KOMPAS, Jumat, 21 Mei 2004
Damai Tak Tergoyahkan di Wayame
KANES Amanupunnjo (34) masih menjadi ketua pemuda di desanya saat konflik
meletus di Kota Ambon, 19 Januari 1999. Konflik komunal itu dipicu perkara sepele,
perkelahian antara seorang sopir dan pemuda di Batu Merah.
TIBA-tiba saja perkelahian itu berubah menjadi konflik yang meluas antara komunitas
Muslim dan Kristen di Ambon. Hari itu juga korban tewas mulai berjatuhan,
rumah-rumah dibakar, bendera merah dan putih dikibarkan secara terpisah. Dari Kota
Ambon sore itu konflik meluas ke hampir seluruh wilayah di Pulau Ambon dan
merembet ke seluruh wilayah Maluku.
Situasi genting itu direspons dengan cepat oleh Kanes dan para pemuda di Desa
Wayame. Desa itu terletak di kilometer delapan jalan raya yang menghubungkan
Bandar Udara Pattimura menuju Kota Ambon. Malam setelah kerusuhan meletus di
Ambon, Kanes dan para pemuda mengumpulkan seluruh warga di Wayame, baik
yang Muslim maupun Kristen. Raja dan tokoh-tokoh agama didatangkan. Malam itu
juga mereka sepakat untuk saling melindungi dan tidak saling menyerang. Konflik di
Pulau Ambon tidak boleh dibawa masuk ke Wayame.
Kesepakatan itu diperkuat sumpah tokoh Muslim, Abdurachman Marasabessy, yang
diucapkan di Gereja Wayame. Di pihak Kristen, Pendeta John Sahalessy
mengucapkan janji di masjid. "Saya menyatakan sikap dan bersumpah di atas
mimbar gereja. Tidak ada manfaat saling membunuh. Lebih baik saling memaafkan
daripada terjadi pertumpahan darah dan hidup saling terpisah," kata Abdurachman
Marasabessy.
Desa Wayame merupakan sebuah keajaiban di Maluku. Sejak konflik meletus di
Ambon pada 19 Januari 1999 sampai kerusuhan yang dipicu aksi pengibaran bendera
Republik Maluku Selatan (RMS) 25 April 2004, gelombang kekerasan dan konflik
tidak pernah menjamah Wayame. Warga Muslim dan Kristen di desa ini tetap bisa
hidup berdampingan meski api konflik berkobar di hampir seluruh pelosok di Ambon.
Bahkan, pada saat konflik berkobar dengan sengit di seluruh penjuru Maluku,
Wayame tetap tak tersentuh. Pernah sebuah bom yang diletakkan di pintu rumah
seorang warga meledak. Peristiwa itu segera ditangani dan tidak melebar ke
mana-mana.
DALAM kondisi normal, desa ini selalu dilewati mereka yang mendarat di Bandar
Udara Pattimura di Desa Laha dan melanjutkan perjalanan menuju Kota Ambon. Dari
Bandar Udara Pattimura hanya dibutuhkan waktu 15 menit dengan kendaraan
bermotor. Kala keadaan tidak normal, dari Ambon desa itu hanya bisa dijangkau
dengan perahu cepat. Bagi warga Kristen, mereka harus bertolak dari pangkalan
perahu cepat di Benteng atau Tapal Kuda. Bagi warga Muslim, mereka harus bertolak
dari pangkalan perahu cepat di Batu Merah atau Pasar Lama.
Wayame hampir-hampir tak berbeda dengan desa-desa lain di Pulau Ambon. Daerah
itu merupakan desa pelabuhan yang berbukit, dengan luas 33.158 meter persegi dan
dihuni sekitar 3.100 jiwa. Di desa induk, di pinggir pantai terdapat kampung Muslim
dan Kristen. Di gunung terdapat dua dusun yang telah puluhan tahun lalu dibuka
warga yang berasal dari Sulawesi Selatan. Dua dusun itu merupakan pemasok utama
sayur-mayur untuk penduduk Kota Ambon.
Desa Wayame memang dipergunakan sebagai kilang pasokan minyak Pertamina.
Desa itu juga menjadi Markas Kompi C Batalyon Infanteri 733 Masariku. Namun, itu
bukan alasan utama mengapa Wayame tak pernah tersentuh konflik. Di Maluku,
kantor-kantor pemerintah, sekolah, pasar, pos-pos aparat, sampai gudang senjata
tidak terlepas dari sasaran kemarahan.
"Kami bersikap keras. Persoalan di luar wilayah Wayame tidak boleh dibawa masuk
ke Wayame," kata Kanes.
