Pengadilan Sampalan
Tanggapan-tanggapan Joshua Lainnya
Salam Sejahtera!
Saudara-saudara semuanya,
Saya mohon maaf karena judul di atas terdengar cukup keras dan kasar. Saya tidak
punya pilihan yang lain dari kata "sampalan" setelah mendengar pernyataan Majelis
Hakim (MH) dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pernyataan sampalan yang dihasilkan
oleh MH dan JPU semata-mata untuk melindungi kepentingan penguasa, Pemerintah
NKRI.
Sebelumnya, mari kita ajak para parktisi hukum, MH dan JPU, untuk belajar
membaca dan menyimak cuplikan eksepsi Ketua FKM berikut ini:
"merujuk pada cacatan sejarah, pada 11 Maret 1947 Dewan Maluku Selatan
memutuskan bahwa Maluku bergabung dengan Negara Indonesia Timur (NIT) secara
bersyarat. NIT ini merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS),
seperti halnya RI. Secara bersyarat itu artinya bahwa rakyat Maluku Selatan berhak
menarik diri dari RIS bila hak-haknya tidak diperhatikan secara baik oleh negara
federal."
Pada saat itu, hingga tahun 1950, tidak ada KUHP, tidak ada UU Darurat, tidak ada
UUD-1945, dan tidak ada NKRI.
Ketika menjawab eksepsi Ketua FKM, JPU menggunakan alasan umum
"inskonsistensi" karena penasihat hukum dan para terdakwa, di satu pihak
menyatakan PN Ambon berwenang mengadili perkara para terdakwa sesuai dengan
pasal 84 ayat 1 KUHAP, tetapi di lain pihak, menyatakan pengadilan atau lembaga
hukum Indonesia tidak berwenang mengadili." (Detikcom, 9/09/02)
Saya pikir saya harus sependapat tentang adanya inkonsistensi di dalam hal ini.
Tetapi coba pikirkan dan berikan contoh tentang sebuah konsistensi hukum dan
keadilan yang masih nampak di dalam pemerintahan sekarang ini. Berapa banyak
yang bisa disebut? Di lain sisi, inkonsistenti tidak dapat digunakan oleh JPU sebagai
kertas kado untuk membungkus seluruh eksepsi terdakwa, sebab masih banyak
"konsistensi sejarah" yang harus dicermati dan dijawab. Cuplikan di atas adalah
salah satu contoh "konsistensi" terdakwa dan penasihat kukum mereka, bahwa RMS
adalah NEGARA yang SAH, dan NKRI TIDAK PUNYA LEGITIMASI (secara HUKUM)!
Jawaban atas konsistensi inilah yang menentukan sah tidaknya dakwaan makar dari
JPU. Bisa dijawab berdasarkan hukum atau tidak JPU?
Apakah argumentasi JPU tentang inkonsistensi, untuk menolak eksepsi terdakwa,
bukan sekedar argumentasi sampalan?
JPU kita ini kemudian mencoba memperkuat argumentasi sampalannya dengan
mangatakan bahwa "berdasarkan azas wilayah tidak satupun organisasi
internasional, termasuk PBB yang menyatakan wilayah Maluku bukan wilayah NKRI."
Tetapi kalau sampai ada, maka kata JPU pula, "Kalau pun ada sebagian orang pada
tataran dunia internasional yang berpendapat demikian, harus dipandang sebagai
bentuk infiltrasi kepentingan dan ideologis di era perang dingin."
Apakah JPU kita ini sudah dapat dikatakan "konsisten" dengan argumentasinya?
Mengapa kalau tidak ada yang mengakui Maluku sebagai bagian terpisah dari NKRI,
maka hal itu dapat digunakan sebagai azas wilayah, tetapi jika ada yang mengakui,
maka hal itu harus dipandang lain? Kuasa hukum terdakwa harus lebih cermat dan
cerdik untuk mencium ketidak-beresan JPU supaya dia tidak hanya pandai menuding.
Lagipula, berbicara tentang Dewan Maluku Selatan (1947) dan RMS (1950) berarti
berbicara tentang sejarah. Karena itu, jangan biarkan JPU menghindar dari
menyelesaikan PR sejarahnya, dengan menggunakan andai-andai masa kini yang
tidak konsisten. Jangan biarkan JPU sampalan ini lari dari "dasar hukum", untuk
mengandalkan kenyataan-kenyataan NKRI yang tidak selaras dengan sejarah dan
tidak memiliki legalitas apa-apa (selain dari sekedar pengakuan bibir NKRI).
Apakah argumentasi JPU yang ternyata tendensius dan bersifat inkonsistensi, tidak
dapat dikatakan sebagai argumentasi sampalan?
