Halaman Dua

ALTERNATIF

Edisi 05/2004

HALAMAN SATU

HALAMAN DUA

HALAMAN TIGA

HALAMAN EMPAT

BERITA INDEKS

REFLEKSI

REDAKSI

SALAM SASTRA

NOVEL

GALERI PUISI

CERPEN

PUISI PILIHAN

CERPEN  PILIHAN

PENGELOLA

 

REDAKSI:

Mustafa Ismail

Dianing Widya Yudhistira

Para Kontributor

 

PENERBIT:

Rumah Sastra Pamulang

 

E-MAIL:

sastraalternatif@yahoo.com

 

KEPADA PENGIRIM KARYA

 Redaksi tidak mampu memberi pengganti ongkos kirim atau honor kepada karya yang dimuat. Karena itu, disarankan mengirim karya yang pernah dimuat di media lain atau terkumpul dalam buku antologi.

 

SALAM SASTRA

 

 

   Percakapan

 

Kalau saja malam 

setenang 

embun

dingin tak seperti kuku

 mencengkeram

Gelap tak seperti 

taring -- menghujam nadi

mungkin malam 

tak  memintalku 

dalam fana

 

Di luar -- kelelawar

 bercakap-cakap

di setiap desir darahku

Malam hanya 

memberi kita

sepi, gelap, 

dan pekat

 

Aku ingin istirah

Sejenak 

melupakan penjara 

dalam tubuhku

Mencoba

 mengingat

 kembali

nama dan 

alamat sendiri.

 

Depok, Maret 2003

Dianing Widya Yudhistira

 NOVEL 
TERBUAI MIMPI

SAIFUL BAHRI

 BAB  I

 Bagian II

 

“Tebakan saja,” jawab Zen angkuh.

“Tapi betul.”

“Nah, sudah dua identitas mulutmu terbuka.”

“Lalu…”

“Diam! Kau sekarang juga pergi menghadap polisi.”

“Sendiri?”

“Tentu dong. Mana mungkin dengan aku.”

“Aku takut,” rengek Pengemis.

“Takut apa?”

“Kiamat!” tandas Pengemis tegas.

“Oh! Ya, Kiamat!” sokong Zen lagi.

Tiba-tiba saja segerombolan polisi menuju ke arah mereka. Gerombolan itu tampak marah. Langkah tegap berderap. Serentak. Makin lama makin jelas. Wajah bengis. Buas. Terus mendekat. Makin merapat. Hal ini membuat Zen dan Pengemis merasa kecut. Bahkan takut. Tidak!

“Mengaku saja, sebelum kubekuk,” bentak salah seorang dari gerombolan itu. Rupanya ia pemimpin. Kapten mungkin. Atau kopral. Ah, tak peduli. “Tuli ya, cepat ngakut.”

“Mengaku apa?” Zen dan Pengemis berbarengan menanya.

“Kalian tadi mengatakan kiamat?” kepala polisi balik bertanya.

“Lho dari mana kau tahu,” tanya Zen dengan terkejut.

“Intel.”

“Jadi…,” tukas Zen dengan mulut ternganga.

“Kalian berdua ikut aku ke masrkas,” kata Kepala Polisi tegas.

“Untuk apa?” tanya Pengemis beringas.

“Penting dengan Komandan.”

“Tidak mau,” Pengemis berontak.

“Apa?” tanya Kepala Polisi.

“Menganggu pekerjaan saja. Tahu!” jelas Pengemis.

“Peduli amat,” tepis Kepala Polisi.

“Harus!” bentak Zen tiba-tiba.

“Tidak!” balas Kepala Polisi tak kalah kerasnya. Ia menatap anak buahnya sebentar. Kemudian berkat, “Hai manusia peliharaan merangkap anak buahku, ketahuilah! Aku ini pemimpin kalian. Aku bertanggung jawab terhadap tugas ini, termasuk kalian. Nah! Sekarang aku memberi mandat kepada kalian untuk mengkerangkeng orang ini berdua. Kalian denganr?” teriak Kepala Polisi.

“Kurang,” jawab salah seorang diantara mereka.

“Bodoh! Kupecat kau sekarang juga.”

“Dengan senang hati pemecatan itu saya terima.”

“Angkat kaki dari sini. Cepat!”

“Siap.”

