Taman Dongeng


ORANG-ORANG YANG MENYIMPAN API DALAM KEPALANYA

Oleh: Nanang Suryadi

Dia, seorang anak muda yang tak mau disebut namanya, mencoba mempertanyakan hal-hal yang selama ini telah mapan, mungkin dapat disebut juga sebagai orang yang antikemapanan. Adakah telah merasuk dalam benak kepalanya apa yang disebut orang sebagai dekunstruksi (sebuah ajaran dalam wacana postmodernisme) dan ia latah ikut-ikutan melakukannya?

Sepertinya tidak, jika disebut latah ikut-ikutan, ia adalah orang yang mencoba sadar terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Salah satu yang paling disukainya, dalam perjalanan hidupnya selama ini, adalah menelaah sejarah. Baginya kesadaran terhadap sejarah harus dimiliki, agar tak terjadi kesalahan-kesalahan yang menimpa umat manusia pada masa lalu tidak terjadi lagi pada masa sekarang atau masa mendatang.

Sebagai seorang anak yang dilahirkan pada masa orde baru, dia tidak mengalami hiruk pikuk pergelutan politik yang sering diceritakan oleh orang-orang tua serta buku-buku yang wajib dibacanya di sekolah menengah atau pada penataran-penataran. Kata orang, pada masa lalu telah terjadi peristiwa yang teramat carut marut, penuh kekerasan yang mengalirkan darah dan airmata. Dia adalah anak yang dibesarkan masa pembangunan orde baru, yang tak pernah menyaksikan atau merasakan pahit getirnya perjuangan revolusi 1945, serta kejadian-kejadian yang menyusul setelah itu, semacam Agresi Militer I dan II, Persidangan Konstituante, Peristiwa DI TII, Peristiwa PRRI-Permesta, Peristiwa pengkhianatan G30S PKI yang gagal serta disusul dengan runtuhnya rezim orde lama yang tidak menjalankan lagi Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, serta masih banyak lagi peristiwa yang hanya dapat didengar dari para orang tua dan dibacanya dari buku-buku sejarah.

Dia, seorang mahasiswa pada tahun 90-an pada sebuah universitas terkemuka di negeri ini, dengan pikiran-pikiran linear pada awal memasuki perkuliahan, berbekal pesan dari orang tua agar cepat lulus dengan nilai terbaik.Tapi apa mau dikata, sepertinya bukan salah bunda mengandung, Dia, yang memang sejak kecil menyukai dongeng-dongeng sejarah serta rajin membaca, ditambah lagi sedikit kemampuan menulis dan berrorganisasi (yang didapatnya pada sekolah menengah) tergoda untuk mencemplungkan diri pada sebuah arena permainan yang selama ini hanya dikenalnya dari buku-buku sejarah. Pada awalnya dia, yang menonjol bakat kepemimpinannya diajak mengikuti sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan mulailah perjalanan hidupnya diwarnai dengan berbagai hal, dan munculah kembali pertanyaan-pertanyaannya tentang sejarah. Kembali ia tergoda untuk meragukan berbagai hal yang diyakininya selama ini sebagai sebuah keyakinan sejarah yang tak dapat diganggu gugat. Dia membaca berbagai buku serta media massa dengan begitu lahapnya, tanpa memperdulikan dari mana sumber tulisan itu. Dia teramat lapar, ingin dilahapnya semua informasi yang didapatnya, karena dengan begitu, menurutnya akan didapatkan sebuah keseimbangan, sebuah keadilan dalam menilai segala sesuatu.

************

 

Berbicara dengannya seperti berbicara dengan sejarah yang berlalu lalang di depan mata. Referensi tentang berbagai hal, sepertinya telah dikuasainya dengan sangat mengagumkan. Janganlah lagi jika ditanya tentang gerakan mahasiswa, yang dapat diceritakan dan dianalisisnya secara luar biasa, tentang berbagai hal diluar itu pun seperti filsafat, seni, agama dan masih banyak lagi akan dibahasnya, dari berbagai sudut latar belakang sejarah.

Ada satu hal yang mungkin merupakan kekurangan (atau kelebihannya barangkali), selama ini aku tak melihat ada seorang wanitapun yang menjadi orang istimewa disampingnya atau sebutlah pacar atau kekasih yang menjadi tumpahan perasaan dan perhatiannya. Sepertinya ia memperlakakukan semua orang baik lelaki maupun perempuan dengan perlakuan serta perhatian yang sama. Ah, itu kan urusan dia ya? Mau punya pacar atau tidak, itu kan tidak ideologis, katanya suatu ketika. (Ha...ha.. aku sering ingin tertawa sendiri jika mendengar argumentasinya, sambil menjabarkan tentang segala hal tentang cinta, menurut Erich Fromm, Sigmund Freud, Gibran serta penyair-penyair romantis yang dikenalnya lewat buku-buku, dan menyimpulkannya sendiri dengan muara kepada dirinya sendiri. Dasar! ).

