Novel-Novel Ngarto Februana

Lorong Tanpa Cahaya
Diterbitkan oleh CV Media Pressindo, Yogyakarta, 1999
(Dapatkan di toko-toko buku di kota Anda, atau pesan langsung ke penerbit: CV Media Pressindo, Jalan Godean, Guyangan GP IV No. 288 Yogyakarta 55292 telepon (0274) 581223)

Sinopsis

Di sebuah kampung pelacuran, ia dilahirkan. "Rumahmu di Sarkem, tempatnya lonte, ibumu juga lonte," ejek teman-teman di sekolahnya. Berbagai konflik batin pun ia derita: bayi Yu Karti digaruk di depan matanya; ibunya berselingkuh, pun disaksikannya. Juga sikap kasar bapaknya. Dan, buto ireng yang hidup di lorong gelap itu senantiasa mengancamnya.

Lantas ia minggat, dan ketika dewasa ia kembali ke kampung mesum itu, lalu jatuh cinta pada Karti. "Salahkah jika aku mencintai perempuan yang lebih tua dariku, yang punya ikatan kenangan di masa lalu, yang akhirnya jadi pelacur itu," bisiknya. Karena cintakah jika ia menolong Karti keluar dari dunia kepelacuran dan menjadi wanita baik-baik?

Segalanya berakhir pada sebuah pertarungan. Penduduk kampung itu mesti digusur, karena di kawasan itu hendak dibangun mal terbesar di kota itu. Mereka mencoba bertahan dan melakukan perlawanan meski harus berhadapan dengan pihak perusahaan milik anak pejabat tinggi itu, juga mesti menghadapi teror dan intimidasi.

Lalu, cintanya pada Karti? Segalanya harus direlakan, seperti ia merelakan kampung cabul itu. "Selamat tinggal Sosrowijayan, anak-anakku kelak jangan sampai lahir di tempat seperti itu... sehingga tak perlu menerima ejekan: 'rumahmu di Sarkem, tempatnya lonte, ibumu juga lonte'."

 

Menolak Panggilan Pulang
Diterbitkan oleh CV Media Pressindo, Yogyakarta, Cetakan I Juli 2000
(Dapatkan di toko-toko buku di kota Anda, atau pesan langsung ke penerbit: CV Media Pressindo, Jalan Godean, Guyangan GP IV No. 288 Yogyakarta 55292 telepon (0274) 546694 

Kisah dramatis kehidupan suku Bukit di pedalaman Kalimantan: tentang kearifan dan kesetiaan terhadap nilai adat; cinta anak-anak kepala adat yang berbeda pandang dalam menyikapi kaumnya yang terasing; ambisi pribadi yang mendorong terjadinya pengkhianatan; konflik kepentingan yang tak terselesaikan. Dan, "Malapetaka itu akhirnya menghanguskan segalanya...." Tapi, cinta ingin tetap dipertahankan walau ia terusir dari tanah terasing.

Sinopsis

Anak penghulu itu kelak meneruskan tugas dan kewajiban ayahnya jika sang ayah meninggal. Tetapi, ketika 11 tahun usianya, ia terserang sakit sehingga mencemaskan seluruh warga Balai Bidukun. Ketika ia sembuh, orang dari kota membawanya ke Kandangan untuk disekolahkan.

Maka, ilmu dan nilai-nilai baru pun ia terima, nilai-nilai yang tentu berbeda dengan di Bukit, yang modern, yang tidak primitif, dan yang akhirnya meluruhkan nilai-nilai kesetiaan kepada adat tanah leluhurnya, termasuk melupaka sumpah bahwa kelak ia akan senantiasa setia dan mengabdi kepada Bidukun. Jika ia melanggar, ia bersedia menerima hukuman secara adat. Tetapi cintanya kepada putri Kepala Suku Balai Jalay, Aruni, tetap mengikatnya kepada Malinu. Sungguh batinnya penuh kontradiksi. Ketika ia lulus SMA, dan ia kembali ke Malinu--saat itu jalan tembus sudah dibangun-- ia ingin memboyong Aruni ke kota, meninggalkan Malinu yang tetap terasing. Tetapi sang gadis pujaan tak hendak lepas dari kaumnya. Ia ingin selamanya mengabdi kepada suku Bukit, untuk membebaskan dari keterasingan, keterpencilan, kebodohannya, tetapi tidak meninggalkan nilai-nilai adat suku Bukit.

