Oleh :
Budi Tunggal Rahayu
Suara. Suara siapakah yang
menerjang-nerjang udara
mengalahkan matahariDua-puluh mei, lonceng kebangkitan
kembali berdentangan
dan suara-suara itu menggempur
tembok rezim orde baru
mulut, mulut membuka katup bibir
berteriak lantang mengguncang tanah pertiwi: REFORMASI
dan lagu-lagu perjuangan pun
dikibarkan seiiring darah juang
di depan barisan spanduk dibentangkan: RAKYAT BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN
Suara-suara siapakah yang menderit cemas
di antara gerbong-gerbong tua kelas ekonomi
yang sepanjang puluhan tahun ditikam
deru kereta penindasan
dipaksa setia menyusuri rel-rel hitam keangkuhan
sementara rintih ngilu - lengking perih rakyat
tak pernah sampai ke telinga dewan perwakilan
hingga suara-suara itu serak digagukan waktuZaman berputar
roda kesewenangan dihentikan mahasiswa
dengan darah dan airmata
dan suara-suara sakit itu menghambur dari belukar jiwa
berdesing-desing menyerang dari segala arah
menyergap dengan sempurna
melempar pejabat-pejabat korup
mencincang-cincang aturan dan membongkar tiraniSuara-suara siapakah yang terdengar makin pedih
bergerombol bagai prahara memecah gelombang massa
meretas-retas rantai ketakadilan
yang membumi di setiap sudut hati penguasa
mestinya pejabat-pejabat negara itu dengan dan celikkan mata
agar tidak buta terhadap luka bangsa sendiriSesungguhnya suara-suara yang ditohok duri kapaitalisme
adalah suara Tuhan
yang telah lama disepuh peradaban sekarat
diperdengarkan lewat tenggorok-tenggorok keringRAKYAT
Semarang, Mei 1998
Republika, 6 September 1998