|
Perubahan Pasal Kesusilaan Dipertanyakan Anggota Tim (Koran Tempo, 24 Januari 2005).
Jakarta -- Pasal kesusilaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih menyisakan kontroversi di kalangan tim penyusun. Andi Hamzah, salah satu tim penyusun KUHP, mengaku terkejut dengan beberapa perubahan dan penambahan pasal-pasal. "Saya terkejut setelah membaca hasil akhirnya," kata Hamzah kepada <I>Tempo<I> kemarin.
Pasal kesusilaan dalam Rancangan KUHP yang selesai dibahas pada 2004 berbeda dengan yang dibahas pada 1999-2000. Meski jumlah pasalnya tetap, 30 pasal, materinya mengalami perubahan dan penambahan cukup berarti. Dalam draf baru, penambahan yang mencolok pada soal pornografi dan pornoaksi. Sementara itu, perubahan ada pada ketentuan tentang "kumpul kebo". Semula, kumpul kebo merupakan delik aduan, berubah menjadi delik biasa.
Dalam draf lama, yang diatur dalam pasal ini, di antaranya soal penyiaran tulisan, benda, atau gambar; menyanyikan lagu yang melanggar susila; mempertunjukkan tulisan atau gambar yang membangkitkan berahi; mempertontonkan sarana pencegah kehamilan atau menggugurkan kandungan; dan perzinaan. Pasal kesusilaan juga mengatur ketentuan tentang janji menikah. Orang yang ingkar janji menikahi bisa dikenai pidana. Hal lainnya adalah soal pemerkosaan dan perbuatan cabul.
Dalam draf baru, pasal-pasal itu bertambah, di antaranya mengatur persoalan pornografi dan pornoaksi, seperti ancaman pidana untuk orang yang membuat tulisan, suara, atau film yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu, ketelanjangan, goyang erotis, aktivitas orang berciuman bibir, juga gerakan masturbasi. Pasal itu juga menjerat pelaku yang menyiarkannya. Ancaman pidana maksimalnya 12 tahun penjara dengan denda Rp 75 juta (kategori IV).
Pidana juga akan dikenakan terhadap orang yang menjadikan dirinya atau orang lain sebagai model atau obyek yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, ketelanjangan, menari erotis, aktivitas berciuman bibir, dan melakukan adegan masturbasi. Ancaman pidananya paling ringan 18 bulan dan maksimal tujuh tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300 juta (kategori V).
Pasal pornoaksi mengatur ancaman pidana bagi orang dewasa yang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual, telanjang, berciuman bibir, menari atau bergoyang erotis, melakukan masturbasi, dan sejenisnya, di muka umum. Ancamannya paling lama 10 tahun penjara dan denda kategori V.
Orang yang menyelenggarakan acara pertunjukan seks atau pesta seks juga akan terkena sanksi pidana. Ancamannya paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak kategori VI. Penonton pun terancam pidana 7 tahun dan denda kategori IV. Kalau melibatkan anak-anak, ancamannya menjadi maksimal 10 tahun dan denda kategori V.
Menurut Hamzah, pasal baru ini ditambahkan dalam Rancangan KUHP saat tim melakukan penyusunan akhir, Desember 2004. Dia mengaku tak tahu soal ini karena ia anggota tim yang membahas buku kesatu Rancangan KUHP yang membahas soal ketentuan umum. Adapun soal tindak pidana ada di buku kedua yang disusun oleh tim yang berbeda.
Beberapa hal yang berubah cukup signifikan adalah aturan mengenai hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Dalam draf yang lama, hal ini menjadi delik aduan. Tapi dalam draf terakhir berubah menjadi delik biasa. "Padahal ada beberapa daerah yang mentoleransi itu (hidup bersama)," kata Hamzah. Dia menyebut contoh Bali, Mentawai, dan Minahasa. Anggota tim penyusun Rancangan KUHP lainnya, Rudi Satriyo Mukantardjo, sependapat dengan Hamzah. Ada beberapa daerah yang menganggap biasa hidup bersama tanpa menikah. Namun, "Itu nanti akan menjadi pertimbangan hakimnya waktu mengaplikasikan undang-udang," kata dia.
Rudy optimistis hakim akan mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat saat mengaplikasikan KUHP. "Jika masyarakatnya menerima kehidupan seperti itu, meski dilarang KUHP, tidak bisa dihukum," kata Rudy. Namun, Hamzah tak sependapat dengan Rudy. Menurut dia, jika KUHP sudah mengatur, kecil kemungkinan hakim membebaskan pelakunya. "Kalau itu tetap dilakukan, ini bisa menimbulkan ketidakpastian hukum," ujarnya.
Hal baru lainnya dalam draf KUHP adalah tentang pornoaksi. Salah satu yang diatur adalah soal berciuman bibir di depan umum. "Bagaimana dengan pelaksanaan soal ini di daerah wisata seperti Bali, yang banyak turis asing berciuman bibir? Kan undang-undang ini berlaku di wilayah hukum Indonesia," kata Hamzah. Ia berharap hal ini dibahas di parlemen.
Abdul Manan - Tempo |
|