"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Filosofis:
"Hidup adalah rentetan kenangan yang alpa. "
(Gazali Burhan Riodja--Alm. Sastrawan Jambi seangkatan Chairil Anwar)

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat

Tahun 2004
- Cyberlovetika

My Book


Potret
Cerpen : Monas Junior

      Robin, direksi muda yang baru pulang dari luar negeri menatap ruangan kantornya dengan seksama. Setelah sekian tahun bercengkrama dengan perjalanan-perjalanan panjang, ia hampir lupa tatanan ruang kantornya sendiri. Kursi putar hitam yang selalu setia bersembunyi dibalik meja ekslusif itu. Vas bunga anggrek yang menimbulkan kehidupan itu. Lukisan-lukisan pegunungan yang bergelayut manja di dinding. Karpet hijau. Gorden putih. Lampu hias. Sampai akhirnya mata Robin berhenti pada sebuah foto gadis cantik di atas lemari kaca.
      Kening Robin berkerenyit. Wajah manis itu begitu familiar dalam ingatannya. Tapi setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk mengingat-ingat, ia belum juga dapat menyimpulkan siapa kira-kira gadis terkukung bingkai itu. Atau... Jangan-jangan Wati (sekretaris Robin) yang menempatkan foto itu di atas meja kerjanya. Tanya Robin dalam hati.
      ''Tapi apa hubungan Wati dengan si gadis? Adiknya? Ponakannya? Sepupunya? Kalau memang ia, lantas kenapa pula Wati sampai berani meletakkan foto gadis cantik itu di ruanganku. Apa ia memang sengaja ingin merajam keingintahuanku. Atau bahkan ia mau menjadikan si gadis bagian dari diriku. Karena Wati tahu aku masih bujangan. Alias perjaka tulen,'' gumam Robin sambil hilir-mudik memenuhi ruangan.
      ''Tebakan terakhir mudah-mudahan benar. Si Wati ingin ada keterikatan antara ia dengan aku selaku direkturnya. Salah satu cara dengan menjodohkan aku sama adik-ponakan-sepupu- atau apalah. Yang penting status karyawannya tak bakal terancam.
      Wati.... Wati.... Buat apa ia melakukan hal semacam itu. Aku tak akan begitu saja memecat ia tanpa kesalahan. Kalau pun ada, tak segampang itu aku memukul palu, lantas menendang Wati keluar. Karena ia tangan kananku selama aku berada di negeri orang demi pengembangan bisnis. Wati sangat membantu aku. Mungkin kalau tidak ada dia, aku masih gamang melepas perusahaan yang baru besar ini dan meninggalkan selama beberapa waktu.'' Robin terus menebak-nebak dalam hati. Kali ini ia mendudukkan tubuhnya di atas kursi bundar. Matanya tertuju kembali pada foto gadis mengenakan gaun biru itu.
      Robin sudah terlalu sering memecahkan berbagai teka-teki bisnis. Tapi kali ini ia tak lebih seperti kerbau yang dicongok hidungnya. Tak bisa berbuat apa-apa selain merenung dan terus merenungi siapa sebenarnya gadis cantik itu. Seingatnya, ia tak pernah bertemu dengan si gadis. Robin membuka buku agenda perjalanannya.
      Agenda itu benar-benar memuat informasi akurat mengenai segala hal yang pernah ditemui Robin selama perjalanan. Mulai dari catatan rapat. Waktu pertemuan. Acara makan pagi. Makan siang. Makan malam. Tidur. Sampai bangun keesokannya.