Boleh dibilang, Dia adalah sosok manusia yang humanis yang menempatkan cinta sebagai sebuah wacana universalitas, dan kehidupan manusia demikian penting sehingga harus diberi makna, sesuai kodratnya. Dia akan teramat marah, ketika ketidakadilan nampak di depan matanya. Sebagai seorang aktivis mahasiswa yang mengetahui seluk beluk intrik politik dan permasalahan dalam masyarakat, lengkap dengan teori-teori yang didapat dari buku bacaannya ia seringkali menulis tentang berbagai hal tersebut.

Aku sering membaca tulisan-tulisannya itu baik essay, kolom, artikel, cerpen dan puisi. Ya, rupanya dia memiliki kemampuan lebih dalam dunia tulis menulis. Mungkin kegelisahan yang ia rasakan selama ini membuahkan inspirasi bagi tulisan-tulisannya.

***********

 

Suatu ketika, aku disodori beberapa tulisannya tentang fenomena kerusuhan yang melanda di segala penjuru tanah air. Sambil mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar, aku membaca tulisan-tulisan yang hendak dikirimkannya ke media massa di ibukota. Wah, seprtinya dia teramat marah dan sangat emosional dalam menyikapi permasalahan ini. Seakan dia lupa, bahwa dalam menyikapi sesuatu harus seimbang dan adil penuh objektivitas, seperti yang dikatakannya padaku dulu. Kini, ia teramat subyekif dan sentimentil, dan melantangkan kemarahannya pada satu titik tertentu.

Mungkin, pertemuanku denganya saat itu adalah pertemuan yang terakhir, karena sudah beberapa hari ini aku tak pernah lagi berjumpa dengannya. Mungkin dia mati atau ditangkap saat melakukan aksi, aku tak tahu. Tak ada sumber berita yang dapat aku korek dengan jelas. Yang pasti, sosoknya itu dan pemikiran-pemikirannya telah membuahkan inspirasi bagiku.

Aku belajar menulis kepadanya, menulis essay, cerpen, artikel, kolom, serta puisi. Dia sangat suka kalau aku sodori puisi-puisi yang bertemekan sosial. Katanya, nah ini baru puisi namanya. Aku teringat Dia, seseorang yang berarti bagi sekelilingnya, walau mungkin sejarah tak mencatatnya. Karena katanya, Sejarah hanya milik orang-orang besar dan serdadu!

Untuknya aku pernah menulis begini:

Bicaralah, aku kan mendengarkan kata-katamu sebagai bisikan pilu dari seorang manusia yang menghuni dunia sakit jiwa. Tatapan kosong. Senyum yang ditebarkan pada ruang. Kau lihatkah Freud menyorotkan senternya ke dalam matamu. Menemukan deretan panjang keluhan, ditekan dalam ke alam bawah sadarmu yang gelap. Berapa lagi pil penenang yang harus ditelan untuk melupakan mimpi buruk kenyataan yang berulang datang, dan lari ke dunia mimpi.

Langkah itu begitu ganjil bikin tatapan heran sekelilingmu yang penuh tatakrama. Penuh aturan manusia. Adat istiadat yang mengharuskan kau berbuat normal.Lampu senter yang disorotkan ke dalam mata. melihat keterasingan di dalamnya. Penuh makian!

Dia pun tertawa membacanya, dan berkomentar: ah, kau anggap aku gila ya...mungkin benar juga, tapi seprtinya kita dihimpit oleh persoalan-persoalan yang membelenggu pemakanaan terhadap kehidupan manusia.

****

Namun, ada beberapa tulisan lagi yang belum dibacanya, yang aku tulis setelah pembicaraan tempo hari, mungkin aku terpengaruh argumentasinya.

Meledak juga akhirnya, kemarahan itu, membakar gedung-gedung serta harta benda yang begitu kau cintai. Massa yang mungkin sukar kau mengerti maunya. Orang-orang yang menyimpan api dalam kepalanya dari waktu ke waktu, rasakan berjuta perasaan dalam dada bergalau tak karuan. Orang-orang yang memandang pameran kemewahan, namun mereka tiada mampu memilikinya, walau keringat telah diperas begitu deras, walau tulang belulang telah dibanting dengan begitu keras. Namun tetap saja yang terlihat ketidakadilan yang disodorkan di mana-mana. Mengapa kau tanyakan lagi; apa sebab kerusuhan itu terjadi. Darah membanjir. Air mata mengalir. Sedangkan jeritan itu tiap detik diperdengarkan meminta perhatianmu. Dan tak juga telingamu mendengarnya?

Jemariku melukis dengan gemetar sebuah kota yang gemuruh, yang mencampakkan orang--orang yang kesepian ke dalam plaza, diskotik, cafe yang riuh serta ruang hotel hendak lunaskan mimpi senggama. Karena industrialisasi (juga modernisasi + westernisasi) telah mencemplungkan mereka ke dalam limbah-limbah pabrik dan melemparkannya ke udara yang pengap. Namun tak jera juga manusia mengadu nasibnya dengan map penuh kertas di tangan mengetuk pintu-pintu kantor, dimana mimpi-mimpi akan di simpan di dalamnya .