Dan, demi sebuah ambisi, Utay diperalat oleh perusahaan hutan tanaman industri agar mau melobi orang-orang Bukit untuk menanam sejuta pohon sengon. "Tapi kami tak perlu sengon. Kami tak biasa menanam pohon itu, kami hanya menanam padi. Jangan paksa kami," tolak warga Malinu.

Segalanya berakhir pada sebuah pertarungan dahsyat: Utay berkeras membela PT Rimba Nusantara, tempat ia bekerja, itu semua dilakukan demi ambisi meski harus mengorbankan sukunya sendiri. Maka, semuanya berakhir pada api yang berkobar, membakar seisi desa, dan Utay melarikan diri.... Bagaimana dengan Aruni yang ternyata sudah hamil di luar nikah dan itu merupakan pelanggaran adat yang paling besar dan mesti menerima kutukan dewa dan roh leluhur?

 

Kata Pengantar
Oleh Bakdi Soemanto

Ngarto Februana lahir tiga puluh dua tahun yang lalu. Ia adalah alumni Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada (1995); sudah barang tentu ia sangat paham dengan sejumlah teori sastra yang dibawa Prof. A. Teeuw dari Eropa, dan kemudian menjadi salah satu landasan sangat berpengaruh bagi pemahaman sastra akademik, setelah dikembangkan oleh tokoh-tokoh ilmu sastra di UGM, misalnya Prof. Dr. Chamamah Suratno, Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo, Dr. Imran T. Abdullah, Dr. Faruk H.T., Dra. Sugihastuti, dan lain-lain. Namun demikian, menulis novel, cerita pendek, lakon, atau puisi, tidak ada hubungannya dengan teori-teori itu. Menulis karya kreatif erat kaitannya dengan: (1) kedalaman wawasan penulis kepada kehidupan; (2) ketelatenannya melatih diri dalam hal mengolah bahasa-kata, yang merupakan wahana ungkap utama untuk menciptakan sastra; (3) luas pergaulannya dengan berbagai lekuk-liku kehidupan; dan, (4) bakat kepengarangannya (authorship). Perkenalan saya dengan dia memberikan petunjuk bahwa Ngarto Februana adalah penulis yang memberikan kepada pembacanya suatu janji akan hasil-hasil karyanya yang kelak akan cukup menggetarkan. Karena itulah, adalah haknya untuk terus-menerus memperoleh kesempatan karyanya dipublikasikan dan ditanggapi. Ibarat pemain bulutangkis, suksesnya di arena pertandingan, antara lain, akan sangat ditentukan oleh frekuensi kesempatannya mengadu kemampuannya untuk digunakan sebagai bahan refleksi seberapa tinggi derajat kehebatan yang sudah dicapainya. Berangkat dari alasan inilah saya memberanikan diri menerima permintaan dari penulis novel ini untuk menulis kata pengantar ini.

II

Menolak Panggilan Pulang berbicara tentang kisah manusia di wilayah Loksado, di pedalaman Kalimantan Selatan. Disebut "tanah terasing" karena wilayah itu dapat dikatakan terpencil, dan jauh dari kota. Tampaknya, seperti dilukiskan dalam novel ini, penduduk di wilayah itu memeluk authoctonous religion, kepercayaan setempat, yang manifestasinya adalah penghormatan kepada roh-roh. Dikatakan pada halaman-halaman awal novel ini, "Warga Balai Bidukun panik. Setan-setan dan roh jahat bagaikan berhamburan dari lubang-lubang persembunyian. Meniupkan malapetaka. Berkeliling dan bersorak gembira. Berpesta pora minum darah korbannya yang tak berdaya, menunggu maut menjemput." Bagi saya, inilah setting tempat yang sangat penting dan menentukan untuk memahami novel ini. Setting itu, kemudian, menjadi unsur pokok pencipta suasana, yang bergerak, berkembang, secara dinamis dalam seluruh novel itu. Bahkan sekaligus menjadi semacam vision du monde, jika mau meminjam istilah Lucien Goldman, atau "pandangan dunia", yang dibentuk dan kemudian membentuk alam pikir orang-orang yang dilukiskan dalam novel itu.