      Jepang: Kyoko. Hasimi. Taguci. Dan beberapa nama gadis lain tertera. Inggeris: Angel. Monic. Cindy. Dan seterusnya... dan seterusnya. Hingga semua lembaran telah dijamah Robin, namun tak satupun dari nama-nama itu yang cocok dengan karakter gadis di balik foto. Hingga kerut di kening Robin melebihi kakek-kakek usia delapan puluh tahunan, ia belum bisa mengingat-ingat siapa gerangan si gadis. Lantas kenapa ia merasa ada kedekatan bathin terhadap si gadis. Kenapa ia sangat tertarik kembali mengingatnya. Padahal untuk direktur muda seperti Robin sudah teramat sering bertemu gadis-gadis lain yang lebih cantik ketimbang gadis dalam foto.
      Setelah penat berpikir, Robin meng-interkom Wati di ruang sebelah. ‘’Bu Wati. Tolong kemari sebentar.’’
      ‘’Baik, pak!’’ jawab suara di seberang.
      Untuk beberapa menit kemudian muncul seorang wanita dengan wajah khas keibuan menggendong setumpuk naskah di pelukannya. Ia meletakkan bundelan naskah itu di atas meja Robin. Memandang Robin sekilas lalu duduk berseberangan meja. Robin sendiri masih sibuk mencermati gadis dalam bingkai foto yang kini tengah berada di genggamannya.
      ‘’Ada apa, pak?’’ Wati memulai pembicaraan.
Robin tak langsung menjawab. Ia menatap wajah Wati, kemudian kembali tenggelam pada kegiatan tadi. Memandangi foto si gadis.
      Entah untuk berapa lama situasi itu tercipta. Sampai-sampai Wati merasakan ngilu di sekitar pahanya akibat terlalu lama duduk. ‘’Maaf, pak. Ini arsip laporan keuangan perusahaan dan beberapa laporan lainnya selama bapak tinggalkan,’’ ujar Wati bosan. Sedang Robin hanya mengangguk-angguk.
      ‘’Dan kalau bapak tidak ada keperluan lain sama saya. Saya mohon diri, sebab masih banyak tugas lain menunggu untuk diselesaikan.’’ Kebosanan Wati sudah sampai pada stadium akhir.
Melihat tak ada reaksi dari Robin, Wati mendirikan tubuhnya. ‘’Permisi, pak...’’ Dan Wati membalikkan badannya. Namun begitu ia sampai di ambang pintu, Robin memanggil Wati kembali.
      ‘’Bu Wati. Sebentar.’’ Robin menyusul Wati yang baru mau melangkah ke arahnya.
      ‘’Silahkan duduk, Bu.’’ Robin lebih dulu duduk di kursi L. Disusul Wati mendaratkan pantatnya dengan dibebani segunung tanya. Tak biasanya si boss bersikap seperti ini. Ada apa gerangan?
Robin memperlihatkan foto yang ternyata masih dipegangnya kepada Wati. Wati mengernyitkan dahi. ‘’Ibu tahu kenapa sampai foto ini ada di kamar kerja saya?’’
      ‘’Atau ibu kenal sama sosok gadis ini,’’ sambung Robin tak memberi ruang jawab kepada Wati.
      ‘’Kalau memang kenal. Dimana sekarang ia berada? Saya sangat tertarik untuk bertemu dengan ia.’’ Robin masih memburu.
      ‘’Seingat saya. Saya belum pernah bertemu dengan gadis ini. Bahkan di Kutub Utara sekalipun, tak pernah saya jumpai orang semacam ini. Cantik. Kemayu. Tegas. Berpendirian. Karakter-karakter yang selama ini saya cari. Ibu tahu siapa dia?’’
      Wati menarik napas panjaaang dan menghembuskan dengan teramaaat pelan. Ada beban berat tersirat dari mata wanita separuh baya itu. Bibirnya sesekali hendak terbuka, namun kemudian mengatup kembali. Wati masih memilih kata-kata yang pantas untuk mengeluarkan beban itu. Entah beban apa.