Dan pada kerusuhan yang meledak di segala penjuru. Kita tatap wajah siapa. Selain orang-orang yang lelah dan benak penuh api, yang akan membakar, apa saja. Di tanganku yang gemetar, kota yang meledak menggigilkan harapan ke sudut-sudut peradaban.

 

Malang, 22 Juli 1997


 Kang Kapiyin

Oleh: Irham Effendy

Dengan keringat bercucuran dan langkah gontai lelaki tua itu masuk serambi rumahnya, duduk di kursi dengan tatapan kosong ke depan. Dihisapnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskan asapnya kuat-kuat hingga bertebaran melayang-layang di udara, menandakan bahwa ia sedang dalam kesedihan. Istrinya yang baru pulang dari pasar langsung kaget ketika melihat suaminya pulang dengan wajah kuyu.

"Ada apa, Kang?" tanyanya sambil duduk dekat suaminya.

Kang Kapiyin tak menjawab.

"Ada masalah apa, Kang?" tanyanya lagi, penasaran sekaligus khawatir.

"Juragan, Bu."

"Ada apa dengan juraganmu?"

Dua hari yang lalu Kardi, juragan Kang Kapiyin, datang ke rumahnya. Katanya ada pesanan sebuah lemari yang harus dikerjakannya. Kang Kapiyin menerima pesanan itu dengan senang hati. Satu buah lemari, berarti ia akan menerima upah dua puluh ribu rupiah. Lumayan. Apalagi sudah empat hari ini ia tidak masuk kerja karena sakit. Pesanan itu dari Kasrib dan harus selesai esok lusa, begitu kata juragannya. Mendadak ia ragu-ragu begitu tahu siapa pemesannya. Kasrib adalah seorang peternak udang yang sangat pelit dan rewel dalam menentukan segala hal. Semua orang tahu itu. Kang Kapiyin ingat bagaimana Kasan, tetangganya yang penjahit, dimaki Kasrib habis-habisan karena tidak bisa menyelesaikan baju yang dipesannya tepat pada waktunya. Kang Kapiyin tidak mau jika hal itu nanti terjadi pada dirinya. Ia takut akan kemarahan dan caci-maki Kasrib seandainya lemari yang dipesannya itu tidak bisa selesai esok lusa, apalagi badannya belum sehat betul. Di samping takut, ia juga malu bila dikatakan sebagai laki-laki yang tidak bertanggung jawab.

"Sudahlah, tidak usah mikir macam-macam. Aku sengaja memilihmu karena pekerjaanmu jauh lebih halus dan cepat daripada Kasim. Bagaimana?"

"Baiklah, akan aku usahakan. Kapan aku mulai?"

"Besok saja. Sebab kayunya baru datang nanti sore."

"Jadi, aku harus kerja lembur?"

"Ya," kata Kardi. "Soal ini," lanjutnya sambil menggesekkan ibu jari dengan telunjuknya, "tidak usah kuatir. Seperti biasanya, tentu ada ekstranya."

Sepulang juragannya ia memberitahukan hal itu kepada istrinya. Istrinya menyambut gembira dan berjanji akan menyiapkan ramuan kuat untuknya biar badan tidak loyo saat bekerja nanti.

"Tapi aku kok sedih, Bu."

"Apa yang kamu sedihkan, Kang?"

"Sepertinya aku tidak sanggup menyelesaikannya sehari-semalam."

"Ah, dicoba dulu, tho. Kalau kamu memang tidak sanggup, mau apa lagi."

"Itulah, Bu, Kasrib pasti akan marah-marah."

"Sudahlah, Kang, tidak usah kuatir. Dijalani saja dulu. Jangan mikir apa yang belum tentu terjadi."

"Waspada kan perlu, Bu."

"Ya. Tapi siapa tahu Kasrib akan memaafkanmu, seandainya, dan mudah-mudahan itu tidak terjadi, kamu tidak bisa menyelesaikannya tepat pada waktunya."

Keesokan paginya, di kala matahari baru menampakkan sinarnya, Kang Kapiyin sudah berada di rumah juragannya.

"Itu kayu-kayunya," kata Kardi sambil menunjuk tumpukan kayu di pojok gudang.

Segera dihampirinya tumpukan kayu itu dan diambilnya beberapa potong. Mulailah ia bekerja. Selang beberapa saat kemudian Kasim datang.

"Wah, ada tugas lembur rupanya," tukasnya sambil mengeluarkan alat-alat dari dalam kotak.

"Ya, begitulah. Itung-itung buat nomboki empat hari tidak kerja."

"Memang beginilah nasib kita. Tidak kerja, ya upah melayang. Maunya sih upah jalan terus meski bolos kerja, biar asap dapur tetap ngepul."

"Ah, kayak pegawai kantoran saja."

Sore telah datang. Kasim, karena tidak ada kerja lembur, harus pulang. Seandainya ia tetap ngoyo menyelesaikan pekerjaannya sehari-semalam padahal bukan waktunya kerja lembur, bayaran yang akan diterimanya tetap sama seperti kerja biasa. Untuk kerja lembur biasanya harus menunggu perintah dari juragan dulu.

