Oleh
:
Edy
A. Effendy
21 Januari 1998, saat beduk Isa tiba, ayahku terbaring di kamar tidur.
Lampu padam.
Atap kamar menangis, mega runtuh melepaskan bebannya ke sudut tembok yang kusam.
Air hujan ngalir ke penjuru kamar.
Ibuku mengaji berkali-kali, sambil mengusap air mata yang jatuh satu per satu di ujung sajadah.
Ia basah kuyup; dari tubuhnya mengalir deras air mata yang tersimpan tahun lalu.
Di antara kegelapan dan rintik hujan itu, ayahku memasuki atap-atap langit.Bersama Nietzsche, aku bawa usungan jenazah ayah melewati alun-alun kota.
Sambil membakar poster-poster tuhan yang berserakan di pinggiran jalan.
Orang-orang ramai mengusung jenazah tubuhnya sendiri, memasuki laut yang
tak lagi dipenuhi gelombang.Di antara rintik hujan, aku tanam jenazah ayah di dalam masjid.
Masjid dan gereja hanyalah makam-makam dan nisan-nisan bagi tuhan.
Aku ingin ayah menari dan membaca bersama tuhan di atas mimbar;
mengenang arwah Coleridge, penyair romantik itu, sambil membuka lembaran kisah-kisah lama :
bermimpi pergi ke surga, memetik sekuntum bunga yang aneh dan indah.
Dan, tiba- tiba bunga itu ada di lenganmu, tumbuh menjadi rawa- rawa.
dunia memang dibangun dari mimpi-mimpimu yang parau.
Maret 1998
dari :
SIRKUIT: Sajak-sajak Edy A. Effendi
Republika, 22 Mar 1998Pengirim : Yono Wardito
Mailing List Gedong Puisi