Bagi saya, munculnya roh-roh yang mengamuk, memberikan indikasi bahwa wilayah ini adalah tempat yang memang sungguh-sungguh terasing, seperti diisyaratkan oleh judul novel ini, yakni dalam artian "tanah pedalaman", semacam the eart land, yang letaknya jauh dari wilayah pantai. Disebut terasing sebab walaupun ada Sungai Amandit yang menjadi jalan penghubung ke Kota Kandangan1, sebagai sarana orang-orang di desa-desa Loksado itu menjual bambu, tidak membawa akibat perubahan pada masyarakat di Desa Malinau. Ini menarik untuk dipersoalkan, dalam arti, bagaimanakah sifat kontak-kontak kebudayaan antara wilayah maju dan wilayah asli ini terjadi. Dalam novel ini, Ngarto Februana, tampaknya, tidak sempat mengeksplorasi kontak-kontak kebudayaan yang terjadi. Memang, dalam novel ini dilukiskan adanya perubahan, misalnya tanah di perbukitan yang semula lebat dan kemudian, karena penebangan pohon hutan secara besar-besaran, mengakibatkan wilayah itu berubah menjadi padang ilalang. Namun demikian, kontak kebudayaannya itu sendiri, dialog budayanya itu, tidak sempat terlukiskan. Tentu saja, ini soal pilihan. Karenanya, keterasingan Desa Malinau, yang menjadi latar tempat utama terasa tampak jelas. Pembaca bisa membayangkan, ibarat Pulau Kalimantan itu selembar taplak meja berwarna hijau atau biru polos tergelar, ada bagian-bagiannya yang basah atau bekas-bekas bagian yang basah itu, dan tampak sangat mencolok, mungkin bahkan menggetarkan. Karenanya, sebagai suatu construct pikiran, jika dipandang secara struktural, situasi keterpencilannya itu sendiri mendukung situasi keterasingan Desa Malinau itu, sehingga dari sudut setting tempat seluruh novel ini tampak utuh.

Novel ini, dimulai dari sang protagonis yang terserang penyakit. Sakit yang diderita oleh tokoh utama ini, bocah bernama Utay, tampaknya menjadi awal dari seluruh kisah, hingga novel ini berakhir.

Awal novel ini dipersiapkan dengan cukup cermat. Pertama, si bocah, Utay, terkena penyakit, yang, karena dia adalah putra pemimpin adat desa itu, menjadi perhatian seluruh penduduk setempat. Orang-orang yang berkerumun sempat sangat cemas dengan penyakit yang diderita si bocah, sebab, "Ia tidak boleh mati. Dialah pengganti ayahnya kelak" (hal. 4). Dilihat dari teori penyutradaraan, sejak awal Utay sudah disiapkan menjadi fokus. Dan, tatkala akhirnya Utay sembuh, semua orang bergembira dan mensyukuri karenanya, toh penghulu itu tetap berduka. "Malapetaka akan datang, Asuy" (hal. 9), kata penghulu itu, yang menjadikan Asuy, salah seorang penduduk desa itu, bengong, tak paham. Ucapan kepala adat ini juga sangat penting diperhatikan. Sebab, dengan ucapan itu, saya, selaku pembaca, dipaksa untuk terus menikmati novel ini sambil bercemas-cemas apa yang akan terjadi di desa itu. Ketiga, walaupun penduduk setempat masih memegang teguh adat-istiadat setempat, namun cukup merasa bangga kalau ada salah seorang anaknya yang berhasil tamat, paling sedikit, sekolah dasar. "Dia lulus sekolah dasar. Pada tahun ini dialah satu-satunya anak di desa ini yang bisa menamatkan sampai sekolah dasar." Wajah penghulu memancarkan rasa bangga terhadap anaknya (hal. 11). Namun, tatkala salah seorang tamu, yang bernama Rohaimi, mengusulkan agar Utay bisa melanjutkan sekolah ke SMP di kota, penghulu menolak gagasan itu. Mula-mula dengan alasan tidak ada uang untuk itu. Kemudian, ditegaskan bahwa, "Selain itu, Utay tak mungkin setiap hari harus pulang-balik dari Malinau ke kota." (hal. 11). Dan tatkala masalah itu, menurut Rohaimi, bisa diatur, Pak Penghulu menghindar dari pembicaraan lebih lanjut. Keempat, melalui narasinya, Ngarto Februana mengungkapkan bahwa sebenarnya "kira-kira dua puluh tahun, wajah Loksado berubah. Kehidupan suku Bukit yang tenang dan damai terusik oleh mesin-mesin gergaji yang mengamuk, membabat pohon-pohon besar. Perbukitan yang dilapisi dengan hutan belantara berubah jadi padang ilalang. Binatang hutan seperti hirangan (kera besar berbulu hitam dan berekor panjang), babi hutan, pelanduk, dan beruang menyingkir, mencari tempat yang masih aman buat kelangsungan hidupnya. Demikian pula dengan suku Bukit. Mereka menyingkir dan tergusur" (hal. 13). Dan, seperti dikatakan oleh penghulu, "Malapetaka betul-betul datang" (hal. 14).

