lkatan pantun terjadi dari empat baris yang bersajak bersilih dua-dua :
a b a b. Kadang-kadang ada juga ikatan pantun yang terjadi dari enam atau
delapan baris, maka sajaknya a b c a b c dan a b c d a b c d. Tiap-tiap
baris biasanya empat perkataan. Dalam tiap-tiap pantun sari isinya terdapat
dalam kedua baris yang terkemudian; dalam dua baris itu disimpulkan dengan
pendek dan indah sesuatu pikiran, perasaan, nasehat, kebenaran, pertanyaan
dan lain-lain. Oleh sebab simpulan itu pendek Oarang lebih dari delapan
perkataan) dan sering memakai perumpamaan yang menimbulkan pikiran dan
perasaan yang dalam, maka sifat kedua baris itu serupa dengan peribahasa,
pepatah, perumpamaan, kiasan atau pemeo yang bersamaan dengan kedua baris
penghabisan pantun. Tentang hal ini boleh jadi peribahasa, pepatah,
perumpamaan, kiasan atau pemeo lebih dahulu. Supaya mudah mengingatkannya,
atau supaya dapat melagukannya, maka ditambahkan orang kepadanya dua baris
yang sesuai. Sementara itu tentu mungkin juga terjadi seseorang sangat
tepat dan indah menyimpulkan sesuatu pikiran, nasehat, dan lain-lain dalam
kedua baris yang penghabisan sebuah pantun, sehingga oleh ketepatan dan
keindahannya dan oleh karena sering diulang-ulang disebabkan ketepatan
dan keindahannya itu, kedua baris itu menjadi peribahasa, pepatah, perumpamaan,
kiasan atau pemeo1.
Betapakah perhubungan antara kedua baris
yang pertama dengan kedua baris yang penghabisan? Telah banyak ahli-ahli
yang menyatakan pikirannya tentang itu2
. Berdasarkan pendapatnya itu setengah ahli itu menetapkan asal-mula pantun.
Menurut pikiran saya adalah pekerjaan yang sia-sia menetapkan asal-mula
pantun, sebab sejarah tumbuhnya sesuatu cara mengucapkan pikiran dan perasaan
yang mengenai seluruh lapangan penghidupan sesuatu bangsa tiadalah sekali-kaii
mungkin lurus jalannya dari sesuatu hal saja.
Perhubungan antara kedua baris yang mula-mula dengan kedua baris yang berikutnya,
hendaklah kita pandang dalam hubungan cara manusia mengucapkan pikiran
dan perasaannya seumumnya: Manusia seialu berusaha mengucapkan yang terpikir
dan terasa kepadanya sebaik-baiknya menurut tenaganya, dengan jalan meletakkan
(dengan sengaja atau dengan sendirinya) bahagian yang terpenting daripada
pikiran atau perasaannya itu di tempat yang sebaik-baiknya. Segala sesuatu
yang lain dalam ikatan pikiran dan perasaan itu gunanya semata-mata untuk
mengemukakan, menjelaskan meresapkan atau menyemarakkan isi pikiran atau
perasaan itu, dengan pendek sebagai persediaan.
Sifat yang serupa ini terdapat dalam kalimat pendek maupun dalam roman
yang panjang, dalam tonil maupun dalam sajak segala jenis.
Adapun dalam pantun pikiran atau perasaan itu disediakan oleh tiga pasal
:
Pertama oleh irama. Sesuatu dikatakan
orang berirama, apabila geraknya teratur. Manusia mengatur gerak sesuatu,
membuat sesuatu berirama, untuk mendapat tenaga yang lebih besar dari biasa
(ahli seni dalam segala lapangan seni, orang berbaris, orang menumbuk padi
dan lain-lain.)
Dalam dua baris pantun yang mula-mula disediakan atau dibayangkan irama
yang akan mengikat pikiran atau perasaan yang hendak diucapkan dalam dua
baris yang berikutnya. Hal ini terang benar apabila pantun itu dinyanyikan
: Lagu kedua baris yang mula-mula sama dengan lagu kedua baris yang penghabisan.
Jadi orang yang mendengar kedua baris yang mula-mula itu dibuka hatinya
untuk menerima apa yang hendak diucapkan, dengan jalan menginsafkan lebih
dahulu kepadanya irama yang akan mengirimkan ucapan itu kelak. Hal
ini lebih penting lagi artinya, apabila kita ingatkan, bahwa dalam tingkat
kecerdasan manusia yang bersahaja irama lebih
penting dari arti kata. Dalam nyanyian
kanak-kanak banyak terdapat bunyi atau kata yang tiada berarti. kanak-kanak
tidur terlayang oleh nyanyian bundanya, bukan oleh karena ia mengerti kata-kata
nyanyian itu, tetapi disebabkan oleh irama bunyi nyanyian itu. Seruan
atau nyanyian orang bekerja yang sesuai dengan irama bekerja, sering tiada
berarti sedikit juapun. Untuk mengucapkan perasaan dan pikirannya,
orang bersahaja sering menari, sedangkan kita menyusun kata dan kalimat.