"Aku pulang dulu, ya," kata Kasim, dan dijawab oleh Kang Kapiyin dengan anggukan.

Kang Kapiyin melanjutkan kembali pekerjaannya. Ia bekerja dan bekerja tanpa mengenal lelah. Ramuan yang telah diberikan istrinya ternyata bermanfaat banyak sekali. Ia tidak merasakan kelelahan yang berarti, hanya sedikit saja dan itu sudah biasa dialaminya setiap kali bekerja. Ketika lemari itu berhasil diselesaikan, ia menarik nafas panjang, lega.

"Bagaimana, sudah selesai?" tanya Kardi.

"Beres, Gan."

Kardi mengamat-amati lemari itu, mengelus-elusnya dari atas sampai bawah, dari muka sampai belakang, dan dari sisi kanan sampai sisi kiri, kemudian memandang Kang Kapiyin seraya mengacungkan ibu jarinya. Kang Kapiyin hanya tersenyum.

"Terimalah ini, 20 ribu termasuk ekstranya," kata Kardi.

"Lho, kok cuma segini?"

"Maunya berapa?"

"Masak upah kerja lembur hanya segini?"

"Dulu memang lebih dari itu, tapi sekarang sudah aku turunkan upah kalian. Malah kemarin Kasim hanya kuberi 18 ribu. Sementara kamu 20 ribu. Lebih banyak dari dia, kan? Lagipula, berapa sih Kasrib akan membayar lemarinya itu? Tidak banyak. Kalau seandainya kubayar kamu lebih dari itu, berarti aku akan torog. Torog artinya rugi. Dan aku tidak mau rugi."

"Tapi kenapa kami tidak dikasih tahu dulu?"

"Apa? Dikasih tahu? Buat apa dikasih tahu. Kamu itu siapa, hah? Kamu hanya pekerja biasa, tidak berhak ikut campur segala! Upah naik atau turun itu hakku, bukan hakmu! Pokoknya mulai besok dan seterusnya aku akan tetap membayarmu dan temanmu, Kasim, 16 ribu untuk sebuah lemari, dan tambah 2 ribu lagi bila dikerjakan lembur. Sekarang tidak apa-apa kamu kubayar 20 ribu. Itu soal kemurahanku saja. Kalau kamu tetap tidak mau, sekarang juga kamu boleh pilih: upah tetap seperti yang aku tentukan atau kamu keluar dari sini!"

Mendengar itu Kang Kapiyin diam sesaat, kemudian tanpa pikir panjang lagi ia berkata, "Baiklah, aku akan keluar dari sini. Tidak ada gunanya lagi bekerja di tempat orang serakah."

Ia meninggalkan Kardi dan pulang ke rumahnya dengan perasaan sedih. Bagaimana pun juga ia harus menghidupi keluarganya, seorang istri dan tiga orang anak. Namun, di pihak lain, ia tidak rela bila harga dirinya diinjak-injak.

"Sudahlah, Kang, memang sudah nasib kita. Untunglah kamu bisa kembali pulang dengan selamat, tidak sampai babak-belur."

"Aku tidak mikir itu, Bu. Biarlah terjadi apa yang telah terjadi, tidak ada gunanya disesali. Aku hanya sedih bila mikir anak-anak kita, terutama Sardula. Sebentar lagi dia pasti akan membutuhkan uang banyak untuk menamatkan sekolahnya. Lalu, dari mana uang itu aku peroleh?"

"Usaha tho, Kang. Apa kamu lupa kata-kata Wak Kaji Ali tempo hari?"

"Bumi Tuhan itu luas. Itu tho, Bu, maksudmu?"

"Ya. Cobalah kamu cari pekerjaan yang lain."

"Kerja apa?"

"Apa saja asal halal. Pasti bisa, Kang. Ayam saja tidak pernah kelaparan meskipun tidak ada yang memberinya makan. Apalagi manusia, makhluk yang derajatnya di atas ayam. Apa kamu tidak malu kalah dengan ayam?"

"Jangan disamakan dengan ayam tho, Bu. Ayam bisa makan apa saja. Lha, manusia, apa mau makan sisa, begitu?"

"Bukan itu maksudku, tapi usahanya itu lho yang patut ditiru. Cobalah kamu ikut Kairuman melaut. Bukankah dulu kamu pernah jadi nelayan sebelum kita menikah? Nah, tunggu apa lagi? Paling-paling kamu hanya perlu sedikit menyesuaikan diri dengan keadaan di laut."

Kang Kapiyin membenarkan apa yang diutarakan istrinya itu. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya. Jadi, tidak ada salahnya mencari rezeki di laut.

Senyum Kang Kapiyin mengembang di bibirnya. Bumi Tuhan itu luas. Di mana dipijak, di situ terdapat rezekinya, batinnya.

 


 

M A T A

Cerpen: Fathur Rochman E.

