TENTANG
SEORANG YANG TERBUNUH DI SEKITAR HARI PEMILIHAN UMUM
Oleh
:
Goenawan
Mohamad
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku”
Seperti
jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya
di tepi
pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi.
Tapi
bau sing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan.
Dan
kemudian mereka pun berdatangan - senter, suluh dan
kunang-kunang
- tapi tak seorang pun mengenalnya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu”
Di bawah
petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih.
Bayang-bayang
bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik.
Orang
ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak
bertandagambar.
Ia tak ada yang menagisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan
agamanya ?
“Juru peta yang Agung, dimanakah tanah airku ?”
Lusa
kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman
pertama.
Ada seorang menangis entah mengapa. Ada seorang
yang
tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih
dan
membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin
kemudian.
Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua
bertopang
pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat,
sementara
bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan
yang
gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikan suara-Mu, kepadaku”
Horison, September 1971, Thn VI.
Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air