Radio Nederland Wereldomroep, Rabu 31 Maret 2004 23:30 WIB
Kekerasan Sengaja Dilestarikan di Poso
Poso dan sekitarnya pekan belakangan kembali dilanda kekerasan. Seorang dekan
fakultas hukum Unsimar mengalami luka berat dan seorang pendeta tewas, akibat
ditembak pengendara motor tak dikenal. Sebelum itu masyarakat di daerah tersebut
juga menemukan mayat di kebun dengan luka tembak pada dada. Polisi yang
berusaha melakukan penangkapan malah menghadapi aksi massa yang kian
memanas. Wilayah konflik di Sulawesi Tengah ini juga dicekam penemuan bom di
berbagai tempat. Padahal menjelang pemilu, pemerintah di Jakarta telah
menempatkan 4000 polisi dan tentara di Kabupaten Poso. Anto Sangaji, koordinator
Yayasan Tanah Merdeka di Palu, menceritakan mengapa sulit mencapai perdamaian
sejati di wilayah yang sempat dikecamuk konflik Islam-Kristen tersebut.
Anto Sangaji[AS]: Penembakan sendiri dilakukan orang yang oleh polisi sendiri
disebut sebagai penembak misterius. Modusnya juga sama ya. Menembak korban
dengan menggunkan sepeda motor.
Radio Nederland[RN]: Kalau bicara soal penembakan dari sepeda motor, ini
nampaknya harus orang yang ahli?
AS: Pasti orang yang ahli. Dan anda bisa bayangkan di Poso Kota, di Unsimar, itu
kan di tengah-tengah kota serta penembakannya dilakukan di siang hari. Apalgi
Unsimar itu kurang lebih 2 Km dari kantor Polisi Resor Poso. Dan sementara
peristiwa yang terjadi di desa Tumora itu memang jauh di luar kota, ke arah Palu.
Aku pertama sejak dulu selalu bilang! Yang terlatih kan cuma dua saja di Poso ini.
Tentara atau polisi, dan yang kedua milisi-milisi. Jadi kalau bicara terlatih paling tidak
fokus perhatian kita paling tidak memang harus diarahkan kedua pihak itu. Milisi,
misalnya seperti Laskar Jihad, kan sudah kembali pulang ke Jawa. Tetapi di
sana(Poso,red) masih banyak juga senjata beredar di tangan-tangan penduduk sipil.
Boleh jadi ini bisa juga dilakukan oleh penduduk sipil yang memendam rasa dendam
segala macam itu.
Tapi di pihak lain, boleh jadi ini dilakukan oleh bukan penduduk sipil. Tapi
kepentingannya untuk mempertahankan atau melestarikan kekerasan di Poso ini.
RN: Nah, kalau begitu ceritanya, mudah saja. Tinggal dua itu kan. Memeriksa
milisi-milisi itu dan polisi-tentara, begitu. Tapi kenapa macet terus?
AS: Nah itu dia! Padahal kalau melihat pengamanan di Poso yang berlapis-lapis,
terutama menjelang pemilu, kan diterjunkan pasukan cukup banyak sekitar 4000
orang. Dan dengan jumlah pasukan begitu banyak, toch, muncul kekerasan seperti
ini. Usaha untuk memprovokasi aksi kekerasan antar komunitas ini juga kan terjadi
dalam satu dua bulan terakhir di sekitar Palu. Tapi kelihatannya tidak berhasil. Poso
malah lagi dikocok-kocok ulang seperti ini.
Internasional juga sudah melirik Poso sebagai salah satu ladang pelatihan teroris.
Apakah ada kemungkinan kelompok teroris ini, artinya kelompok Jemaah Islamiyah,
begitu?
Kalau aku melihat kaitannya dengan kelompok Jemaah Islamiyah itu agak sedikit
rumit. Tapi kalau itu terkait dengan milisi-milisi sipil setempat, itu boleh jadi. Tapi
kalau kait mengaitnya dengan situasi yang terjadi secara global seperti peristiwa
Madrid dan segala macam, mungkin terlalu simplistis begitu.
Terus yang lainnya adalah, kita harus melirik TNI dan POLRI, yang menurutku secara
institusi memang harus bertanggung jawab atas berlarutnya kekerasan di Poso ini.
Problemnya adalah polisi dan tentara harus bisa mengungkap mata rantai penyebaran
senjata. Kalau sumber penyebaran senjata kan sudah jelas. Diselundupkan dari luar
dan satu, sumbernya bisa dilacak dari TNI dan POLRI sendiri kan, karena di Poso
banyak beredar senjata dan amunisi buatan PT. PINDAD, milik angkatan darat itu.
Jadi kalau mau sungguh-sungguh: jaga perbatasan, terus yang kedua: jaga di PT.
PINDAD! kan begitu saja, simpel!
RN: Ada satu hal begini: kalau dulu masalah bom Bali, polisi cepat sekali dalam
hitungan satu bulan saudah terlacak dengan mudahnya bahan peledak dan lain
sebagainya, bahkan diketahui dibuatnya di mana. Ini yang unik, Poso kan terbuka.
Pelurunya sudah ketahuan buatan mana. Kenapa lama sekali dan sepertinya
membentur tembok. Dugaan anda temboknya ini apa?
AS: Kalau menurutku temboknya ini ada di internal TNI dan POLRI sendiri. Aku selalu
bilang: ini memang kesannya diskriminatif. Mengapa? apa karena bom Bali itu yang
menjadi korban orang-orang kulit putih? Nah terus kemudian, apa karena yang mati di
Poso orang-orang kulit coklat seperti kita? dan itu tidak menjadi prioritas dalam
penanganan!
Sekali lagi ini soal diskriminasi di satu pihak, dan di pihak lain, Poso ini memang
menjadi ajang untuk membiarkan ini sebagai salah satu daerah yang hot spotlah di
Indonesia, dipelihara selalu kekerasan ini, dibiarkan selalu terjadi dan pihak lain bisa
menarik keuntungan dari situasi seperti itu.
Pihak lain itu di lingkungan TNI dan POLRI sendiri. Mereka berkepentingan dengan
berlanjutnya kekerasan seperti sekarang ini. Terlestarinya kekerasan kan
memberikan keuntungan secara politik.
RN: Ya, apalagi menjelang pemilu. Bisa jadi tawar menawar politik, ya?
AS: Betul!
Demikian Anto Sangaji, dari Yayasan Tanah Merdeka di Palu, Sulawesi Tengah.
© Hak cipta 2001 Radio Nederland Wereldomroep
|