J I H A D
ANTARA DEFINISI SYAR’I DAN USAHA DISTORSI
I.
DEFINISI SECARA BAHASA
Kata
jahada–yajhadu-al juhdu wa al jahdu جهد-يجهد-الجهد-الحهد)
) mempunyai lebih dari 20 makna, semuanya berkisar pada makna
kemampuan (الطاقة ) ,
kesulitan (المشقة ) ,
keluasan (الوسع) (kemampuan
dan kesempatan), (القتال)
perang dan (
(المبالغة bersungguh-sungguh.
Karena itu para ahli tafsir, ahli hadits, ahli fiqih dan ahli
bahasa selalu mengartikan jihad secara bahasa dengan makna
mencurahkan segenap kemampuan atau (bersungguh-sungguh
menundukkan) kesulitan.
Syaikh Musthofa al Suyuthi
berkata,” Al jihadu merupakan mashdar dari kata jaahada-jihaadan
wa mujaahadatan maknanya bersunggh-sungguh (mencurahkan kemampuan)
dalam memerangi musuh.”
Kata
jahada-juhdun dan jahdun sudah mempunyai makna mubalaghah
(bersungguh-sungguh). Apalagi kata jihad yang berasal dari kata
jaahada dengan sighah mubalaghah, tentulah maknanya
bersungguh-sungguh kuadrat. Ini menunjukkan bahwa kedua belah
pihak saling mengerahkan kemampuan maksimalnya untuk mengalahkan
lawannya..
Itulah sebabnya para pakar bahasa menyebutkan makna jihad
secara bahasa adalah :
بَذْلُ أَقْصَي مَا يَسْتَطِيْعُهُ اْلإِنْسَانُ مِنْ طَاقَةٍ
لِنَيْلِ مَحْبُوْبٍ أَوْ لِدَفْعِ مَكْرُوْهٍ.
“Mengerahkan seluruh kemampuan untuk mendapatkan kebaikan dan
menolak bahaya”
.
Atau :
اَلْمَشَقَّةُ بِبَذْلِ أَقْصَى مَا فِيْ الطَّاقَةِ وَالْوُسْعِ
“
Menanggung kesulitan dengan mengerahkan segala kemampuan”.
II.
DEFINISI SECARA SYAR’I.
Bila
disebutkan kata jihad fi sabilillah maka maknanya adalah berperang
melawan orang-orang kafir untuk menegakkan kalimatulloh. Inilah
definisi yang disebutkan oleh para ulama salaf, berdasar ayat-ayat
dan sunah-sunah Rasulullah. Begitulah fatwa Rasulullah ketika
ditanya oleh seorang shahabat tentang makna jihad :
عَنْ عَمْرُو بْنُ عَبَسَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ
يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ ؟ قَالَ أَنْ يَسْلِمُ قَلْبُكَ
وَأَنْ يَسْلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِكَ وَيَدِكَ قَالَ
فَأَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ؟قَالَ: اَلإِْ يْمَانُ قَالَ
:وَمَااْلإِ يْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ قَالَ فَأَيُّ
اْلإِيْمَانِ أَفْضَلُ؟
قَالَ اَلْهِجْرَةُ قَالَ وَمَا الْهِجْرَةُ؟ قَالَ أَن ْتَهْجَرَ
السُّوْءَ قَالَ فَأَيُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ؟ قَالَ اَلْجِهَادُ
قَالَ وَمَا الْجِهَادُ؟ قَالَ أَنْ تُقَاتِلَ الْكُفَّارَ إِذَا
لَقِيْتَهُمْ قَالَ فَأَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ قَالَ مَنْ
عَقَرَ جَوَادَهُ وَأُهْرِيْقَ دَمُهُ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ثُمَّ عَمَلاَنِ هُمَا أَفْضَلُ اْلأَ
عْمَالِ إِلاَّ مَنْ عَمِلَ بِمِثْلِهَا: حَجَّةٌ مَبْرُوْرَةٌ
أَوْعُمْرَةٌ.
Dari
Amru bin Abasah ra. beliau berkata,” Ada orang bertanya kepada
Rosululloh,”Wahai Rosululloh, apakah Islam itu ?” Beliau
menjawab,” Hatimu merasa aman, dan juga orang-orang muslim merasa
aman dari gangguan lidah dan tanganmu.” Orang tersebut
bertanya,”Lalu Islam bagaimanakah yang paling utama?’ Beliau
menjawab,”Iman.” Orang tersebut bertanya lagi,” Apakah iman itu?”
Beliau menjawab,” Kamu beriman kepada Alloh,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya dan
kebangkitan setelah mati.” Orang tersebut bertanya lagi,”Lalu iman
bagaimanakah yang paling utama itu?” Beliau menjawab,”‘Hijroh.”
Orang tersebut bertanya lagi,” Apakah hijroh itu?” Beliau
menjawab,”Engkau meninggalkan amalan jelek.” Orang tersebut
bertanya lagi,”Lalu hijroh bagaimanakah yang paling utama itu?”