Apa yang menarik? Barangkali karena Ngarto Februana banyak berkesempatan bergaul dengan teori-teori sastra, setidaknya, secara teknis, ia berhasil menyusun bagian awal dari novel ini sebagai exposition yang lengkap. Ini artinya, saya didorong berspekulasi, betapapun konon, kata para ahli, kreativitas sastra tidak ada hubungannya dengan teori-teori bersastra, namun, dalam hal teknis, ternyata, teori sastra mampu pula memberikan sumbangannya yang nyata. Contoh lain, bisalah pembaca mengenang tatkala pembaca menikmati sebuah novel karya Albert Camus (1964) yang berjudul L'estrager alias "Orang Asing" itu. Pembaca yang pernah menikmati, saya pikir akan sependapat dengan saya, bahwa novel itu "terlalu" sempurna, dalam arti teknis. Dan itu terjadi, mungkin, karena Camus memang suka menggeluti teori-teori sastra tatkala masih mahasiswa di fakultas filsafat. Saya tidak mengatakan novel Ngarto Februana sangat sempurna, tetapi kalau nanti pembaca menikmati sendiri, akan melihat dan kemudian merasakan bahwa apa yang diungkap di depan, merupakan semacam rumusan masalah yang akan dibahas dalam corpus novel ini. Jelasnya, eksposisi, atau yang oleh dosen-dosen IKIP sering disebut dengan istilah pemaparan, memberikan kunci seluruh persoalan yang menjadi jiwa novel ini.

Utay, anak Penghulu Bidukun, yang sakit itu, ternyata, seperti dikatakan Yun, "Aruni dan Utay berciuman! (hal. 111), akibatnya, setelah mendengar laporan itu, Kepala Penghulu bagai disambar petir (hal. 111). Perbuatan Utay dan Aruni, yang sebenarnya secara adat sudah direncanakan akan diperjodohkan, dianggap sebagai pamali, yakni terlarang atau tabu. Pelanggaran ini akan kena murka roh leluhur dan para Dewa. Bagaimana pula dengan kata orang nanti, jika kejadian ini sampai menyebar: Putri Penghulu Jalay berciuman dengan putra Penghulu Bidukun! (hal. 111). Pada titik ini, kembali Utay menjadi fokus perhatian. Namun, berbeda dari perhatian pada awal kisah, kali ini berbalikan. Jika yang pertama diperhatikan itu bersifat simpati kepada si sakit, yang kedua, perhatian bersifat kekecewaan, bahkan dianggap sebagai destruktif.

