Monas Junior
Robin, direksi
muda yang baru pulang dari luar negeri menatap ruangan kantornya dengan
seksama. Setelah sekian tahun bercengkrama dengan perjalanan-perjalanan
panjang, ia hampir lupa tatanan ruang kantornya sendiri. Kursi putar
hitam yang selalu setia bersembunyi dibalik meja ekslusif itu. Vas bunga
anggrek yang menimbulkan kehidupan itu. Lukisan-lukisan pegunungan yang
bergelayut manja di dinding. Karpet hijau. Gorden putih. Lampu hias.
Sampai akhirnya mata Robin berhenti pada sebuah foto gadis cantik di
atas lemari kaca.
Kening Robin berkerenyit. Wajah
manis itu begitu familiar dalam ingatannya. Tapi setelah cukup lama
menghabiskan waktu untuk mengingat-ingat, ia belum juga dapat menyimpulkan
siapa kira-kira gadis terkukung bingkai itu. Atau... Jangan-jangan Wati
(sekretaris Robin) yang menempatkan foto itu di atas meja kerjanya.
Tanya Robin dalam hati.
''Tapi apa hubungan Wati dengan
si gadis? Adiknya? Ponakannya? Sepupunya? Kalau memang ia, lantas kenapa
pula Wati sampai berani meletakkan foto gadis cantik itu di ruanganku.
Apa ia memang sengaja ingin merajam keingintahuanku. Atau bahkan ia
mau menjadikan si gadis bagian dari diriku. Karena Wati tahu aku masih
bujangan. Alias perjaka tulen,'' gumam Robin sambil hilir-mudik memenuhi
ruangan.
''Tebakan terakhir mudah-mudahan
benar. Si Wati ingin ada keterikatan antara ia dengan aku selaku direkturnya.
Salah satu cara dengan menjodohkan aku sama adik-ponakan-sepupu- atau
apalah. Yang penting status karyawannya tak bakal terancam.
Wati.... Wati.... Buat apa ia melakukan
hal semacam itu. Aku tak akan begitu saja memecat ia tanpa kesalahan.
Kalau pun ada, tak segampang itu aku memukul palu, lantas menendang
Wati keluar. Karena ia tangan kananku selama aku berada di negeri orang
demi pengembangan bisnis. Wati sangat membantu aku. Mungkin kalau tidak
ada dia, aku masih gamang melepas perusahaan yang baru besar ini dan
meninggalkan selama beberapa waktu.'' Robin terus menebak-nebak dalam
hati. Kali ini ia mendudukkan tubuhnya di atas kursi bundar. Matanya
tertuju kembali pada foto gadis mengenakan gaun biru itu.
Robin sudah terlalu sering memecahkan
berbagai teka-teki bisnis. Tapi kali ini ia tak lebih seperti kerbau
yang dicongok hidungnya. Tak bisa berbuat apa-apa selain merenung dan
terus merenungi siapa sebenarnya gadis cantik itu. Seingatnya, ia tak
pernah bertemu dengan si gadis. Robin membuka buku agenda perjalanannya.
Agenda itu benar-benar memuat informasi
akurat mengenai segala hal yang pernah ditemui Robin selama perjalanan.
Mulai dari catatan rapat. Waktu pertemuan. Acara makan pagi. Makan siang.
Makan malam. Tidur. Sampai bangun keesokannya.
Jepang: Kyoko. Hasimi. Taguci. Dan
beberapa nama gadis lain tertera. Inggeris: Angel. Monic. Cindy. Dan
seterusnya... dan seterusnya. Hingga semua lembaran telah dijamah Robin,
namun tak satupun dari nama-nama itu yang cocok dengan karakter gadis
di balik foto. Hingga kerut di kening Robin melebihi kakek-kakek usia
delapan puluh tahunan, ia belum bisa mengingat-ingat siapa gerangan
si gadis. Lantas kenapa ia merasa ada kedekatan bathin terhadap si gadis.
Kenapa ia sangat tertarik kembali mengingatnya. Padahal untuk direktur
muda seperti Robin sudah teramat sering bertemu gadis-gadis lain yang
lebih cantik ketimbang gadis dalam foto.
Setelah penat berpikir, Robin meng-interkom
Wati di ruang sebelah. Bu Wati. Tolong kemari sebentar.
Baik, pak!
jawab suara di seberang.
Untuk beberapa menit kemudian muncul
seorang wanita dengan wajah khas keibuan menggendong setumpuk naskah
di pelukannya. Ia meletakkan bundelan naskah itu di atas meja Robin.
Memandang Robin sekilas lalu duduk berseberangan meja. Robin sendiri
masih sibuk mencermati gadis dalam bingkai foto yang kini tengah berada
di genggamannya.
Ada apa, pak?
Wati memulai pembicaraan.
Robin tak langsung menjawab. Ia menatap wajah Wati, kemudian kembali
tenggelam pada kegiatan tadi. Memandangi foto si gadis.
Entah untuk berapa lama situasi
itu tercipta. Sampai-sampai Wati merasakan ngilu di sekitar pahanya
akibat terlalu lama duduk. Maaf, pak. Ini arsip laporan
keuangan perusahaan dan beberapa laporan lainnya selama bapak tinggalkan,
ujar Wati bosan. Sedang Robin hanya mengangguk-angguk.
Dan kalau bapak tidak
ada keperluan lain sama saya. Saya mohon diri, sebab masih banyak tugas
lain menunggu untuk diselesaikan. Kebosanan Wati sudah sampai
pada stadium akhir.