Beliau menjawab,” Jihad.” Orang tersebut bertanya lagi,”Apakah
jihad itu?” Beliau menjawab,” Engkau memerangi orang kafir jika
kamu bertemu mereka.” Orang tersebut bertanya lagi,” Lalu
bagaimanakah jihad yang paling utama itu?” Beliau menjawab,” Siapa
saja yang terluka kudanya dan tertumpah darahnya”, Rosulullah
Shollallahu ‘Alahi wasallam berkata: kemudian dua amalan yang
merupakan amalan yang paling utama kecuali barang siapa yang bisa
beramal yang menyerupainya ; haji mabrur dan ‘umroh.
Bahkan
syaithan pun paham bahwa jihad itu maknanya perang di jalan Allah
demi meninggikan kalimat Allah, sebagaimana disebutkan dalam
hadits :
عَنْ سِبْرَةَ بْنُ أَبِيْ فَاكِهَةِ: إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ
ِلاِبْنِ أَدَمَ بِأَطْرَقِهِ فَقَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ اْلإِسْلاَمِ
فَقَالَ لَهُ تُسْلِمُ وَ تَذَرُ دِيْنَكَ وَ دِيْنَ أَبَائِكَ وَ
أَبَاءِ أَبِيْكَ ؟قاَلَ: فَعَصَاهُ فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَعَدَ لَهُ
بِطَرِيْقِ اْلِهجْرَةِ فَقَالَ لَهُ:تُهَاجِرُ وتَدَع ُأَرْضَكَ
وَسَمَاءِكَ وَإِنَّمَامَثَلُ اْلمُهَاجِرِ كَمَثَلِ الْفَرَسِ فِيْ
الطِّوَلِ فَقَالَ فَعَصَاهُ فَهَاجر.قَالَ ثُمَّ قَعَدَ لَهُ
بِطَرِيْقِ الْجِهَادِ فَقَالَ لَهُ: هُوَ جُهْدُ النَّفْسِ
وَالْمَالِ فَتَقَاتَلَ فَتُقْتَلُ فَتُنْكَحُ الْمَرْأَةُ وَ
يُقَسَّمُ الْمَالُ ؟ فَعَصَاهُ فَجَاهَدَ.فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كاَنَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ
الْجَنَّةَ.أَوْ قُتِلَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ
يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ, وَ إِنْ غَرَقَ كَانَ حَقًّاعَلَى اللهِ
حَقًّا أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ وَقَصَتْهُ دَابَّتُهُ كَانَ
حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخلَِهُ الْجَنَّةَ.
Dari
Sibrah bin Abi Fakihah bahwasanya Rasulullah bersabda,"
Sesungguhnya setan menghadang manusia di setiap jalan kebaikan. Ia
menghadang manusia di jalan Islam," Apakah kau mau masuk Islam dan
meninggalkan agamamu, agama bapakmu dan agama moyangmu ?" Ia tidak
menururti setan dan masuk Islam.Maka setan menghadangnya di jalan
hijrah," Kau mau hijrah, meninggalkan tanah air dan langit yang
menanungimu ?Ia tidak menururti setan dan berhijrah maka setan
menghadangnya di jalan jihad," Kau mau berjihad, sehingga terbunuh
dan istrimu diambil orang serta hartamu dibagi-bagi ?" Ia tidak
menururti setan dan tetap berjihad. Siapa saja melakukan hal, itu
maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk memasukkannya ke surga.
Dan siapa saja terbunuh maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk
memasukkannya ke surga. Dan siapa saja tenggelam (karena jihad
atau hijrah—pent) maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk
memasukkannya ke surga. Dan siapa saja terlempar dari kendaraannya
(saat hijrah atau jihad) maka sudah menjadi kewajiban Allah untuk
memasukkannya ke surga.”
Dalam
kesempatan yang lain Roslulloh bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمّ فَقَال
َدُلَّنِي4ْ
عَلَى عَمَلٍ يَعْدِلُ الْجِهَادَ قَالَ لَا أَجِدُهُ قَالَ هَلْ
تَسْتَطِيْعُ إِذَا خَرَجَ الْمُجَاهِدُ أَنْ تَدْخُلَ مَسْجِدَكَ
فَتَقُوْمَ وَلَا تُفْتِرَ وَتَصُوْمَ وَلَا تُفْطِرَ قَالَ وَمَنْ
يَسْتَطِيْعُ ذَلِكَ. قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ إِنَّ فَرَسَ
الْمُجَاهِدِ لَيَسْتُنَّ فِيْ طِوَلِهِ فَيُكْتَبُ لَهُ حَسَنَاتٍ.
Dari
Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada
Rosululloh saw. Lalu berkata,”Tunjukkan padaku sebuah amalan yang
bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya.
Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk
masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak
berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal
tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda
seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.”
Keterangan
: Puasa
dan sholat adalah bagian dari jihadun nafs, namun demikian
Rosululloh mengatakan,” Aku tidak mendapatkan amalan yang bisa
menyamai jihad.” Hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan
jihad kalau berdiri sendiri adalah perang melawan orang-orang
kafir, bukan mujahadatun nafs, bukan dakwah, bukan thalabul ilmi,
bukan membangun sekolah dan pondok pesantren dan amal-amal sholih
lainnya.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قِيْلَ
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ النَّاِس أَفْضَلُ ؟ فَقاَلَ رَسُوْلُ
اللهِ صلي الله عليه وسلم مُؤْمِنٌ مُجَاهِدٌ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ. قَالُوْا ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ مُؤْمِنٌ فِيْ
شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَتَّقِي اللهِ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ
شَرِّهِ.
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh
saw..” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?”
Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan
Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian
siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada
dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia
karena kejahatan mereka .”
Keterangan :
Orang mukmin yang menyendiri di tempat sepi seperti suatu lembah,
gunung, daerah pedalaman dll, sambil bertaqwa kepada Alloh,
melakukan sholat, tekun beribadah kepada Allah disebut sebagai
mu’tazil (orang yang beruzlah). Pekerjaannya disebut uzlah. Jelas
sekali uzlah dengan seluruh bentuk ibadah di dalamnya termasuk
berjihad melawan hawa nafsunya, namun Rasulullah tidak menyebutnya
sebagai seorang mujahid (orang yang berjihad) dan uzlahnya juga
tidak beliau sebut sebagai jihad. Beliau menyebutkan orang yang
berjihad dengan jiwa dan raganya di jalan Alloh, itulah mujahid
sesungguhnya. Hal ini menunjukkan bahwa kata jihad apabila berdiri
sendiri artinya adalah perang melawan orang-orang kafir.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ
وَبِرَسُوْلِهِ وَأَقَامَ الصَّلاَةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا
عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ جَاهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
أَوْ جَلَسَ فِيْ أَرْضِهِ اَلَّذِيْ وُلِدَ فِيْهَا فَقَالُوْا يَا
رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُبَشِّرُ النَّاسَ قَالَ إِنَّ فِيْ
اْلجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةً أَعَدَّهَا اللهُ لِلْمُجَاهِدِيْنَ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنَ دَرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ
السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ .
Dari
Abu Huroiroh ra. bahwasanya Rosululloh bersabda,” Barangsiapa
beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya, menegakkan sholat dan
menunaikan shaum Romadhon, maka Alloh pasti akan memasukkannya ke
dalam syurga, baik dia berjihad di jalan Alloh maupun duduk di
daerah ia dilahirkan.” Para shahabat berkata,” Bagaimana kalau hal
ini kami kabarkan kepada orang-orang?” Beliau menjawab,”
(jangan!!!-pent) Sesungguhnya di syurga ada seratus tingkatan yang
disiapkan untuk para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua
tingkatan sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”
Keterangan:
Rosululloh menamakan orang-orang yang duduk ditempat tinggalnya
tidak ikut berperang di jalan Allah bukan mujahid sekalipun ia
shalat, zakat, haji, shaum, berdakwah dan mengerjakan amal-amal
sholih lainnya, padahal itu semua termasuk jihad melawan hawa
nafsu. Dari sini jelas, jihad maknanya adalah berperang, bukan
dakwah, atau amal sholih lainnya.
Setiap
hadits yang menerangkan fadlilah jihad maka yang dimaksud adalah
jihad yang sebenarnya yaitu perang melawan orang-orang kafir dalam
rangka menegakkan kalimatulloh dan tidak dibawa kepada
pengertian-pengertian lain baik thalabul ilmi, dakwah, mendirikan
pondok pesantren dan madrasah membangun jembatan, menyantuni fakir
miskin dan anak-anak yatim dan amal sholih lainnya.
Pendapat ulama salaf dalam hal ini :
Madzhab Hanafi:
1.
Imam Ibnul Humam berkata,” Jihad adalah mendakwahi orang kafir
kepada agama yang benar dan memerangi mereka kalau tidak mau
menerima. [Hasyiyah Ibnu abidin 4/121, lihat Fathul Qodir 5/436].
2.
Imam Al-Kasani berkata,” Mengerahkan segala kemampuan dengan
berperang di jalan Alloh dengan nyawa, harta dan lisan atau
lain-lain atau melebihkan (begitu mencurahkan kemampuan) dalam hal
itu.”
Madzhab Maliki:
Imam
Ibnu Arafah
berkata,” Perangnya orang Islam melawan orang kafir yang tidak
terikat perjanjian untuk meninggikan kalimatulloh, atau karena ia
mendatanginya, atau karena ia memasuki daerahnya
Ibnu
Rusyd
berkata,” Setiap orang yang berpayah-payah karena Allah berarti
telah berjihad di jalan Allah. Namun sesungguhnya jihad fi
sabilillah kalau berdiri sendiri maka tidak ada maksud
lain selain memerangi orang kafir dengan pedang sampai mereka
masuk Islam atau membayar jizyah dalam keadaan hina.”
Madzhab Syafi’i:
Imam
Al-Bajuri
berkata,” Jihad artinya adalah berperang di jalan Alloh.”
(Hasyiyatu Al-Bajuri ‘Ala Ibni Al Qosim 2/261].
Imam
Ibnu Hajar
berkata,” Dan secara syar’i adalah mengerahkan tenaga dalam
memerangi orang kafir.” [Fathu al Bari 6/3].
Imam
al Qasthalani
berkata,” Memerangi orang kafir untuk memenangkan Islam dan
meninggikan kalimat Allah."
Madzhab Hambali:
“Secara
syar’i adalah memerangi orang-orang kafir.”
“Jihad
adalah perang dengan mengerahkan segala kemampuan untuk
meninggikan kalimatulloh.
Imam
Al Ba’ly
berkata,” Jihad secara syar’i adalah ungkapan khusus untuk
memerangi orang-orang kafir.
Pendapat ulama salaf ini ditegaskan kembali oleh para ulama
kontemporer:
Dr.