Demikian tidak heran kita, bahwa kedua baris pantun yang mula-mula itu
sering tiada berarti: yang pertama sesungguhnya iramanya.
Kedua bunyi.
Lain daripada irama, bunyi kata-kata yang dipakaipun menyediakan kalbu
kita untuk menerima isi pikiran atau perasaan yang diucapkan dalam kedua
baris yang berikut. Dalam tiap-tiap perkataan isi dan bunyi perkataan
rapat berjalin, oleh karena senantiasa serempak masuk ke daiam keinsafan
kita. Mendengar bunyi yang menyerupai sesuatu perkataan sering kita
teringat akan perkataan itu, dan tiada jarang akan isi perkataan itu sekali.
Bacalah misalnya pantun berikut: dalam dua baris yang pertama dibayangkan
bunyi kata-kata yang akan terdapat dalam dua baris yang berikutnya :
Ranggung3 lantaikaniah
di bamban4,
Padi dan banta 5 punya
buah;
Tanggung rasaikanlah di badan,
Hati dan mata punya ulah.
Akhirnya
isi kedua baris yang pertama itu boleh pula serta menyiapkan isi kedua
baris yang berikutnya, misainya dalam pantun :
Air dalam bertambah dalam,
Hujan di hulu belum lagi teduh.
Hati dendam bertambah dendam,
Dendam dahulu belum lagi sembuh.
Ketiga
alat ini (irama, bunyi dan isi) tentulah mungkin bermacam-macam sifatnya;
lagi pula tiada seialu ketiga-tiganya terdapat serempak dalam sesuatu pantun.
Yang seialu terdapat hanyalah irama. Setelah mengaji sifat pantun ini,
agaknya dapatiah kita bertanya, betapakah harapan kita tentang pantun di
masa yang akan datang ? Adakah mungkin ia mendapat kedudukan di antara
puisi yang baru ? Menurut timbangan saya hendaklah kita bedakan dua pasal
:
pertama puisi kebanyakan
dan
puisi seni sejati. Meskipun watas antara
keduanya itu sudah ditetapkan, tetapi untuk pantun rasanya dapatlah dimasukkan
ke lingkungan puisi kebanyakan: pantun yang dinyanyikan (keroncong misalnya),
pantun kanak-kanak, pantun teka-teki dan pantun jenaka.
Sebagai
puisi kebanyakan, pada pikiran saya pantun yang kedua barisnya yang pertama
hanya menyediakan irama atau bunyi atau irama dan bunyi perasaan dan pikiran
yang akan dinyatakan oleh kedua baris yang berikutnya, masih lama akan
hidup. Sebaliknya sebagai seni sejati terutama sekaii yang akan mungkin
mendapat tempat di sisi puisi baru, ialah pantun yang kedua baris yang
pertamanya me;nyediakan irama, bunyi dan isi kedua baris yang berikutnya,
sebabnya ialah yang lebih sempurna memakai alat-alat seni yang diutamakan
penyair zaman sekarang. Dalam hal inilah pantun itu yang paling berdekatan
dengan puisi baru. Demikianlah kedua kuplet soneta M. Yamin di bawah
ini sesungguhnya pantun :
Hijau tampaknya Bukit Barisan,
Berpuncak Tanggamus dengan Singgalang;
Putuslah nyawa hilanglah badan,
Lamun hati terkenal pulang.
Gunung tinggi diliputi awan,
Berteduh langit malam dan siang;
Terdengar kampung memanggil taulan,
Rasakan hancur tulang-belulang.
Habislah tahun berganti zaman,
Badan merantau sakit dan senang,
Membawakan diri untung dan malang.
Di tengah malam terjaga badan
Terkenang bapak sudah berpulang,
Diteduhi selasih, kemboja sebatang.
Dalam
pantun yang menjadi dua kuplet pertama soneta ini, isi kedua baris yang
pertama melukiskan tempat bertambat pikiran dan perasaan yang terkandung
dalam kedua baris berikutnya.
1
Sering
orang menyebut sebaris atau dua baris pantun yang mula-mula saja, sedang
yang dimaksudnya seluruh pantun. Dalam hal yang demikian tentulah
dianggapnya yang mendengar sudah tahu seluruh pantun itu. Sebabnya
orang memendekkan pantun serupa itu adalah bermacam-macam:
a. Pikiran
atau perasaan yang tersimpul dalam dua baris yang penghabisan itu tidak
baik didengar, karena kasar, kurang sopan, pantang atau memalukan.
b. Menurut hukum ilmu keindahan yang diturut
orang dengan sendirinya: membayangkan sesuatu yang lebih indah dari menyebut
terus-terang atau memperlihatkan seluruhnya.
c. Untuk berhemat tenaga dan waktu.
2 Baca kata pembimbing
dalam Pantun Melayu (B.P.) dan pidato Prof. Dr. R.A Husein Djajadiningrat:
De
Magische Achtergrond van de Maleishe Pantun.
3
ranggung : artinya
tidak terang, mungkin untuk bunyi saja;
4 bamban
: idem;
5 banta
: idem.
Puisi
Lama
Sutan
Takdir Alisyahbana, 1996
|