Lalu berlalulah ia dari tempat itu, tanpa banyak cincong lagi. Rupanya ia termasuk golongan ekstrim. Entah kiri, entah kanan. Kemudian sang Kepala Polisi kembali memandang anak buahnya. Satu persatu diperiksanya. Masih lengkap, walau seorang telah tiada. Utuh masih.

“Nah! Apakah masih ada yang kurang?”

tanya Kepala Polisi lantang kepada anak buahnya.

“Tidak!” jawab mereka serentak.

“Ada,” sergah Zen.

“Ya, ada,” sahut Pengemis pula.

“Apa!” tanya Kepala Polisi terperangah.

“Kami kok belum dibawa ke masrkas?” tuntut Zen.

“Ke markas? Buat apa kalian ke sana!”

“Entah! Tadi kau bilang ada keperluan penting dengan komandan. Apa mau mungkir,” tukas Zen marah.

“Saya tak pernah berkata begitu,” Kepala Polisi berkata dengan ekspresi wajah yang tak bersalah.

“Banyak saksi,” Zen berkeras.

“Siapa?”

“Si gemuk, si kurus, si jangkung, si pendek dan yang telah kau pecat tadi siapa itu?”

“Si buntung,” ulang Zern.

“Lagi,” desak Kepala Polisi itu.

“Tanah, panas, asap, debu, daki, keringat, nahkan juga malaikat, Tuhan pun turut jadi saksi,” Pengemis ikut ambil bagian dalam masalah ini.

“Cukup! Ayo, cepat ke markas. Pasukan, siap!” lengking Kepala Polisi lantang.

“Siap!’ awab serentak para pasukan

Melangkahlah mereka. Tangan Zen dan Pengemis disatukan. Zen dan Pengemis tersenyum-senyum saja. Khalayak ramai yang kebetulan atau yang betul-betul menyaksikan kejadian itu turut tersenyum pula. Terus senyum mereka meledak. Tertawa terbahak-bahak. Kepala Polisi itu marah melihat massa berbuat demikian. Ia mengeluarkan pistolnya. Mengarahkan ke atas, ke langit. Pelatuk ditarik. Satu … dua … ti…ga. Tak meledak. Untuk menyembunyikan ketidakmeledaknya pistol itu, Kepala Polisi berpikir sejenak. Nah! Dapat, gumamnya. Keras-keras dan tegas ia berkoar. “Dor. Dor … Thaumm,” gledek suara Kepala polisi menyerupai ledakan pistol.

Massa terkejut. Kendaraan berhenti. Ada yang tertabrak. Apa saja. Dua insan mati. Beberapa orang lainnya luka-luka. Baik berat maupun ringan. Yang mati dibawa ke pekuburan. Yang luka dibawa ke rumah sakit.

Kepala Polisi senang.

Massa sedih.

Zen dan Pengemis biasa-biasa saja.

Mereka terus melangkah. Menyeberangi sungai. Lalu menepi. Diterobosnya padang ilalang dengan singkat, karena padang ilalang dengan singkat, karena padang ilalang itu hanya seluas 20 X 5,5 meter saja. Di atas tanah yang agak berbukit itulah terletak markas besar kepolisian kota metropolitan ini. Bersambung ke edisi depan, Nomor 6/2004

 

Saiful Bahri Lahir 33 tahun lalu di Banda Aceh. Alumnus Institut Ilmu Pemerintahan Jakarta, Jurusan Poitik Pemerintahan (1998) Ini kini sebagi pegawai kecil pada Bagian Humas Pemda Kota Banda Aceh. Pengurus Dewan Kesenian Banda Aceh ini menulis cerpen dan novel serta tulisan budaya lainnya di media lokal dan nasional. Sebuah novelnya diterbitkan Balai Pustaka Terbuai Mimpi (1991). Cerpen-cerpennya termuat dalam Titian Laut I dan II, Antologi Sastra Seluwah, Antologi Cerpen Remuk.

 

HAK CIPTA: Hak cipta pada penulis masing-masing. Boleh mengutip untuk kepentingan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, namun harus menyebut sumber dari tabloit sastra digital ALTERNATIF.  Untuk kepentingan bisnis, seperti  pencetakan, penerbitan, penyiaran, harus seizin penulis.

web design by: musismail