Abdulloh Azzam
berkata,” Empat imam madzhab bersepakat bahwasanya jihad adalah
perang dan tolong-menolong di dalamnya. Kesimpulannya: 1) Kata ”jihad”
kalau berdiri sendiri maka artinya adalah perang dan kata
“fii sabiilillah” apabila berdiri sendiri artinya
adalah jihad.
Beliau juga berkata," Kata jihad jika disebutkan secara
sendirian (tanpa qarinah—pent) maka maknanya adalah perang dengan
senjata, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dan disepakati
empat imam madzhab.
Syaikh Abdul Baqi Abdul Qadir Ramdhun
berkata,” Jihad secara istilah. Ketika disebutkan kata jihad fi
sabilillah maka maknanya adalah memerangi orang-orang kafir,
menyiapkan diri untuk hal itu dan beramal di jalan hal itu.”
DR.
Abdullah Ahmad Qadiri
berkata,” Adapun pengertian jihad secara syar’i, menurut
mayoritas ulama fiqih berkisar dalam arti orang Islam memerangi
orang kafir.”
Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi
berkata,” Adapun dalam istilah syar’i maka maknanya adalah
memerangi orang-orang kafir demi meninggikan kalimat Allah.”
DR.
Ali Nufai' al Ulyani
berkata," Adapun definisi jihad menurut syar'i adalah memerangi
orang kafir untuk meninggikan kalimat Allah dan saling membantu
dalam hal itu."
Syaikh Salman Fahd Audah
berkata,” Jihad melawan orang kafir. Yaitu dengan memerangi mereka
dan dengan mengerahkan segala hal yang dibutuhkan dalam peperangan
ini baik harta, pengalaman dan lain-lain. Sebagaiman disebutkan
dalam hadits Anas,”Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan
harta, nyawa dan lisan kalian.” Bila disebut kata jihad fi
sabilillah maka maknanya adalah jihad dengan makna ini(perang
melawan orang kafir),sebagaimana diungkapkan imam Ibnu Rusyd,
(beliau menyebutkan perkataan Ibnu Rusyd).”
Begitu
juga dengan para ulama lainnya, seperti Syaikh Abdul Aziz
Abdullah bin Baz dalam risalah beliau “Jihad dan keutamaannya”..
Dan
kadang-kadang kata jihad digunakan juga untuk jihadun nafs,
jihadusy syaithon dan jihad-jihad yang lain. Diantaranya adalah:
وَجَاهِدُوْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيْرًا
“Dan
jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.”
(QS.Al-Furqon: 52)
أََيُ اْلِجهَادِ أَفْضَلٌ ؟ فَقَالَ : كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ
سُلْطاَنٍ جَائِرٍ.
“Jihad apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Berkata benar di
hadapan pemerintah yang dholim.“
عَنْ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ : مَا مِنْ نَبِيٍ
بَعَثَهُ اللهُ فِيْ أُمَّةٍ قَبْلِيْ إِلَّا كَانَ لَهُ مِنُ
أُمَّتِهِ حَوَارِيُوْنَ وَأَصْحَابُ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَ
يَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تُخَلِفُ مِنْ بَعْدِهِمْ
خٌلٌوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا لَا
يُؤْمِرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ
جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بُقَلِبُهُ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَ لَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ
اْلِايْمَانِ حُبَّةٌ خَرْدَلٍ
Dari
Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tak seorang nabi pun
yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat– shahabat dan
penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya
dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang
setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan
dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa
yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah
mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin
dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah
itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. “
اَلْجِهَادُ أَرْبَعٌ الَأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
اْلمُنْكَرِ وَ الصِّدْقُ فِى مَوَاطِنِ الصَّبْرِ وَ شَنَانِ
الفَاسِقِ
“Jihad
itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat
yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.”
Akan tetapi jika kata jihad diungkakan secara mutlak (secara
lepas) maka artinya adalah perangmelawan orang-orang kafir untuk
menegakkan kalimatulloh sebagai mana diatas. Sebagai mana yang
dikatakan Imam Ibnu Hajar berkata," Secara syar'i adalah
mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan
kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu
dan setan." [Fathu al Bari 6/5]. Imam Ibnu Rusydi
berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang
musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena
Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi
sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri
(mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan
orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau
membayar jizyah dengan rendah diri. Abdul Akhir Hammad
berkata:”Dan perkataan yang kami nukil ini kami tidak dapatkan
seorangpun yang menyelisihinya dan begitu pula nas-nas syar’I
tidaklah memberikan pengertian kecuali sebagaimanan yang kami
sebutkan ini.”
Dalam kesempatan yang lain beliau berkata:” Yang benar, memang
jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan
godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi
musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak
ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau
diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”.
Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan
atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk
jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad
fii sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut
bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang
menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum
yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
Demikian
juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian
diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi
semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal
ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan
orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi
seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang
mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah.
Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik
dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus
berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad
dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan
harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah
wajib juga.”
Ustadz Hasan Al-Banna
berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban
yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan
dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. :
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ وَلَمْ يَنْوِ الْغَزْوَ مَاتَ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau
berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”
Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan
peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara
keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa
kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah
dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian
dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh
mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang
harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya
diberikan kepada mujahid.
وَجَاهِدُوْا فِيْ اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“ Dan
berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad" ( Surat
alhajj : 78)
.