      Robin sudah tak sabaran. Sifat yang paling dibencinya. Namun ia harus mengakui, gadis dalam foto itu telah menghilangkan segala kebenciannya dan mengaburkan semua kesukaannya. Baru melihat foto saja, Robin kehilangan kepribadian yang selama ini dibangun dari kekerasan hidup. Kaki Robin seketika goyah terhimpit kharisma si gadis.
      ‘’Siapa dia, Bu?’’
      Wati membenarkan duduknya. Mukanya mulai memutih. Pucat. ‘’Terlebih dulu saya minta maaf. Karena sayalah yang telah meletakkan foto gadis itu di meja bapak dua bulan lalu.’’
      ‘’Trus....’’
      ‘’Trus. Saya juga kenal si gadis. Bahkan teramat kenal. Sampai-sampai saya sudah menganggap gadis itu sebagai anak sendiri.’’
      ‘’Siapa dia?’’ Robin kembali memburu.
Posisi duduk Wati semakin tak karuan. Keringat dingin mengalir hingga menorehkan sealur garis samar-samar di pipinya. ‘’Dara. Dara nama gadis itu,’’ ucap Wati hampir menyerupai bisikan.
Dara. Dara. Dara. Rasanya nama itu tak asing di telingaku. Pikir Robin. Namun ia mencoba bersikap tenang di hadapan Wati. ‘’Dara?’’
      ‘’Iya. Dara Rinjani. Mahasiswi UI semester akhir.’’
Syaraf Robin menegang. Kabel-kabel hardware piranti pikirnya bekerja optimal. Membaca data nama-nama berawalan Dara. Namun tak ada yang berakhiran Rinjani. Paling cuma Dara Shinta. Dara Fleksi. Dara Wati. Dara Genre. Dara Dari. Ditambah beberapa Dara lain. Namun Dara Rinjani sama sekali tak ditemukan.
      ‘’Oke. Apakah saya mengenalnya. Karena hati saya berdetak mendengar nama yang barusan ibu sebutkan.’’ Akhirnya Robin menyerah.
Antara senyum dengan tidak. Wati berkata agak ragu; ‘’Bapak mau mempermainkan saya.... atau apa?’’
      Tubuh Robin tersentak ke belakang. Ia merasa tidak sedang main-main. Apakah keseriusannya tidak bisa ditangkap oleh sekretaris berpengalaman itu. Lalu kenapa ia sampai mengemukakan pernyataan semacam itu?
      ‘’Apa saya tampak sedang main-main. Ibu Wati?’’ tegas Robin merasa tersinggung.
Gantian Wati yang tersentak. Ada rasa bersalah karena keliru menilai sikap Robin. ‘’Maaf kalau saya salah menilai.’’ Wati mencoba meralat perkataannya barusan.
      ‘’Tak apa. Yang penting sekarang ceritakan kepada saya semua tentang si Dara Rinjani itu....’’
      ‘’Sungguh bapak tidak tahu, mmm.... maksud saya, Bapak tidak ingat akan si Dara sama sekali.’’
      ‘’Kalau saya tahu atau ingat, buat apa saya susah-susah bertanya kepada Ibu.’’
Untuk kesekian kalinya Wati mempermainkan napas berat. ‘’Dara Rinjani. Itu adalah nama putri bungsu bapak........’’
      ‘’Apaaaa!!!’’ murka Robin. Ia yang sekarang merasa seolah dipermainkan Wati. ‘’Bagaimana mungkin saya punya putri, kalau menikah saja belum!’’ hardik Robin tak tanggung-tanggung.
      ‘’Salah. Bapak sudah menikah dengan wanita cantik bernama Rini. Dari pernikahan bapak membuahkan empat orang penerus bangsa yang tak kalah lebih cantik dari ibunya.’’
      ‘’Ibu jangan main-main!’’
      ‘’Demi Tuhan! Bapak sudah menikah dan punya anak. Bagaimana Bapak bisa melupakan keluarga bapak sendiri! Bagaimana mungkin!’’ Wati memekik histeris.
Robin terkapar di sofa L dengan keras. Pingsan.***

Jambi, 28 Mei 2001