Mata yang meringis begitu yang dikatakan oleh Juli kepadaku.

Angin seperti menerpa mata itu yang berkilatan memandang pesona, semilir meciumi bumi yang rekah merah. Aku semakin tak faham, mata itu menjadi begitu menyeramkan sekaligus mempesonakan, mata itu pernah aku kenal saat menulis cerita cinta yang habis, terbakar kegalauan hati, yang membias saat aku membangunkan kerinduan yang amat menyayat.

Juli selalu bilang aku orang yang membabi buta, aku tak peduli sebab aku tak mampu menyembunyikan kebekuan hati ini untuk tak mengagumi mata itu, sungguh tak sekedar untuk menatap bahkan lebih dalam lagi mata itu adalah cuatan permata yang ingin kusentuhnya. Mata itu seperti anggur yang menebarkan aroma kenikmatan yang lama terendap. Seperti sekujur tubuhku yang menggigil memandangi tubuh yang terbungkus beribu cahaya, akan kukutip ayat-ayat kitab suci untuk menceritakan tentang mata itu. Juli selalu tak percaya padaku, ia katakan aku membual.

Ah, kau tak tahu apa-apa juli, kau tak tahu aku sedang menyelam di antara karang yang berserakan. Pada hempasan daun gelombang menerobos palung hati yang terdalam, di sudut ruang teristimewa dari ruang-ruang yang kubangun.

Aku tak akan lelah memandangi mata itu.

Seperti yang ku tulis pada surat-suratku yang terdahulu, aku memberikan seluruh kata yang kupunyai untuk memberikan pengakuan ini. Di sudut kota yang pernah kita jalani, di celah-celah malam yang meninggalkan sepotong bulan kering, aku ingat betul dimana saat itu, sebotol beer tak mampu kusuguhkan karena mata itu telah menjadi telaga yang dalam menebarkan keharuan dan sumber inspirasiku tak habis-habisnya kureguk.

Aku memandangi mata itu sepuas hatiku dan kau mengiyakannya.

Akupun hanyut ke negeri angan, kedalam tebaran irama yang aku tak faham, seperti alunan sahdu blues yang melengking dari balik nada gitar, entah aku tak tahu itu. Aku bukan bernyanyi irama pastoral sebagaimana Gide menulis gertrude, bukan pula Hemingway tentang awan kilimanjaro apalagi grunge Kurt cobain yang benci kehidupan, bukan, bukan itu, aku hanya menulis tentang matamu, swear haaya matamu.

Juli tak percaya ceritaku, aku di bilangnya fatalis.

(Aku hanya menganggap Juli tak faham ceritaku)

Separo kota dan berkilo-kilo aku mengejar mata yang kuceritakan itu, lembayung senja yang saat itu sebagai peristiwa zaman tentang aku bersekutu denganmu yang punya mata.Tak pernah berhenti aku mengingat itu sebagai moment yang paling bergengsi dari jengkal hidupku. Seperti pena dalam tanganku aku selalu menulisnya dalam lembar-lembar catatan, itulah irama kitab suci yang kuceritakan tadi. Kalau saja Juli aku ajak saat itu tentu ia akan faham ceritaku tentang pesona mata yang tak hanya seksis tapi sudah menjelma menjadi cerita-cerita yang bersejarah bagi diriku. Cerita tentang cinta.

Cinta menjadi catatan yang sangat abadi. Aku tak muluk menggambarkannya karena cinta itu penggambaran abadi kronik manusia. Sejarah selalu dipertautkan dengan kata cinta, cinta adalah gambaran kasih Tuhan dalam perilaku manusia. Cinta selalu menyertai gelombang sejarah manusia, Seperti dalam Tantrayana, Kamasutra, Mahabarata, Ramayana, Shakespeare, Rubayat-rubayat.

Ah, aku tak tahu tentang cinta dan filsafat-filsafatnya, aku hanya faham bahwa mata itu mengajarkan kepadaku tentang cinta. Aku sering mengatakan begitu pada Juli bahwa mata itu merupakan gugusan-gugusan keindahan yang menampilkan kehausan sekaligus kehampaan. Mata itu tahu aku memburunya untuk kurengkuh dan kusandingkan dalam haribaanku. Mata itu seperti bermil-mil logika yang terputus…

Belum apa-apa Juli sudah mengatakan aku ini absurd !

( Aduh Juli, Juli dengan apa lagi aku bisa menceritakan itu kepadamu )

Hari-haripun semakin dilalui dengan detak waktu yang berpejalan. Jarum angka itu menunjukkan ketakmengertian tentang dimana pertemuan itu di lakukan. Aku pernah bertanya padanya, saat-saat tempo berkejapan dan malam membias omong kosong,

", Saat waktunya aku pernah bertemu denganmu, aku pernah berharap tak akan melalui pernik-pernik kehampaan, mengalir saja begitu seperti mata sungai yang menyusur berkelindapan. Aku berharap menemukan saat-saat yang menyenangkan, menciumi aroma kebahagiaan di pelupuk matamu bukan sesuatu yang menjemukan dan melelahkan.Aku berharap engkau yang punya mata menjadi sumber imajinasiku yang kekal, bukan pula sebuah keabstrakan.Bagaimana menurutmu ?"