Dengan
demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan
kami.”
Syaikh Said Hawa
menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami
sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon
bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan,
jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.”
Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan
secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.”
III.
DISTORSI MAKNA JIHAD :
Saat
ini, faridzah jihad merupakan faridzah yang paling banyak mendapat
serangan baik dari orang-orang kafir maupun dari orang-orang Islam
sendiri, baik kalangan pengikut orientalis bahkan juga sebagian
ulama yang mukhlish –tanpa mereka sadari ikut menikam jihad --.
Serangan-serangan ini hadir lewat berbagai pemahaman yang mereka
sebarkan yang bertentangan dengan Al Qur’an, As Sunah, ijma’
salaful umah dan realita kehidupan umat Islam zaman keemasan
mereka. Di antara sebagian pemahaman yang melenceng dalam memahami
makna jihad ini adalah :
A.
Makna Jihad Secara Syar’i Bukan Perang
Ada
sebagian orang saat ini yang mulai mengutak-atik makna jihad ini.
Mereka memandang memaknai jihad dengan kata perang melawan
orang-orang kafir merupakan pengertian yang picik, sempit dan
justru semakin memojokkan Islam yang selalu dituduh pihak
orientalis sebagai agama yang tesebar dengan pedang dan kekerasan,
agama teroris dan sebagainya. Untuk itu, mereka mencari-cari dalil
dari Al Qur’an dan As sunah, kiranya memperkuat pendapat mereka
yang “moderat” tersebut. Di antara dalil yang mereka
gunakan adalah :
Firman
Alloh :
وَجَاهِدُوْا فِى الله حَقَّ جِهَادِهِ
“Dan
berjihadlah untuk Alloh dengan sebenar-benar jihad.”(QS. Al-Hajj:
78).
وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيْرًا
“Dan
jihadilah mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan jihad yang besar.”
(QS.Al-Furqon: 52)
وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ
“Dan
berjihadlah dengan harta dan jiwa kalian di jalan Alloh.”
جَاهِدُوْا اْلمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَ
أَلْسِنَتِكُمْ
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan harta, jiwa dan
lidah kalian.” (Hadits shohih, HR. Abu Dawud no. 2504,
An-Nasa’i 7/7 dan 51, Ahmad 3/124,153,251, Ad Darimi 2/132 no.
2436, Al Baghawi no.3410).
أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ ؟ فَقَالَ : كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
“Jihad
apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Berkata benar di hadapan
pemerintah yang dholim.“ (HR Ahmad, Nasa’i 7/61, dihasankan Al
Mundziri dalam At Targhiib wa at Tarhib 3/168].
عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ أَنَّ رَسُوْلَ الله قَالَ : مَا مِنْ نَبِيٍّ
بَعَثُهُ الله فِي أُمَّةٍ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ
أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَ
يَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ ُثمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ
خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ وَ يَفْعَلُوْنَ مَا لاَ
يُؤْمَرُوْنَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ
جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَ لَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ
اْلاِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.
Dari
Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah bersabda,” Tak seorang nabi pun
yang diutus sebelumku kecuali ia mempunyai shahabat– shahabat dan
penolong-penolong yang setia. Mereka mengikuti sunnah-sunnahnya
dan meengerjakan apa yang diperrintahkannya. Kemudian datang
setelah mereka kaum yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan
dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Maka barang siapa
yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia adalah
mukmin dan barang siapa berjihad dengan lisannya dia adalah mukmin
dan siapa yang berjihad dengan hatinya maka dia mukmin. Setelah
itu tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi. “ [H R .
Muslim Bab Iman, no. 50].
اَلْجِهَادُ أَرْبَعٌ الَأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
اْلمُنْكَرِ وَ الصِّدْقُ فِى مَوَاطِنِ الصَّبْرِ وَ شَنَانِ
الفَاسِقِ
“Jihad
itu ada empat: amar makruf, nahi munkar, berlaku benar pada tempat
yang menuntut kesabaran dan membenci orang-orang fasik.”(HR. Abu
Nu’aim dalam Al Hilyah, hasan].
Di
antara para ulama yang mempunyai pemahaman ini adalah DR. Yusuf
Qardhawi [dalam buku beliau Fiqhu az Zakat] Di sini hanya akan
kita sebutkan pendapat Dr. Yusuf Qardhawi saja karena
pendapat beliau sudah mewakili pendapat para ualama yang
sependapat dengan beliau dalam hal ini. Alasan lain karena beliau
termasuk ulama kontemporer yang kredibilitas keilmuan beliau
diakui dan menjadi tempat rujukan umat Islam. Dr. Yusuf
Qardhawi berkata,” Oleh karena itu saya condong untuk tidak
memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan
baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit
cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti
peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu
menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan
tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan,
sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer…Sesungguhnya
berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keislaman yang kami
sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash
maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara
qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk
menolong din Allah, membelanya dan melawan musuh – musuhnya serta
menegakkan kalimatullah di muka bumi.
Beliau
juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali
dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan
sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar,
diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah,
pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya. Adapun
yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah
bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk
mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan
khilafah Islamiyyah, umat dan peradabannya.”
Beliau
lebih memperjelas pendapat ini,” Sesungguhnya mendirikan
pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar,
menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh
benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling
bertarung adalah jihad fi sabilillah.