Akan tetapi, apa sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa berciuman itu terjadi di sungai. Dari dialog yang terjadi antara Utay dan Aruni, tampak bahwa Utay, sebenarnya, sudah memiliki wawasan yang berbeda. Utay ingin bekerja di PT Rimba Nusantara, di Kota Kandangan. Ia bahkan menolak permintaan gurunya, Pak Husein, untuk menjadi guru (hal. 94). "Tekadku sudah bulat," tukas Utay (hal. 94). Bahkan, tatkala Aruni mengingatkannya bahwa ia kelak harus menggantikan ayahnya sebagai penghulu, Utay menjawab, "Biar dipimpin orang lain" (hal. 94). Yang menarik, dalam benak Utay muncul pikiran sangat demokratis. "Aku tidak mau jadi penghulu, maka orang lain yang akan dipilih jadi penghulu. Seperti di Maramis. Semua orang turut memilih" (hal. 94). Tak hanya itu, Utay pun menegaskan pandangannya: "Runi, kalau kamu jadi istriku nanti, kamu tinggal di Kandangan, jika aku nanti ditempatkan di Kandangan. Atau mungkin di Rantau, bila aku ditempatkan di sana. Kamu pasti senang tinggal di kota. Ramai dan banyak hiburan. Penduduknya maju. Tidak seperti di Bukit. Primitif!" (hal. 94). Bagi Aruni, sikap Utay akibat "pengaruh orang kota! Pengaruh sekolahan!" (hal. 94). Yang dikatakan Aruni tentu saja sangat benar. Sekolah adalah agent of change. Jika demikian, yang dikhawatirkan oleh ayah si Utay memang benar. Mungkin, alasan ia tidak menyetujui bahwa melanjutkan pendidikan ke Kandangan Utay akan bolak-balik Malinau-Kandangan hanyalah ungkapan yang tercetus; ada yang lebih dalam lagi yang dicemaskan tetapi tak terkatakan, yaitu goyahnya seluruh jagad Malinau, karena terjadi pergeseran unsurnya. Bumi di Malinau akan gonjang-ganjing, langit akan kelap-kelap katon lir gincanging aris, Sungai Amandit akan kocak dan perbukitan di Desa Malinau akan manggut-manggut, dan sabarang dinulu akan moyag-mayig. Bagi penduduk setempat, peristiwa itu adalah zaman edan, sementara bagi mereka yang paham akan apa yang disebut masyarakat akan melihatnya sebagai perubahan sosial. Dan perubahan masyarakat itu, seperti sudah dikemukakan pada awal tulisan, tak lain akibat kontak-kontak dengan kebudayaan di luar lingkungan yang tidak bisa dicegah.

Dalam sebuah bukunya yang sangat penting sekaligus sangat indah, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (1985), Prof. Dr. H. Umar Kayam telah menyaksikan dan sekaligus meramalkan berbagai perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara. Adapun perubahan sosial dimaksud adalah mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen; dan yang lebih penting lagi, penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan adanya kerena orang-orang muda pergi meninggalkan tempat asalnya untuk memburu ilmu, seperti yang terjadi di Mahadumuk, di perbatasan Kalimantan dan Brunei Darussalam, di sebelah utara jauh dari Desa Malinau yang dilukiskan Ngarto Februana.

Karena itu, perubahan alam yang terjadi di Perbukitan, tatkala perusahaan penebangan membabat pohon-pohon tanpa upacara (hal. 13), adalah bagian dari gempuran-gempuran nilai dari luar yang memorak-porandakan keadaan fisik; sementara dari dalam, perubahan dipercepat melalui pergeseran wawasan. Novel ini terasa sangat menggigit karena perubahan dari dalam itu justru dipelopori oleh Utay, seorang pemuda putra penghulu sendiri. Karena itu, sebagai pembaca, saya merasakan betapa getirnya yang dirasakan Penghulu Bidukun itu. Perasaan cemas tatkala Utay sakit, seperti dilukiskan pada awal novel ini, berubah menjadi kejengkelan luar biasa, dan mungkin Penghulu Bidukun menyesal mengapa anak itu tidak mati saja kalau akhirnya justru membawa "malapetaka" bagi desa adat itu. Apalagi tatkala Utay sudah mulai bekerja di Kandangan, tatkala pulang ke Malinau, cara ia menyapa Aruni berubah sama sekali, "Hallo, sayangku!"

Sangat jelas, kata-kata seperti itu muncul akibat pengaruh kehidupan di Kandangan. Di kota, kata-kata seperti itu bukanlah hal yang aneh. Yang menarik, mungkin cara Utay mengucapkan kata-kata itu dengan tekanan yang sedikit over acting, sehingga menampakkan gejala sebagaimana orang yang baru pertama kali berkenalan dengan kebudayaan baru.

Pada titik ini, suasana kontras sangat terasa. Yang membawa kebudayaan baru bersikap over acting, yang mempertahankan kebudayaan lama bertahan keras dengan cultural resistance-nya. Bayangkan saja, jika ia kemudian datang lagi ke desanya dengan jeep Hartop hijau muda (hal. 123) bahkan secara sangat mencolok, Jeep itu berhenti di jalan tembus … (hal. 123). Maka tidaklah mengherankan jika Anak-anak berlarian mendekati jeep (hal. 123). Mereka mengagumi kendaraan modern itu. (hal. 124).