Juli menyelaku dengan tak sabarnya

"Apa yang bisa di jawab oleh yang punya mata itu, pasti ia menguap ngantuk".

" Sabarlah Juli dengar saja apa yang akan ku omongkan ini. Ia mengatakan kepadaku begini:

Sesuatu itu bukanlah seperti yang kau bayangkan kawanku.Bukankah mata seorang penyair itu seperti menembus batas-batas impian namun adakah aku hidup di dunia impian ? ataukah engkau memandangku selayak engkau memandang sesuatu impian semumu yang kau rakit pelan-pelan. Kawanku aku tahu bahwa mataku telah membuatmu kehilangan kesadaran alamiah kemanusiaanmu hingga aku dalam puncak kesadaran estetikamu yang tinggi. Aku sadar bahwa aku melihatmu bertopeng-topeng yang saat ini entah topeng siapa yang kau pakai di wajahmu? Saat lain aku bisa saja melihat wajahmu sebuah kelicikan, kemesuman, ambisi, neurosis seperti yang kau katakan kepadaku tentang kejemuan dan kelelahan.Ah, siapakah diri kita yang sebenarnya kawanku?".

Jangan bosan dulu juli mendengar ceritaku ini, aku ingin ceritakan kepadamu bagaimana saat itu aku seperti masuk pada sebuah kisaran yang membetotku pada ketelanjangan. Aku menatap mata itu seperti menantangku, ada sebuah kesinisan di sudut kelembutan itu. Ada kegairahan yang menebari pandangannya, kegairahan yang menusuk sekaligus penindasan. Benarkah aku merasa tertindas olehnya? tak akan ku katakan engkau sebagai l’eksploitation de l’homme par l’homme? adakah aku sekejam itu mengatakan kepadamu? tidak yang punya mata, tidak akan kulakukan itu. Aku begitu ketakutan untuk mengatakan sesuatu kepadamu. Aku sangat takut akan kegairahan ini, aku begitu gamang akan keindahan yang mungkin aku ciptakan sendiri. Begitu malam merangkak tiada berkata-kata, suara bukit kering dan jagung mengkelupas lepas tak bersuara, aku berteriak sekeras-kerasnya:

" Pergilah dari jendela hatiku, pergilah menguap entah kemana…!!!" "Pergilah dari tidurku, dari mimpiku, pergilah dari kehidupanku. Engkau adalah hasis, Engkau heroin yang mencanduiku, Pergilah, semua ini omong kosong dan anggaplah Nonsens !"

Tapi aku tak bisa berbuat sesuatupun pada engkau yang punya mata. Aku semakin tercekam, semakin tak kusadari semakin terbenamnya aku pada kegemasan akan sesuatumu yang entah apa itu…

Saat itu yang punya mata tak memberi komentar apapun. Ia hanya mendengarkan dan mendengar saja. Sepertinya ia menguyah angin lalu, Ia hanya menatap burung-burung gereja beterbangan kemudian hinggap di para-para. Ia seperti tak tahu apa-apa, Ia polos dan bening. Bagai tak berdosa Ia tinggal dalam diam dan bagai memerankan Padri Agung dalam majelis penyucian dan pemberkatan dimana para pendosa menanti giliran untuk menerima sawabnya. Aku semakin muak dengan sikap seperti itu. Ia seakan membiarkanku semakin terhisap kekuatan eros-nya. Ia semakin menguasaiku dan membelengguku dalam kekuasaan cintanya. Ia memperalat segala pesonanya untuk memperdayaku. Itu adalah semu dan Ia menawarkan bayang-bayang, Ia mimesis, Ia ilusi. Ia mengajakku berduaan dalam katarsis.Ia menjadikanku seperti Shisipus untuk mencintai sesuatu tanpa daya. Ia gila, Ia ajal, Ia bak Izroel yang berteriak:

", Tutuplah matamu dan bayanganku akan menjemputmu, tenanglah dalam mautmu."

Aku berteriak sekuat tenagaku ",Tak akan, Tak akan, Tak akan..!!"

Juli terkesiap oleh kehisterisanku, sepertinya ia tak menyangka kejadiannya seperti itu. Tapi ia tak berkomentar apapun maka ku teruskan ceritaku.