Jawaban
Atas Berbagai Dalil di Atas :
Definisi
jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang
dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan
kemampuan bisa tergolong jihad—menurut bahasa. Namun, Islam telah
meletakkan kata jihad dengan pengertian syar'i. Ratusan kata jihad
tersebar di dalam Al Qur'an dan As Sunah. Pelaksanaan dan
hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan
sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah,"
Makna syar'i lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara',
daripada pengertian bahasa maupun 'urf."
Telah
kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur’an, As sunah dan
pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata
jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan
pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata
jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan,
harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa
dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada
qarinah (dalil/hal lain) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai
dengan makna pokoknya.
Imam Ibnu Hajar berkata," Secara syar'i adalah mengerahkan
kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang
digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan.".
Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif
adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang
yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan
Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah
apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali
jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk
Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.”
[Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu
Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269].
Karena itu, bila sebagian besar umat Islam memahami jihad itu
perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan
pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang
orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan
mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai
jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada
Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada
tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam.
Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan
tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi
yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak
karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash.
Bila
dikatakan makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan artinya
kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti
sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah,
tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan
madrasah sebagai upaya pembangunan kader da’i, pembangunan
jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua
penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana
tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini,
baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu
hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi. Adapun
adanya mayoritas masyarakat umat Islam yang memahami jihad sebagai
jihad dan tidak menamai aktifitas keislaman lain dengan kata
jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan
bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan
membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut
jihad maka umat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan
jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya
berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz ngajar
di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana
yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat
senjata) malah disebut teroris dst. Para ulama sendiri menyebut
jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad.
Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,”Dakwah ada
dua: Dakwah dnegan senjata yaitu perang dan dakwah dengan lisan
yaitu tabligh.” [Badai-u al Shanai’ 9/4304]
Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau
menyebut jihad dengan dakwah. Walahu A’lam bish Shawab.
Jadi,
yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna
perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau
mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna
sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna
bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita
pahami --- sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad
maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah ---
hal-hal berikut :
Memang
benar ayat-ayat tadi menerangkan keutamaan dan arti penting jihad
da’awy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai jihadan kabiran
(jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari
pengertian ini, maksudnya bukan berarti dakwah itu jihad yang
paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan
dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi
masalah karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan
umat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di
Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada.
Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun ---menjelang hijrah beliau
ke Madinah--- ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang
penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,”Kita belum
diperintahkan untuk itu.” Yang diperintahkan saat itu adalah
jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama
saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang
kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari
ayat niha’i dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah
sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum niha’i. Orang
yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama
menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini
semua menunjukkan jihad itu makna syar'inya perang. Dengan
demikian setiap jihad itu berarti "perang", meskipun tidak setiap
perang itu masuk kategori jihad." [DR. Muhammad Khoir Haikal,
Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar'iyah, 1/74-75].
Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah,
demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat
Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi
sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu
Hajar,”Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah
adalah jihad.”
Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk
makna selain jihad/perang :
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ اَلْخُدْرِيُّ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ :
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ صَاَم
يَوْمًا فِي سَبِيْلِ الله بَعَّدَ الله ُوَجْهَهُ عَنِ النَّارِ
سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا.
Dari
Abu Sa’id ia berkata,” Rasulullah bersabda,” Tidak ada seorang
hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali
Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu
sejauh 70 tahun.” [Bukhari no.2840, Muslim no. 1153].
Imam
Ibnu Jauzi
berkata,” Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilullah maka
maknanya adalah jihad.”
Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang
thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok dst. Semua ulama
memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang
melawan orang kafir. Wallahu A’lam.
Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah
merupakan jihad yang paling agung atau memaknai jihad secara
syar’i dengan perang merupakan hal yang salah. Makna hadits–hadits
tadi ---wallahu A’lam--- adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar
dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan
beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus
amar ma’ruf di hadapan sultan yang dzalim. Namun makna
hadits-hadits ini juga bisa ---bahkan mungkin lebih pas--- bila
diterapkan dalam jihad dnegan makna perang, di mana nyawa dan
harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi
pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa
nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir merupakan jihad melawan
hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta
dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukm-hukum
fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan
tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dst, melebihi jihad
qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan
jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad
melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu A’lam.
Dalam
banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan
hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk
menyimpulkan makna jihad secara syar’i bukan hanya perang saja,
atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan
picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم أَيُّ اْلأَعْمَاِل أَفْضَلٌ ؟ قَالَ : إِيْمَانٌ
بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : جِهَادُ
فِي سَبِيْلِ الله. قِيْلَ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : حَجٌّ
مَبْرُوْرٌ.
Dari
Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ditanya,” Amal apakah yang
paling utama ?” Beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan
Rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau
menjawab,” Jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau ditanya lagi,”
Lalu apa?” Beliau menjawab,” Haji yang mabrur.” [Bukhari no. 1519
]
عَنِ بْنِ مَسْعُوْدٍ سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ,
قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ, أَيُّ اْلعَمَلِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ:
اَلصَّلاَةُ عَلَى مِيْقَاتِهَا. قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ
:ثُمَّ بِرُّ اْلوَالِدَيْنِ. قُلْتُ : ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ :
اَلْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ. فَسَكَتُّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَ
لَوْ اِسْتَزَدْتُهُ لِزَادَنِي.