Walaupun cara Ngarto Februana bercerita sangat sederhana, using plain and simple language, kalau menurut istilah Dr. Djuhertati Imam Muhni, M.A., namun, bahasa biasa-biasa itu, dalam pengalaman pembacaan, sangat engaging, memikat, setidaknya bagi saya. Sebab, apa yang dikemukakan Ngarto Februana, menurut istilah Edmund Sihui-Maho, seorang kritikus sastra asal Hong Kong, hal seperti itu, hingga kini masih terjadi. Di pabrik-pabrik gula, orang masih menyelenggarakan upacara yang disebut dengan istilah cembengan, pada saat mengawali giling. Upacara itu, walaupun banyak ragamnya, intinya memuliakan mesin-mesin giling itu, agar pada saat giling nanti tidak macet. Orang-orang masih berpendapat bahwa mesin-mesin itu dijaga oleh roh-roh, yang apabila roh-roh itu marah, mesin bisa mendadak tidak mau bekerja. Para mekanik mengatakan mesin itu rusak. Tapi bagi para pekerja dan mungkin juga pimpinan pabrik, mesin itu terkena gangguan. Untuk menghindarinya, diperlukan sesaji. Pengalaman saya melakukan penelitian petani tebu di wilayah Jepara dan Jawa Timur menunjukkan kenyataan itu. Ini memberikan isyarat bahwa dalam menghadapi teknologi maju, terkadang, dalam banyak hal, kita masih sangat gamang. Salah satu sumber sebabnya, kita tidak dipersiapkan untuk banyak bertanya dan mempertanyakan fenomena yang ada, tetapi dididik menerima begitu saja tanpa mempersoalkannya. Karena itu, betapapun dahsyatnya teknologi maju itu, kehadirannya sering tidak membawa perubahan wawasan; kita tak menjadi lebih kritis, tetapi sebaliknya justru memasukkan jagad teknologi itu ke dalam wilayah alam pikir kita yang mistis. Maka, teknologi itu ditangkapnya sebagai wonders of the world, sesuatu yang mengagumkan, dan diterima sebagai bagian dari keajaiban magis, tetapi bukan sebagai prestasi yang dicapai manusia lewat peradaban. Tidaklah mengherankan jika Mereka seakan melihat Utay seperti anak dewa. Gagah dan tampan (hal. 124).

Dalam pembicaraan antara Penghulu dan Utay, sebenarnya adegan dialog antara ayah dan anak, yang terjadi adalah pertentangan pendapat. Pertentangan itu bukan sekadar masalah setuju dan tidak setuju, tetapi berangkat dari wawasan yang berbeda. Utay dan tiga orang temannya ingin menanam sengon, akasia, sungkai; sementara Penghulu menghendaki agar tanah ditanami padi dan cabai. Persoalannya bagi Utay bahwa sengon, secara ekonomi, mendatangkan laba banyak: "Tapi, Bah, ini menguntungkan kita". (hal. 126). Pengertian menguntungkan bagi Utay sangat berbeda dari yang dipahami Penghulu.

Bagi Utay, pengertian "menguntungkan" berarti kesejahteraan secukupnya yang berdimensi kosmologis. Karenanya, begitu mendengar bujukan Utay, Penghulu marah. "Diam! Seharusnya ikam berpihak pada Malinau (hal. 127). Tampaklah di sini bahwa datangnya teknologi maju tidak hanya menimbulkan masalah skill atau keterampilan menguasainya, tetapi juga wawasan "kefilsafatan" yang menjadi roh di belakangnya.

Apa yang tampak? Bagi saya, teknologi dan wawasan kota telah membawa Utay pada sikap demitologik terhadap lingkungan lamanya. Memang, seperti dilukiskan oleh Inkeles (1970), dalam bukunya yang terkenal, Becoming Modern, teknologi maju yang datang dari kebudayaan Barat, membebaskan manusia dari kungkungan legenda dan mitologi. Itulah sebabnya orang mengatakan, pendidikan membebaskan manusia dari alam pikir mistis. Akan tetapi yang perlu dipersoalkan, aspek manakah dari teknologi maju yang mampu membebaskan manusia dari padangan takhayul itu? Teknologinya sendiri yang berarti kemampuan skill, keterampilan, atau wawasan kefilsafatannya yang berlandaskan sikap senantiasa bertanya?