Melihat tak ada reaksi dari Robin, Wati mendirikan tubuhnya. Permisi,
pak... Dan Wati membalikkan badannya. Namun begitu ia sampai
di ambang pintu, Robin memanggil Wati kembali.
Bu Wati. Sebentar.
Robin menyusul Wati yang baru mau melangkah ke arahnya.
Silahkan duduk, Bu.
Robin lebih dulu duduk di kursi L. Disusul Wati mendaratkan pantatnya
dengan dibebani segunung tanya. Tak biasanya si boss bersikap seperti
ini. Ada apa gerangan?
Robin memperlihatkan foto yang ternyata masih dipegangnya kepada Wati.
Wati mengernyitkan dahi. Ibu tahu kenapa sampai foto ini
ada di kamar kerja saya?
Atau ibu kenal sama
sosok gadis ini, sambung Robin tak memberi ruang jawab kepada
Wati.
Kalau memang kenal.
Dimana sekarang ia berada? Saya sangat tertarik untuk bertemu dengan
ia. Robin masih memburu.
Seingat saya. Saya belum
pernah bertemu dengan gadis ini. Bahkan di Kutub Utara sekalipun, tak
pernah saya jumpai orang semacam ini. Cantik. Kemayu. Tegas. Berpendirian.
Karakter-karakter yang selama ini saya cari. Ibu tahu siapa dia?
Wati menarik napas panjaaang dan
menghembuskan dengan teramaaat pelan. Ada beban berat tersirat dari
mata wanita separuh baya itu. Bibirnya sesekali hendak terbuka, namun
kemudian mengatup kembali. Wati masih memilih kata-kata yang pantas
untuk mengeluarkan beban itu. Entah beban apa.
Robin sudah tak sabaran. Sifat yang
paling dibencinya. Namun ia harus mengakui, gadis dalam foto itu telah
menghilangkan segala kebenciannya dan mengaburkan semua kesukaannya.
Baru melihat foto saja, Robin kehilangan kepribadian yang selama ini
dibangun dari kekerasan hidup. Kaki Robin seketika goyah terhimpit kharisma
si gadis.
Siapa dia, Bu?
Wati membenarkan duduknya. Mukanya
mulai memutih. Pucat. Terlebih dulu saya minta maaf. Karena
sayalah yang telah meletakkan foto gadis itu di meja bapak dua bulan
lalu.
Trus....
Trus. Saya juga kenal
si gadis. Bahkan teramat kenal. Sampai-sampai saya sudah menganggap
gadis itu sebagai anak sendiri.
Siapa dia?
Robin kembali memburu.
Posisi duduk Wati semakin tak karuan. Keringat dingin mengalir hingga
menorehkan sealur garis samar-samar di pipinya. Dara. Dara
nama gadis itu, ucap Wati hampir menyerupai bisikan.
Dara. Dara. Dara. Rasanya nama itu tak asing di telingaku. Pikir Robin.
Namun ia mencoba bersikap tenang di hadapan Wati. Dara?
Iya. Dara Rinjani. Mahasiswi
UI semester akhir.
Syaraf Robin menegang. Kabel-kabel hardware piranti pikirnya bekerja
optimal. Membaca data nama-nama berawalan Dara. Namun tak ada yang berakhiran
Rinjani. Paling cuma Dara Shinta. Dara Fleksi. Dara Wati. Dara Genre.
Dara Dari. Ditambah beberapa Dara lain. Namun Dara Rinjani sama sekali
tak ditemukan.
Oke. Apakah saya mengenalnya.
Karena hati saya berdetak mendengar nama yang barusan ibu sebutkan.
Akhirnya Robin menyerah.
Antara senyum dengan tidak. Wati berkata agak ragu; Bapak
mau mempermainkan saya.... atau apa?
Tubuh Robin tersentak ke belakang.
Ia merasa tidak sedang main-main. Apakah keseriusannya tidak bisa ditangkap
oleh sekretaris berpengalaman itu. Lalu kenapa ia sampai mengemukakan
pernyataan semacam itu?
Apa saya tampak sedang
main-main. Ibu Wati? tegas Robin merasa tersinggung.
Gantian Wati yang tersentak. Ada rasa bersalah karena keliru menilai
sikap Robin. Maaf kalau saya salah menilai.
Wati mencoba meralat perkataannya barusan.
Tak apa. Yang penting
sekarang ceritakan kepada saya semua tentang si Dara Rinjani itu....
Sungguh bapak tidak
tahu, mmm.... maksud saya, Bapak tidak ingat akan si Dara sama sekali.
Kalau saya tahu atau
ingat, buat apa saya susah-susah bertanya kepada Ibu.
Untuk kesekian kalinya Wati mempermainkan napas berat. Dara
Rinjani. Itu adalah nama putri bungsu bapak........
Apaaaa!!!
murka Robin. Ia yang sekarang merasa seolah dipermainkan Wati. Bagaimana
mungkin saya punya putri, kalau menikah saja belum! hardik
Robin tak tanggung-tanggung.
Salah. Bapak sudah menikah
dengan wanita cantik bernama Rini. Dari pernikahan bapak membuahkan
empat orang penerus bangsa yang tak kalah lebih cantik dari ibunya.
Ibu jangan main-main!
Demi Tuhan! Bapak sudah
menikah dan punya anak. Bagaimana Bapak bisa melupakan keluarga bapak
sendiri! Bagaimana mungkin! Wati memekik histeris.
Robin terkapar di sofa L dengan keras. Pingsan.***
Jambi, 28 Mei 2001