Dari
Ibnu Mas’ud,” Saya bertanya kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah,
amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Shalat tepat pada
waktunya.” Saya bertanya lagi,“Lalu apa?” Beliau menjawab,”
Berbakti pada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [Bukhari no.2782].
Dan
hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas.
Dalam
berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai
dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu saat itu. Imam
Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Mas’ud tadi,”
Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits
lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama
bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya
dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka
butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk
mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan
(penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad
itu awal Islam adalah sebaik-baik amalan karena merupakan wasilah
untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memngkinkan untuk
melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat
lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni
orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau
bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya,
namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya
adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk (من)
dibuang, dan itulah yang dimaksudkan.”
Dengan
ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya
bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama inii. Kaidah
yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan
jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut,” Seutama-utama
jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.”
Terkadang bersabda,” Seutama-utama jihad adlah engkau berjihad
melawan nafsumu demi Allah.” Terkadang beliau bersabda,”Orang
yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah.” Terkadang juga
bersabda,”Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama
yaitu haji yang mabrur.”Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai
kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian,
tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang
mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan
itulah makna syar’i dari kata jihad. Wallahu A’lam.
Agar
jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas
penggunaan berbagai istilah dalam Islam :
Istilah
Syar’i Dan Pemakaiannya
Dalam
Islam, istilah-istilah syar’i selalu mempunyai dua makna; makna
bahasa dan makna syar’i atau istilah. Dalam penggunaannya, makna
yang dipakai pedoman dan penilaian adalah makna syar’i/istilah.
Sebagai contoh :
a).
Sholat maknanya secara bahasa adalah doa, sedang secara syar’i
perbuatan dan perkataa tertentu dengan aturan tertentu, dimulai
dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa
“doa” ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap
kali kata sholat disbut maka yang langsung dipahami oleh siapapun
adalah makna keduanya, makna syar’inya. Saat sholat dhuhur tiba,
misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur
berjama’ah, namun ada seseorang memojok dan tdak ikut sholat, ia
berdiam diri dzikir atau membaca Al Qur’an. Ketika ditanya, kenapa
tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa.
Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan
menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan
atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian, karena ia mempermainkan
istilah syariat.
b).
Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak
berbicara namanya shaoum, tidak makan namanya shoum, tidak tidur
namanya shaum,dst. Makna shaum secara syar’i adalah menahan diri
dari makan, minum, jima’ dan seluruh pekerjaan lain yang
membatalkan shoum menurut syariat sejak terbit fajar sampai
tenggelamnya matahari.
Demikian
pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syar’i seperti
telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak
seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu da lain-lain,
atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak
bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun
seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa? Karna itu artinya
bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut
sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun ponpes
dengan membangun ponpes dst. Cukuplah jihad itu perang melawan
orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dst, tapi itu kalau ada
qarinah.
Kesimpulannya
:
Kata
jihad diungkapkan dengan dua cara yaitu : (1) Dengan secara
mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai
qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika
disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang
melawan orang-orang kafir. Inilah makna syar’i yang dibicarakan
seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang
dimaksud dengan dzirwatu sanamil islam (puncak
ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana
disebutkan oleh Ibnu Nuhas
dan Ibnu Taimiyah.
Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka
maknanya adalah jihad dalam artian perang ini. Jihad dalam
pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardlu kifayah dan
dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardlu ain. Adapun dakwah
dst itu termasuk jihad dengan makna kedua, dan jihad tidak
dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qarinah. Kesalahan
sebagian pihak saat ini adalah memaksakan jihaddengan qarinah ini
untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qarinah ini. Wallahu
A’lam.
Oleh
karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam
mendudukkan persoalan ini mengatakan,” Yang benar, memang jihad
dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan
dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh
Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam
dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan
secara mutlak (berdiri sendiri)”.
Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan
dua kali di atas.
Jadi
segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau
godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih
payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fi
sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut
bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang
menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum
yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya.
Demikian
juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian
diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi
semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal
ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan
orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi
seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang
mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah.
Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik
dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus
berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad
dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan
harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah
wajib juga.”
Ustadz
Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah
sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini
merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. :
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُو وَلَمْ يَنْوُ بِاْلغَزْوِ مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau
berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.”
Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan
peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara
keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa
kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah
dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian
dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh
mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang
harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya
diberikan kepada mujahid.
وَجَاهِدُوْا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ
“
Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad.”
[ QS : Al Hajj : 78 ]
Dengan
demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan
kami.”
Syaikh Said Hawa
menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami
sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon
bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan,
jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.”
Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan
secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.”
Seperti
telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan bahwa melawan
hawa nafsu, syetan, berdakwah dan sebagainya, itu termasuk jihad
namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder.
Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian
pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian
jihad secara khusus ( syar’i/saat jihad disebut secara mutlaq ).
Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan
keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fa’i, ghanimah, kharaj,
ghulul, membunuh lawan, keutamaan mati syahid dan sebagainya, itu
semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syar’i ( mutlaq ),
bukan untuk dakwah dan sebagainya. Itulah kenapa makna jihad
secara syar’I menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan
dakwah dan sebagainya. Karena kita tidak bisa artikan, misalnya,
hadits orang mati syahid memberi syafa’at 70 anggota keluarganya
itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu
sakit dan mati, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan
makna syar’i, yaitu perang. Wallahu A’lam.
