"Aku hanya
pembunuh
kematian"
_________
(Monas Jr)

 All about Imajination
  Sastra dalam rumah-rumah Nusantara.
|Home|About Me| Friends |Mail-me|

Monas Short Stories
(semacam napak tilas):

• Tahun 2000
- Benar-benar Gila
- Doa di Tengah Hujan
- Curanmor

Tahun 2001
- Antrian
- Cincin
- Durian

- Kubus
- Kucing Belang
- Lalat-lalat Hijau
- Mati Suri
- Negeri Apa
- Potret
- Robot
- Saling Bantu
- Sepotong Lengan
- Surat Putih
- Terbang
- Vampir

Tahun 2002
- Demo Para Monyet
- Impas
- Isteri
- Kita
- Kasihku Seorang Barbar
- Kematian Damai
- Lelaki Tak Pernah Tidur
- Stum Palalo


Tahun 2003
- Apa yang Kau Lihat
- Cermin-cermin Bicara
- Huek!

- Kristal-kristal Gula
- Para Pendusta
- Pengecut
- Sampan
- Tanpa Tanda Kutip
- Tahi Lalat
- Rindu Ikan...

Tahun 2004
- Cyberlovetika

Tahun 2005
- Termurah
- BBM

Jambi Province
- All about Jambi

Filsuf
- Beberapa nama

My Book


Termurah

Cermin: Monas Junior

"Bagaimana, sudah diputuskan?"

Wanita yang menurut mataku cantik itu berujar. Ada indikator merayu lewat mata beningnya.

Aku diam memandangi kertas ukuran polio di atas meja. Kertas bertuliskan daftar harga itu seperti menari-nari, mengajakku untuk setuju. Tapi rasanya percuma saja. Sampai detik ini aku masih bersikeras mempertahankan beberapa rupiah di kantong.

"Ada pilihan lain?"

"Ya, tentu saja."

Gadis bertubuh langsing dengan rambut bintang iklan shampo itu berbalik menuju ruang di belakangnya. Kejap berikut, ia yang berpostur proporsional mengenakan blues krem itu kembali membawa kertas perayu lain yang siap menggoda kantongku. Untuk kesekian kali.

Ia menyerahkan Si Perayu itu. Senjata andalannya meletus dan tepat bersarang di mataku. Dan, aku hampir mati oleh senyumnya jika tidak segera berpura-pura membaca daftar harga yang baru saja dibawanya.

"Bagaimana?"

Sumpah. Sampai detik sebelum suaranya keluar barusan, aku sama sekali tak memperhatikan daftar harga di tanganku ini. Senyumnya masih menancap dalam, dalam... dan sangat dalam.

"Sebentar..." jawabku.

Milimeter kali 1 kolom sama dengan sekian rupiah. Milimeter kali 2 kolom sama dengan sekian rupiah lagi. Milimeter kali 3 kolom sama dengan sekian rupiah pula. Trus dikali warna, dikali mutu halaman, dikali pajak, hasilnya... Ludahku tiba-tiba kering.

"Untuk sekali terbit?"

"Yah," tegasnya disertai senjata itu lagi.

Untunglah dering telpon mencairkan suasana tegang ini dan mencabik-cabik ruangan lobi yang mulai ramai dipenuhi calon konsumen. Gadis bintang shampo tersebut sibuk melepaskan rayuan-rayuan lewat suaranya yang, entah kenapa, membuat kelelakianku bergetar, kepada orang di dalam telpon.

Sesaat mataku bermain-main di ruang lobi gedung berlantai banyak ini. Di kursi tunggu terlihat empat lelaki berpostur tinggi kekar dengan bau eksekutif muda yang kental. Di bawah kakinya terselip masing-masing satu koper hitam lengkap dengan sepatu kulit berkilat-kilat memantulkan harga ke mukaku. Belum lagi pakaian yang mereka kenakan, aduh Tuhan, ini membuat kemiskinanku begitu terlihat. Aku malu, lalu menyarungkan mataku kembali ke kertas daftar harga tadi.

Dari ekor mata, aku juga melihat wanita-wanita karir yang cantik-cantik dan berdandan rapi itu mencuri-curi pandang ke arahku. Ingin secepatnya transaksi kuakhiri tanpa keputusan, kalau sudah emosi-emosi tak sabaran mereka menghujam ulu hatiku seperti saat ini.

"Masih lama, Pak?"

Seorang wanita berwajah tirus dengan lipstik mengkilat menegurku. Matanya demikian tak sabaran, seperti aku yang juga tak sabaran menyeruput bibir indahnya itu.

"Maaf. Sebentar lagi," jawabku pelan dengan maksud memperkuat kesabarannya.

Tanpa balasan, ia kembali ke kursi tunggu. Mendudukkan pantat, lalu mengabur dalam diam.

"Bagaimana?"

Kelenjotan sebentar aku, "I-iya... Mm baiklah."

"Pasang yang mana?" gadis perayu itu menyiapkan senjatanya.

Aku mencondongkan tubuh lebih dekat ke arahnya. Ia menarik tubuh ke belakang, lalu senjata yang kutakutkan itu tak jadi meletus. "Aku ingin yang termurah," bisikku.

Sesaat ia terdiam. Menatapku tajam. "Yang termurah hanya ini," katanya juga berbisik seraya menunjuk contoh iklan berupa baris per baris di koran dekat meja.

"Iklan baris?" protesku.

"Ya. Sekian ribu per baris, per kali terbit. Cukup murah, kan."

"Murah. Tapi tak memuaskan."

Wajahnya seperti nenek sihir sekarang. Buruk, dan menyeramkan. "Hanya itu yang termurah, Pak." Suaranya mulai menyamai halilintar.

"Iya. Ada tawaran lain?"

Nafasnya terlepas dengan berat. "Baiklah. Ini tawaran terakhir."

Ada pencerahan di sini. Senyumku tiba-tiba terlahir begitu saja mendengar harapan dari bibirnya yang tipis bergincu mengkilat itu.

"Berita."

Bagai disetrum ribuan watt listrik, aku terhenyak. "Apa?"

"Yang termurah, ya... berita," tambahnya sedikit malas-malasan.

Berita? Tuhan, sudah seserakah inikah koran-koran di negeriku. Sampai-sampai berita bisa diperjual belikan layaknya kacang goreng di toko-toko kakilima. "Jadi..." entah kata apalagi yang bisa aku keluarkan saat ini. Rasanya berat untuk seorang mantan jurnalis seperti aku menerima kenyataan ini.

"Bapak tinggal memberi data kepada kami, atau bisa langsung kontak seorang wartawan kami untuk diwawancarai," terangnya.

"Cukup!" teriakku.

Bergegas kutinggalkan ruangan ini diikuti tatapan ingin tahu orang-orang.

"Advertorial, Pak. Demikian sebutannya. Murah, kok."

Masih sempat kudengar rayuan si gadis bintang shampo itu sebelum kakiku mendarat di ambang pintu. Aku membalikkan badan dan menatapnya tajam. "Sudah! Jangan bicara lagi!" (***)

Jambi, 05 Desember 2005