DHENY JATMIKO (Bandung, Indonesia)
Segugus Puisi

PULAU API

Kujilati kesenyapanmu di celah-celah tanah
Namun kau tembus kekacauanku
Kau cakar kelopak kepalaku
Dengan pedang-pedang mimpi
Dengan igauan yang memencar di lubang ingatanku
Dan telah kau mencengkram petak-petak suara
Hingga teramat kemarau
Melebihi desing debu di pulau mimpi ini

Tapi malam bukanlah sepoi yang diam
Keseramannya telah menggemuruhkan
Igauanmu yang merambati akar khatulistiwa
Dan sebuah perahu
Menggelombangkan sendi perselingkuhanmu
Dalam genderang mimpi yang lengang

Tapi bayanganmu tetap mencabik-cabik api
Menangkap ranting gelisah
Dengan mata-mata pikiran yang bercabang
Dan seolah tak pernah kau maknai
Ribuan malaikat yang melekat
Memata-matai seluruh igauanmu
Dari perkampungan yang membatu sekarat

Bandung TA, 2002.


BULAN MENGEMBANG-MENGAMBANG

Bulan mengembang-mengambang dalam impian dan kusaksikan
gelombang pandanganmu pasang, bergulung
mengapungkan perahu-perahu kenangan; kepakan arus wajahmu
yang berloncatan seperti badai-angin-mimpiku
membautkan perak pada tubuh laut
hingga buih bahasaku rapuh dalam kepungan tenaga bulan.

Telah kutembus kekacuan ini dengan tubuh-terumbu
namun bayang-bayangku telah berkhianat, memahat
layar ingatanku menjadi hantu-hantu pulau asing,
menjadi pasir-bulan-abadi dalam maut laut
sampai malam membunuh mati dan imajinasiku bangkit,
mata mimpiku membelah bingkai pantai yang pengap
oleh aliran bayang-bayangku.

Aku pun menjelma budak malam. Seperti semburat cahaya,
kata-kataku melesat, parau, seolah menyumpahi alir pesona bulan,
namun kulihat angin wangimu kian membadai,
mendentam alur ingatanku yang terpasung
sampai derai mimpiku tersungkur dalam kabut keangkuhanmu
dan pengetahuanku sekarat tanpa senyap
hingga ombak mimpiku legam melebihi bayang-bayang.

Surabaya, 2002.


SIMPHONI RAMALAN

Pohon-pohon mengudara dengan bayang-bayangnya
Dan lagumu merajam kekacauan
Menyayapkan tanah-tanah yang terjepit mimpi

Tapi aku hanya menjadi gerimis, tanpa bergelombang
Seperti angin yang kau garis dengan petikan
Petikan jemari yang menyumpahi langit

Mungkin tak pernah kau temukan tubuhku
Dalam ingatanmu yang meledak
Dan aliran bait-bait pengkhianatanmu
Kelak meranggas tanpa petak-petak kenangan

Sebab kau adalah pohon jati!

Deret musik yang berdengung di antara cahaya daun
Yang menggubahmu menjadi hutan
Hutan dari seluruh mimpimu yang mengepak
Di antara retakan tanah bising ini

Bandung TA, 2002.


GERHANA DI PULAU SUNYI

Wajah mimpi mengelupas dengan bising-bisingnya,
Tapi tak pernah kau sadari laut
Yang menjelma telinga-telinga hantu
Dan kau masih diam di atas pasir yang mendesir
Di pulau seram yang telah meledakkan kenanganmu
Hingga debu-debu mengoyak kepolosan
Matamu yang menggeraikan mimpi mendung

Dalam ombak kecil ini
Kau menggelayuti malaikat-malaikat malam
Yang bertumpuk di sela-sela layar pikiranmu

Kau, telah mencipta gerhana
Dan angin yang menyeret badai
Dalam keheningan pulau bergaris ombak
Hingga kau biarkan tubuhku terbakar
Serupa ingatanmu yang menyesakkan pantai ini

Bandung TA, 2002.


SELALU KULESAKKAN GELOMBANG MIMPI

selalu kulesakkan gelombang mimpi
dan kunamai lukisan-lukisan di balik ombak
dengan cahaya-mata-seorang-ibu, sebuah musim

musim yang merubah ingatanku dengan buih cakarnya
hingga impianku pasang tanpa kelopak bulan
meranggaskan arak-arakan aroma kecantikanmu

aku telah menjelma musik angin dan pandanganmu
menjiwai laut, melingkar di layar ingatanku
memasung mimpiku dengan tangan-tangan musim

tetapi kusaksikan lapisan tubuhmu memudar,
berbaju perak, di riuh lengkung bulan
hangat-perahu-bahasamu rapuh, karam

ke dasar laut yang tak pernah selesai,
kelak kecantikanmu terhukum ombak kenangan
dengan dindingnya yang terkelupas pelan-pelan

Suarabaya, 2002.