Hal yang menarik pula dalam novel ini, sebenarnya pergulatan antara adat pada satu pihak dan dorongan alamiah manusia pada pihak lain. Tatkala Utay mulai berkenalan dengan kehidupan kota, sebenarnya, umurnya sudah cukup dewasa. Ia mulai diganggu oleh dorongan-dorongan dari dalam, berdekapan, berciuman, meremas-remas buah dada, dan tindakan-tindakan lanjutan, yang intinya bersumber pada kebutuhan untuk menyatakan diri sebagai makhluk laki-laki di ambang dewasa. Tetapi, apabila dorongan itu dilaksanakan yang terjadi adalah pamali , yakni perbuatan tabu. Pandangan tentang yang tabu dan tidak ini mulai luntur pula pada Utay, sebelum ia pergi ke Kandangan untuk bekerja di PT Rimba Nusantara.

"Jangan! Jangan!" pekik Aruni. "Aku takut pada Dewa dan roh nenek moyang!"

Utay berhasil mencium bibir Aruni. Kali ini Aruni tidak menangis lagi. (hal 96).

Kutipan ini sangat menarik diperhatikan. Pertama, Utay yang sudah berkenalan dengan kebudayaan kota mulai cuek dengan soal tabu dan tidak tabu. Namun, sebenarnya, masalahnya ada yang lebih dalam lagi. Ketiadaan pertimbangan akan hukum adat, naluri alamiahnya semakin menggelora. Ini artinya, hukum adat berhadapan dengan hal-hal yang sifatnya naluri manusia. Kedua, Aruni yang semula menangis, setelah dicium, dikatakan tidak menangis lagi (hal 96). Tampaknya, pergulatan antara hukum-adat atau larangan agama dengan dorongan alamiah manusiawi ini universial adanya. Dalam tradisi sastra Inggris, orang bisa membaca sebuah novel karya D.H. Lawrence (1967) yang berjudul Lady Chaterley's Lover ; tradisi sastra Prancis menghadirkan karya Gustav Flaubert (1975) Madame Bovary ; tradisi sastra Amerika melahirkan sebuah novel karya Nathaniel Hawthorn (1960) berjudul Scarlet Letter ; tradisi sastra Rusia menyajikan sebuah novel raksasa karya Leo Tolstoy (1961) berjudul Anna Karenina. Novel-novel kelas dunia itu melukiskan pergulatan antara larangan adat plus larangan yang termaktup pada ajaran agama dengan dorongan almiah manusia. Sikap menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang itu, dalam novel-novel tersebut, selalu menampakkan bias antara dimensi moral-religius dan dimensi moral-kelas sosial. Dengan menggunakan alasan bahwa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel dimaksud adalah melanggar moral agama, sebenarnya, tersirat juga nuansa mempertahankan kemurnian kelas sosial, agar tetap terpandang sebagai kelompok masyarakat terhormat. Nuansa demikian juga tampak pada novel Ngarto Februana. Tindakan berciuman di sungai (hal 96) dan bahkan akhirnya, Di sana, ia melepaskan rok yang dikenakan Aruni. Gadis itu terbaring pasrah. Bahkan ketika Utay menindihnya (hal. 131) adalah tindakan terkutuk oleh adat, yang akan dapat menimbulkan amarah para Dewa, dan sekaligus akan meruntuhkan kedudukan derajat dan kehormatan orang tua mereka sebagai penghulu.

Ini artinya, rontoknya Desa Malinau sebagai wilayah kesatuan kosmologis didorong dari dua arah. Pertama, arah fisik, dengan datangnya teknologi dan wawasan ekonomi; dan kedua, dari dalam sendiri, karena gempuran alamiah manusiawi.