Di penghujung sidang, diberitakan bahwa kuasa hukum terdakwa, Christian
Rahayaan, SH, "melakukan interupsi dan meminta agar majelis hakim memberikan
waktu bagi terdakwa untuk menjelaskan persoalan RMS. Namun permintaan Christian
ditolak oleh Majelis Hakim. Hal ini memperlihatakan keengganan MH untuk berbicara
tentang RMS, karena mereka akan merasa tertampar dengan kenyataan tentang
kebenaran yang tidak becus mereka gugurkan berdasarkan hukum. Untuk lebih jelas
tentang MH, mari kita ikuti kelanjutan sidang sampalan ini.
Di awal sidang berikutnya, Majelis Hakim (MH) Pengadilan Jakarta Utara mengatakan
bahwa "MH Pengadilan Jakarta Utara berwenang mengadili kasus makar dengan
terdakwa Ketua Front Kedaulatan Maluku (FKM) Alex Manuputty dan Wailairumy
Sammuel alias Sammy." Yang perlu dipertanyakan tentang pernyataan ini adalah
"dasar hukumnya." Dalam hal ini, MH hanya mampu menggunakan sisi de facto
berdasarkan "kekuasaan", sementara legalitas kekuasaan itu sendiri masih perlu
dibuktikan secara hukum. Hanya jenis pengadilan sampalan yang tidak mempu
membuktikan legalitasnya, dan berlindung di balik kekuasaan.
Akibatnya, MH lalu menyatakan bahwa argumentasi penolakan JPU terhadap eksepsi
terdakwa adalah sah, dengan alasan "telah menguraikan dakwaan secara jelas,
cermat, dan lengkap." Di dalam hal menyoroti inkonsistensi terdakwa dan kuasa
hukum mereka, mungkin kita bisa sependapat dengan MH, tetapi eksepsi tersebut
tidak hanya berisikan masalah kewenangan pengadilan. Tidak adanya jawaban atas
cuplikan eksepsi Ketua FKM di atas adalah contoh dari "ketidak-cermatan" dan
"ketidak-lengkapan" argumen JPU yang DISENGAJAKAN, dan yang didukung penuh
oleh MH. Bayangkan sekelompok MH yang tidak mampu menangkap inkonsistensi
argumentasi JPU yang begitu gamblang hingga bisa dicium oleh seorang awam
hukum (azas wilayah dan infiltrasi kepentingan).
Apakah saya keterlaluan jika menyebut pengadilan ini sebagai "pengadilan
sampalan"?
Oleh sebab itu, MH akan main tolak terus menerus dengan alasan KUHAP ini dan
KUHAP itu, padahal dasar mereka sebenarnya adalah "kekuasaan". Pengadilan tidak
berfungsi untuk memberdirikan kebenaran dan keadilan yang berdasarkan hukum dan
perikemanusiaan, tetapi untuk "melayani dan melindungi kepentingan para
penguasa", yaitu pemerintah NKRI yang legalitasnya sendiri tidak mampu dibuktikan.
Pengadilan ini tidak lebih dan tidak kurang dari sebuah pagelaran dagelan pengadilan
sampalan yang disutradarai oleh Pemerintah NKRI. Karena itu, belum apa-apa, JPU
dan MH sudah mengaku sedang mengadili perkara "makar", tetapi dengan
menghindar dari kewajiban untuk membuktikan istilah makar mereka nya menurut
kebenaran sejarah dan hukum.
Kuasa hukum terdakwa bertekad untuk "Secara resmi mengadukan Pemerintah NKRI
ke Mahkamah Internasional atau PBB." Saya pikir ini move yang tepat, karena
keadilan dan kebenaran tidak akan mungkin diperoleh di dalam negara ini. Yang ingin
saya mintakan dengan hormat namun sangat kepada Bung Alex, Bung Semmy dkk.,
kirimlah juga "tembusannya ke Sorga!" Untuk itu ada satu hal utama yang harus kita
penuhi, yaitu bahwa kita harus juga memberlakukan keadilan dan kebenaran serta
kejujuran di antara kita sendiri terlebih dahulu. Dengan memohon segala maaf, saya
harus katakan bahwa Bung Alex sudah terlalu gemuk untuk ukuran pejuang
kebenaran bagi Maluku yang sedang menderita di dalam kerusuhan yang
berkepanjangan. Bung berdua kiranya mengerti apa yang saya maksudkan. Selamat
berjuang di dalam kejujuran dan kebenaranNya. Tuhan Yesus Kristus kiranya
menolong Maluku dan seluruh NKRI sesegera mungkin.
Salam Sejahtera!
JL.
|