Hari-hari berikutnya seperti tak menawarkan perubahan. Aku semakin terasing dengan diriku. Ia yang punya mata semakin membuatku mabuk. Aku mengalami keterbelahan dimana aku mencintai dan membencinya. Keelokannya sekaligus virus mematikan. Ia sama sekali tak menceritakan apa maksudnya. Ia mengajakku untuk kembali membaca kitab-kitab suci baik yang bernama Al-qur’an, Injil, Wedha, Taurat, Zabur dan lain-lainnya. Saat lain ia mengajakku untuk hadir di studyclubnya yang memperkenalkan tentang Machiavellis, Kaisar Nero, Hittler, Dajjal, Lady Macbect, Frankkestein dan lebel-lebel lain yang menyeramkan: yang culas, serakah, licik. Semakin tak kumengerti dan jauh melangkah. Dunia di bangun dalam harmoni dan keseimbangan. Ada hitam ada putih, ada maya dan fana dan ada kebaikan maupun keburukan. Itu semua ada dalam diri yang punya mata, ia muncul dalam keduanya. Ia muncul dalam dunia kemalaikatan dan keiblisan. Aku semakin sulit untuk menyapanya dalam bentuknya yang sesaat-sesaat itu. Ia mempermainkanku sebagai manusia bodoh dan lemah. Ia mengajariku tentang Tuhan tapi ia juga menjebloskanku dalam kenisbian yang laknat. Aku menggumamkan sepotong syair Hesse yang diajarkan guruku, yang pernah bertemu di celah-celah malam, tentang :

Betapa kau mengeyangkan // Betapa kau mengeyangkan dan melelahkan // Betapa kau memabukkan! // Yang hari ini masih memijar // Akan segera terbenam //Angin akan segera gemerincing segera // Di atas kuburanku yang coklat. Aku selalu mengingatnya dan kadang-kadang menulisnya di buku harian.

Juli kau masih kuat mendengar ceritaku ini, baiklah kalau kau masih kuat mendengar ceritaku ini, akan ku teruskan.

***

Pertemuanku berikutnya dengan yang punya mata di sebuah kafe favoritku, pojok kota yang bening dan muram, pinggiran mainstreet. Ruangan kafe yang tak begitu luas dan hanya ada beberapa meja kursi. Suasana tak seramai kafe kota karena hanya ada beberapa gelintir orang, yang rata-rata sopir truk barang lintas propinsi. Di iringi musik lembut portir menghampiri kami dengan ramah dan selalu menyebut namaku dengan salah " Hallo Baba!" yang aku sendiri tak tahu siapa Baba itu. Malam berkelindapan, hujan habis sesore dan suara ilalang bergetaran. Di luar beberapa hewan malam menginap di kabel-kabel telefon.

" Apa yang ingin kau bicarakan malam ini ?" ia memecah keheninganku.

" Apa saja tentang kita "

" Tentang kita atau kepanikanmu tentang kita.Kenapa kau tak pernah menganggap suatu kewajaran dari apa-apa yang kita lakukan atau lebih tepatnya aku lakukan. Kau menganggapku secara berlebihan, tentang keterpesonaanku yang kau anggap sebuah kesemuan yang juga merupakan kekalahan bagimu.Aku berkuasa atas diriku yang sekaligus menyeretmu dalam kenisbian, ketertindasan.Yang sebenarnya saja kau tak lebih mahluk birahi yang bisa menatapku secara luaran, tentang estetika erotismu. Kau seorang Narsisus yang tak siap menerimaku secara utuh, tentang dua dunia yang harus di satukan, tentang dua kutub wilayahku yang harus bersandingan secara harmoni dan seimbang. Tuhan menciptakan dunia gelap dan dunia putih menjadi sebuah kesatuan yang tak bisa kita nafikan salah satunya. Itukan yang ingin kita bincangkan malam ini ?"

Aku tak bisa berkata apapun.Ia telah mengeluarkan segalanya yang ada dibenakku dengan retoris. Ia tahu segalanya.Untung Portir datang mengantarkan pesanan kami. Kami makan dan tak berucap apapun. Ini sungguh menolongku untuk menemukan kesadaranku kembali. Setelah selesai makan, ia menatapku dengan mata yang penuh pesona yang pernah aku temukan dulu namun di kerlingnya tak bisa menutupi sebuah kengerian yang dasyat.

" mungkin ada yang masih kau sembunyikan ?" Ia sudah memulai lagi.

" Aku tak akan bicara apapun, kau sudah bicara segalanya, kau sudah mengguliti semuanya dan kau puas bukan ?"

Ia hanya mendengus dan membuang mukanya ke jendela luar. Bintang gemintang berkerlip seperti lampu penjor. Tak ada bulan sepotongpun malam ini. Ia kemudian menyeringai

" Apa kau percaya tuhan ?"

" Ya "

" dan kau dalam iman ?"

" Betul dan demi iman itu pula aku telah memutuskan untuk memilih, aku sudah lelah dengan segala ini ."

" Apa yang kau lakukan dengan pilihanmu itu? aku tak percaya kau mempunyai kekuatan untuk memilih, Kau adalah orang yang mencari bukan orang yang mempercayai. Seberapa jauh kau mempunyai itu Hai fanatikus yang lelah, ha..ha.."