Aturan yang berlaku di Wayame sangat keras. Setiap orang yang datang ke desa itu
harus tunduk pada aturan mereka. Bagaimanapun, Wayame berada di tengah wilayah
konflik. Karena itu, warga desa diberi tahu, apabila mereka pergi ke luar desa, risiko
harus mereka tanggung sendiri. Saat bepergian ke luar desa, mereka diminta
mengambil jalur "aman". Warga Muslim dianjurkan melalui jalur Muslim, warga
Kristen melalui jalur Kristen.
Begitulah kenyataan di Ambon. Apabila ada warga desa itu yang menjadi korban di
luar desa, tidak boleh persoalan dibawa ke desa. Apalagi jika ada warga yang ikut
berperang. Ia tidak disambut sebagai pahlawan. Jika tewas, mayatnya tidak boleh
dibawa pulang dan dikubur di desa. "Dalam kerusuhan 25 April kemarin ada yang
hilang di Kota Jawa, tapi orangtua korban juga tidak bikin persoalan," kata Kanes.
DAMAI di Wayame bukanlah hanya kesepakatan di atas kertas, tapi juga kerja keras.
Pada saat-saat genting, warga berkumpul bisa sampai empat kali dalam satu minggu.
Tempat pertemuan pun bergantian. Di balai desa, masjid, atau gereja. Pertemuan itu
sekaligus menjadi tempat bagi kedua komunitas untuk belajar bagaimana
menghormati tempat ibadah dan simbol-simbol yang disucikan oleh agama lain.
Pertemuan itu pun bukan sekadar basa-basi, tetapi justru untuk membahas situasi
yang terjadi dan mengklarifikasi isu yang silih berganti bertiup.
Pertemuan-pertemuan itu lalu dilembagakan. Dibentuklah Tim Dua Puluh, yang terdiri
atas 10 wakil warga Muslim dan 10 wakil warga Kristen. Mereka yang dipercaya
untuk mengklarifikasi isu yang beredar di masyarakat sekaligus menyelesaikan
persoalan yang muncul dalam hubungan antarkomunitas. Bila ada isu akan ada
penyerangan warga dari desa lain, 10 wakil warga dari komunitas agama yang sama
bertugas melakukan pengecekan. Bila isu bohong, dilacak sumbernya. Bila ternyata
sumbernya warga di desa itu, ia akan diberi peringatan keras. Sekali lagi berbuat
serupa bisa-bisa ia kena bogem atau babak-belur oleh warga seagama atau malah ia
diusir dari desa.
Laskar Jihad pernah membuat markas di Wayame. Baik komunitas Muslim maupun
Kristen di desa itu bisa menerima karena para anggota laskar mau mengikuti aturan
yang ada di situ. Lagi pula, pos Laskar Jihad di desa itu lebih diarahkan pada
kerja-kerja sosial.
"Kami tak tergantung pada posko di Masjid Al Fatah maupun Gereja Maranatha.
Semua informasi dari sana difilter di sini," kata Marasabessy.
Wayame juga tidak mengizinkan kelompok-kelompok yang akan melakukan
penyerangan melalui desa itu.
Tokoh-tokoh Desa Wayame pernah mencoba menularkan keberhasilan desa itu ke
desa-desa tetangga, tetapi tidak berhasil. Mereka pernah melakukan pendekatan ke
Desa Hative Besar yang mayoritas penduduknya Kristen. Mereka menyarankan agar
dua dusun Muslim di desa itu jangan disentuh sedikit pun. Namun, desa itu gagal
melindungi dua dusun tersebut sehingga kemudian balik menjadi sasaran
penyerangan. Di Desa Poka- Rumah Tiga, tokoh-tokoh Desa Wayame juga
mengadakan pendekatan. Namun belum sempat ada kesepakatan, desa itu keburu
diserang.
Institusi adat di Wayame masih berjalan erat. Raja memiliki peran yang penting
dalam masyarakat. Ia diangkat menjadi kepala desa. Raja Wayame DA Hunihua yang
beragama Kristen memiliki hubungan persaudaraan dengan Raja Hitu dan Waka yang
beragama Islam. Ikatan tradisional itu menjadi salah satu faktor yang mendukung
perdamaian di Wayame.
Namun, menurut sosiolog, Tonny Parela, institusi adat dalam konteks masyarakat
adat memang merupakan katup keamanan. Akan tetapi, dalam masyarakat
multikultural dan multietnik, peran itu bisa berjalan atau sebaliknya. Di Wayame,
institusi adat diperkuat dengan keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat melalui Tim 20
dan pertemuan-pertemuan warga.
"Sebagai manusia, masyarakat Wayame punya naluri yang menginginkan keamanan
dan kedamaian. Tinggal ada atau tidak kelompok orang atau institusi yang mau
bekerja untuk mengelola kebutuhan itu," kata Parela. (P Bambang Wisudo)
Copyright © 2002 PT. Kompas Cyber Media
|