Media Indonesia, Selasa, 27 April 2004
BERITA UTAMA
EDITORIAL: Bom Waktu di Ambon
AMBON, ternyata, tetap menjadi hotspot yang setiap waktu bisa meledak menjadi
arena pembantaian. Baik pembantaian horizontal maupun vertikal. Pembantaian
horizontal terjadi antara sesama warga, sedangkan pembantaian vertikal dilakukan
oleh aparat.
Dua jenis pembantaian ini merasuki Ambon di awal tahun 2000. Begitu intensnya
sampai-sampai kita tidak bisa membedakan lagi mana yang horizontal dan mana
yang vertikal. Semuanya memperoleh pembenaran dengan sebuah kata, kerusuhan.
Ambon yang sempat lama sepi dari kerusuhan, tiba-tiba berkecamuk lagi. Kali ini,
Minggu 25 April, dipicu oleh pawai anggota Front Kedaulatan Maluku, organisasi yang
masih mengimpikan pembentukan Republik Maluku Selatan. Organisasi yang
jelas-jelas dilarang karena memperjuangkan negara yang terpisah dari Republik
Indonesia.
Pawai yang dilakukan untuk memperingati HUT ke-54 RMS, itu mengundang
kemarahan warga yang cinta NKRI. Warga kesal mengapa pawai dari organisasi
terlarang seperti itu masih dibiarkan oleh polisi.
Bentrok pun tidak terhindarkan lagi. Dalam huru-hara seperti itu sulit membedakan
pembantaian sesama warga atau pembantaian terhadap warga oleh aparat. Yang
jelas 23 orang tewas, puluhan luka-luka, dan puluhan lagi gedung dan bangunan
dibakar massa.
Ambon kembali memperlihatkan tabiat kerusuhan. Ada pembunuhan, ada
penembakan, dan ada pembumihangusan.
Mengapa kedamaian yang sempat bersemi di Ambon, berantakan lagi? Jawabnya
banyak sekali. Akan tetapi, satu hal pasti bahwa Ambon yang berhenti dari
kerusuhan, bukanlah Ambon yang puas karena ada penyelesaian. Orang-orang di
Ambon hanya sempat bosan untuk saling membantai, tetapi mereka sebenarnya
tidak memperoleh solusi atas masalahnya secara tuntas.
Gedung, rumah, dan fasilitas yang dibakar lima tahun yang lalu, sampai sekarang
tidak tersentuh perbaikan. Hak tanah dan rumah serta harta milik mereka yang lari
dari Ambon, hingga saat ini tetap bermasalah. Perjanjian Malino I hanya berhasil
dalam satu hal, yaitu mengimbau masyarakat Ambon dan Maluku pada umumnya
untuk menghentikan dendam dan dengki.
Ambon, tidak berlebihan, bila dikatakan sebagai kota yang punah. Punah akibat
kekejaman horizontal maupun vertikal. Tetapi, yang terjadi adalah pemerintah
membiarkan puing-puing menjadi dokumen yang bisa disaksikan selama mungkin.
Seyogianya, sebagai kota yang punah, Ambon harus dibangun kembali dengan
komitmen luar biasa dari Jakarta. Baik komitmen moral maupun komitmen anggaran.
Komitmen moral diperlihatkan oleh aparat, baik polisi maupun tentara, yang
sungguh-sungguh berpihak pada keadilan. Komitmen anggaran diperlihatkan melalui
alokasi dana untuk rehabilitasi sarana dan prasarana umum. Sedangkan komitmen
kemanusiaan adalah mengembalikan hak dan kewajiban warga secara adil.
Tanpa menyentuh persoalan-persoalan ini secara serius dan konsisten, Ambon
adalah bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan membumihanguskan apa saja,
termasuk keadilan dan ketenteraman.
Pemerintah perlu memperlihatkan komitmen sungguh-sungguh untuk menyelesaikan
masalah Ambon secara tuntas.
Copyright © 2003 Media Indonesia. All rights reserved.
|