III

Bagi saya, novel ini menarik sekali. Pertama, novel sangat sarat dengan warna lokal, yang mirip satu laporan penelitian antropologis, dengan alamat pengamatan etnografi. Dengan membaca novel ini, kita banyak belajar tentang suatu suku yang sebelumnya tidak pernah kita kenal. Mungkin, jika situasi di desa itu ditulis oleh seorang peneliti, hasilnya tidak menarik bagi orang awam seperti saya. Tetapi dengan ditulis dan disajikan dalam bentuk novel, yang dijalin dengan kisah percintaan adat dalam suatu perspektif perubahan sosial, pelukisan antropologis dalam novel ini lebih mudah dicerna. Kedua, novel ini ditulis dengan teknik bercerita yang cermat; ada kesadaran menyusun suatu construct yang utuh, sehingga yang terlukis di awal novel ini merupakan pemaparan masalah pokok yang berkembang pada penceritaan berikutnya. Ketiga, melalui novel ini, seperti halnya novel berjudul Bekisar Merah karya Ahmad Tohari (1993) maupun sebuah novel berjudul The Last of the Mohican karya James Flenimore Cooper (1947) menampakkan bahwa datangnya teknologi maju di satu wilayah "tertutup" tanpa persiapan mental dan intelektual penduduk setempat akan membawa kehancuran desa itu. Keempat, dalam novel ini, untuk kesekian kalinya, seperti telah dilukiskan oleh banyak karya sastra, senantiasa pergulatan antara dorongan alamiah manusiawi dengan hukum adat dan moral religius terus terulang sepanjang sejarah manusia, di mana pun dan kapan pun. Kelima, menurut pengakuan Ngarto Februana sendiri, novel ini ditulis atas dasar pengamatannya langsung pada wilayah ini, tatkala ia mendapat kesempatan tinggal di desa ini selama beberapa bulan dalam rangka KKN, Kuliah Kerja Nyata, pada tahun 1993. Dengan Kuliah Kerja Nyata yang singkat itu, tampaknya, Ngarto Februana memanfaatkan kesempatan itu dengan masuk dan berkuliah di universitas kehidupan. Ia, tidak seperti mahasiswa-mahasiswi lain, yang biasanya dalam KKN memberi pelajaran, kursus, atau melatih keterampilan penduduk setempat, Ngarto Februana justru belajar. Dia, saya bayangkan, di Desa Malinau, mendengarkan para "mahaguru" memberi kuliah kepadanya tentang arti pergulatan dalam hidup. Para mahaguru itu mungkin justru orang-orang di desa setempat yang pendidikannya paling tinggi sekolah dasar, bahkan mereka yang belum sempat belajar membaca. Ia juga berkuliah dengan mendengarkan kebijakan-kebijakan hidup yang diberikan lewat suara angin yang menggoyangkan daun-daun; aum binatang-binatang buas, dan gunung-gunung. Ngarto Februana mencatatnya pada kertas jiwanya, dengan pena yang digerakkan oleh "tangan-roh"nya, setelah ditangkap dengan mata dan telinga-hatinya. Karena itu, walaupun di sana-sini novel ini masih menampakkan kelemahan, karya ini merupakan teladan bagi mahasiswa-mahasiswi yang akan berangkat KKN, dari jurusan atau fakultas apa pun dia.

Lalu, bagaimana akhir cerita novel ini? Kiranya kurang etis jika saya sajikan di sini. Terus terang, tugas saya hanya memancing keinginan pembaca untuk berkonfrontasi sendiri dengan novel ini, di suatu malam panjang, dalam kamar, sambil merenung-renung.

Nah, selamat membaca.

Daftar Bacaan
Camus, Albert (1964)., L'estranger, Librairie Larousse 17, rua du Montparnasse, 75298 Paris.
Coopers, James Fenimore, 1947., The Last of the Mohicans, Chales Scribner's Sons, New York.
Flaubert, Gustave, 1975., Madame Bovary, Signet Classic, Penguin Book, USA.
Hawthorn, Nathaniel, 1960., Scarlett Letter, Signet Classic, Penguin Book, USA.
Inkeles, 1970., Becoming Modern, Vintage Book, New York.
Kayam, Umar, 1985., Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, PT Gramedia Jakarta.
Lawrence, DH, 1975., Lady Chaterley's Lover, S Signet Classic, Penguin Book, USA.
Tohari, Ahmad, 1993., Bekisar Merah, PT Gramedia Buku Utama, Jakarta.
Tolstoy, Leo, 1961., Anna Karenina, Classic-Batam., Incop., New York.

kembali ke halaman sebelumnya