BUKIT YANG TERHUKUM

Sebuah mimpi adalah perlambang musim
kesunyian dan kegelisahan
yang memutar dalam cawan abad.

Akulah hantu, fatamorgana pinus
pinus yang mengaduk pusaran kecantikanmu
hingga kau sumpahi juntaian lumut di mata-cintamu.

Namun pandanganmu adalah angin kering
tanpa aroma-lembab-tubuh imajinasi
hingga kau tembus musim gerimis dan desah ingatanku.

Dan di belakang bayanganmu, kau rajam bukit-mimpiku
menjadi pengetahuan yang teramat malam
menjadi hantu puisi yang menggerimis tipis.

>I>Surabaya, 2002.


TIBA-TIBA KUTEMUKAN MAYAT MIMPIKU TERAPUNG

Tiba-tiba kutemukan mayat mimpiku terapung di sungai
dengan luka-luka pahatan hujan. Kenangan pucat ini
adalah sisa kemabukanku yang bergelombang
di kebeningan arus waktu. Batu-batu pun hamil derita,
dimana keangkuhan kita tersungkur menjelma gerimis
yang tak ternamai oleh senja, sebab persetubuhan kita,
tak mengenali kedalaman air. Kelak anak-anak kita lahir
tanpa hujan, membangkitkan arwahku, meski kekacuan
tak tertembus mata-ingatanku dan seluruh pengetahuanku
terbalik,
mengkhianatimu, menjadi hantu-hantu dalam gerimis di keningmu.

Surabaya, 2002.


KETIKA AKU DATANG

Ketika aku datang
merambat pada jejak tanah
berilah aku gerimis
hingga kudengar setiap jeritan mimpimu
meretakkan dinding kesenyapanku
dan tubuhku tersayat
pencar ke udara. Dan kawanan angin melesakkanku
dalam arus, hingga rmabutku membangkai di sungai.

Masih kurasakan sejarah
tepat di keningmu. Tanah-tanah menjadi asing
tanpa gerimis di kelopak malam.
Tapi kepolosan isakmu menelan
gemuruh dan tak kulihat memar di nafasmu
meski kuingat pisau-rambutku mencabik impianmu.

Suarabaya, 2002.


SESAAT AKU MATI

Arak-arak tanduk matahari, membentuk
lingkar-cakar kesenyapan
dan mimpi-mimpi bereinkarnasi
dalam sungai yang mencabik langsai
sebab akulah penjelajah
melempar tetesan arwah dan mengunyah
jubah gaib ribuan wajah.

Pada sela juntaian matahari
sesaat aku mati, aku terkurung
dalam aura arus matamu yang menebar
di sungai-sungai mimpi,

Mimpi yang berderit dalam abad laknat
menyerupai gemerisik rumput yang memagut
dan kau mejadi sapi!
menguarai alir mimpi kaki-kaki matahari
yang langsir hingga menjadi batu-batu sungai.

Sby, 2002.


SUKET TURUK-BAWUK

Pekik pengkhinatan mendentam pada sisik-sisik sepi
Menghisap hujan-bulan di ambang malam
Sebab pejam adalah mula ancam
Dan aku tumbuh dari macan-macan malam,
Moyang-moyang kenangan yang memasungku
Pada tanah kering ajaib

Bulan-bulan bercabang dengan tangannya
Dan aku telah meledakkan pasir mimpi
Memagut rumput pikiranku hingga akut,
Pengkhianatan ini adalah akar-akar
Yang mengajariku bunuh diri dalam gerimis

Tapi mimpiku membelukar, terseok
Di antara retakan ingatan yang asing
Dan debu-debu kenangan terlaknat
Memekat pada lesatan kulit-kulit mataku

Bandung TA, 2002.


BIODATA SINGKAT
Dheny Jatmiko lahir di Tulungagung, 11 Februari 1982. Sejak tahun 2001 tercatat sebagai mahasiswa Sastra Indonesia Unair. Menjadi anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) dan aktif sebagai anggota Teater Gapus Surabaya. Beberapa puisinya pernah dimuat dalam Harian Koran Tempo, Suara Anum (Malaysia), Waspada. Bertempat tinggal di Jl. Jaya Baya 5 Bandung, Tulungagung, Jatim, 66274.



KEMBALI