Ia tertawa terbahak-bahak dengan gairahnya, mata yang pernah ku kagumi itu tampak sinis sekali. Seakan-akan diriku ini sampah yang berjejalan di sudut-sudut kota yang seakan-akan di matanya hanyalah seonggok orang yang berteologi basi. Gila, betul-betul gila, ia kembali menunjukkan kuasa kerahibannya, ia menuntunku seperti iblis menuntun Faust untuk mempelajari pelan-pelan kesemburatan hidup dan menumbangkan apa yang ku yakini selama ini. Ini tak boleh terjadi, aku harus menentukan jalan. Jalan yang kupilih walau seperti racun sokrates, untuk kemenangan, untuk sebuah keyakinan, iya..sebuah keyakinan..hm, yang untuk Memilih!

"Aku telah memilihnya dan aku akan memutusi malam ini !" Kataku tegas walau terdengar masih gamang.

" Begitukah ?"

"Iya, memang begitu." Setengah menggumam aku memandangi malam yang semakin terlingkupi dingin.Tak ada bulan, yang ada gemintang.

Mendung menyelimuti kota kecil ini seperti menyimpan misteri. Malam pekat membusung dan ceceran kabut tipis, akan mengenang tentang kemenangan Faust, akan melatari sebuah altar eksekusi racun Sokrates, di titik kemenangan yang lain. Berikutnya semua seperti diam, bandul jam berhenti, tak ada apa-apa, sebuah Ketiadaan namun peristiwa telah terjadi….

***

Juli terhenyak, saat aku diam. Mata Juli yang penuh tanya dan ketakmengertian, ia menunggu sesuatu meluncur dari mulutku.

" Apa yang terjadi berikutnya?"

Aku menghirup nafas dalam-dalam, mataku nanar menatap Juli yang polos, Ia belum tahu apa-apa, Ia aku bayangkankan sosok putri di negeri peri yang tak bersinggung dengan dunia muram. Namun sesuatu harus di ceritakan kepadanya, Bahwa..

" Mata itu telah menyilaukanku, sejak awal aku diajar tentang cinta, bukan secara kasih tapi keterpesonaan, Aku ingin mata itu tetap menawarkan keindahan hakiki, keindahan yang tak tersentuh oleh dosa-dosa dunia. Mata itu sebuah kuil yang suci dan perawan, sebuah kesucian yang kekal. Aku tak menginginkan Kuil cintaku itu terkotori oleh kebusukan, kebobrokan, pendosaan yang akan mengurangi keabadian kuil cinta itu. Keabadian itu akan terjaga dalam ingatanku, saat aku masih mengenalnya dalam keindahan. Karena itu aku ingin mengekalkannya dengan meruntuhkan dan membinasakannya." Aku menarik nafas dalam-dalam.

" Juli, malam itu juga, aku tanpa ragu menembaknya, tepat peluru menembus pelipisnya. Ia kulihat dengan damai dan mata itu terpejam dengan tenang. Ia seperti sudah tahu bahwa ajal itu ada padanya bukan terhadapku. Ia sudah menjadi seonggok mayat, sesuatu yang fisik dan lambatlaun akan membusuk digerogoti ulat-ulat, diurai menjadi remah-remah tak bernilai. Keindahan fisik akan habis juga saat itu. Aku tak mau itu Juli, maka yang kulakukan adalah mengabadikannya dalam kremasi, bersama mayatnya di kuil tua akan terbakar bersama menjadi abu, menjadi asap membubung membawanya dalam memori kenangan. Seperti ajaran spiritual akan menjadi sakral jika memitos, jika dalam keabadian absurd Ia akan menjadi sejarah dan tulisan- tulisan abadi dalam lembar-lembarku. Ia telah membebaskanku dalam ketergantungan wadag, fisik. Penebusanku dibui, dikarantina adalah adalah batas fisikku namun fantasi keindahan itu lepas bagai kuda liar. Tapi aku keliru menafsirkan semuanya selama ini, satu hal yang tak kupungkiri kemungkinan apa yang dikatakan yang punya mata adalah benar. Aku menyesal pada saat ini aku belum bisa memilih… "

Juli melongo dan wajahnya timbul guratan tanda tanya besar.

"Jadi, Jadi Selama duapuluh tahun kau di penjara hanya untuk sebuah kekekalan cinta, kekekalan keindahan semu semacam itu. Kau gila, kau syaraf yang akut. Kau sudah teralienasi dari realitas kehidupan ini. Kau tak masuk akal, kau melakoni ini semua dengan resiko tinggi sementara kau belum menyadari apa yang kau lakukan. Lalu apa arti sebenarnya yang kau cari, apa artinya ini semua bagimu, bagiku, bagi orang-orang, tolong jelaskan apa artinya semua ini, semua omong kosongmu, semua bualanmu,jelaskan…?"

Semburan Juli seperti mitraliur, membuat keping-keping tanda tanya baginya. Aku tak peduli lagi, aku tinggalkan juli yang selalu membebaniku dengan perlu mengerti atau tidak orang-orang sekitarku terhadap apa yang kulakukan.

Aku tinggalkan semua ini, aku tinggalkan udara yang membekap. Sementara senjakala membentuk horison di ufuk barat, matahari mulai tenggelam dan suasana beranjak muram. Aku teringat ucapan Juli,

" Iya,..aku memang tidak masuk akal ."

 

Malang, september 1998