Perang
Adalah Jihad Terbesar.
Belakangan ini semakin banyak pihak yang menyatakan jihad dengan
makna syar'i (perang) bukanlah jihad yang paling utama. Dengan
berbagai dalil, mereka mencoba memperkuat pendapatnya, sebuah
pendapat yang sama sekali tidak pernah dikenal salafush sholih.
Ada yang mengatakan da'wah, perjuangan diplomasi dan menjadi
oposisi lewat jalur MPR / parlemen merupakan jihad terbesar,
dengan hadits orang yang mengatakan kebenaran di hadapan
pemerintah yang dzalim. Padahal jelas sekali banyak ayat dan
hadits yang menerangkan jihad dengan makna syar’i perang adalah
jihad yang paling utama dan tinggi, seperti firman Allah ta’ala :
لَا يَسْتَوِي اْلقاَعِدُوْنِ مِنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ أُوْلِي
الضَّرَرِ وَاْلمُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ اْلمجُاَهِدِيْنَ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى اْلقَاعِدِيْنَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ
الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ اْلمُجَاهِدِيْنَ عَلىَ اْلقَاعِدِيْنَ
أَجْرًاعَظِيْمًا
*
دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا
رَحِيْماً.
“
Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk ( tidak turut
berperang) yang tidak mempunyai udzur dengan orang yang berjihad
di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan
orqng-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang
–orang yang duduk satu derajat, kepada masing-masing mereka Allah
menjanjikan pahala yang baik ( syurga) dan Allah melebihkan
orang–orang yang jihad atas orang–orang yang duduk dengan pahala
yang besar. Yaitu beberapa derajat, ampunan serta rahmat. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”( An Nisa 95-96 )
يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ
لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ . خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا إِنَّ
اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ
“Rabb
mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat daripada-Nya,
keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang
kekal, Rabb mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat
daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya
kesenangan yang kekal” (At Taubah ; 21-22 )
Keterangan
: Orang
yang berjihad diutamakan atas orang yang duduk-duduk ( tidak
berjihad ). Bisa jadi orang yang duduk-duduk ini melakukan jihad
dakwah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad melawan hawa nafsu dan
setan, karena Allah juga menjanjikan bagi mereka pahala dan
kebaikan. Namun demikian tetap saja Allah melebihkan yang berjihad
dengan derajat, maghfirah dan rahmat-Nya. Ini menunjukan jihad
dengan makna perang adalah jihad terbesar dan paling utama. Hal
ini juga menunjukkan bahwa makna jihad secara syar'i adalah
perang, bukan dakwah dst.
Rasulullah bersabda :
رَأْسُ اْلأَمْرِ الِإسْلَامُ وَعُمُوْدُهُ اَلصَّلَاةُ وَ ذَرْوَةُ
سَنَامِهِ اَلْجِهَادُ.
"
Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan
puncaknya adalah jihad."
Keterangan :Dalam
hadits ini Rasulullah menempatkan jihad dengan makna perang
sebagai amalan paling tinggi dalam Islam, kenapa makna perang?
Karena shalat sendiri adalah jihad, namun beliau tidak menyebutnya
dengan jihad. Dengan demikian, jihad di sini adalah perang.
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَ إِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْللِإْيمَانِ.
"Siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah
dengan tangan, bila tidak mampu hendaklah dengan lisan, bila
tetap tidak mampu hendaklah dengan hati dan itulah selemah-lemah
iman."
Keterangan :
Kemungkaran yang paling besar di muka bumi ini adalah adanya
kekafiran dan kesyirikan. Hadits ini menjelaskan tingkatan
merubah kemungkaran mulai dari yang paling tinggi hingga yang
paling rendah. Idealnya, merubah adalah dengan tangan. Kalau tidak
bisa maka dengan lisan, kalau tetap tidak bisa maka dengan hati.
Merubah dengan tangan termasuk di dalamnya adalah jihad. Dengan
demikian, jihad dengan artian perang lebih utama dari jihad
da'wah, jihad melawan hawa nafsunya sendiri dan sebagainya.
Juga hadits Ibnu Mas’ud tentang amar ma;ruf nahi mukar di atas,
telah sebutan yang paling tinggi adalah amar makruf dengan tangan,
termasuk di dalamnya jihad.
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri ra. ia berkata,” Dikatakan kepada Rosululloh
saw,” Wahai Rosululloh, orang bagaimanakah yang paling utama ?”
Rosululloh saw. Menjawab,” Orang mukmin yang berjihad di jalan
Alloh dengan jiwa dan hartanya.” Mereka bertanya lagi,” Kemudian
siapa?” Beliau menjawab,” Seorang mukmin yang (menyendiri) berada
dalam suatu lembah, takut kepada Alloh dan meninggalkan manusia
karena kejahatan mereka .”
Imam
Ibnu Daqiq al 'Ied
berkata," Qiyas menuntut jihad menjadi amalan dengan kategori
wasilah yang paling utama, karena jihad merupakan sarana untuk
meninggikan dan menyebarkan dien serta memadamkan kekafiran,
sehingga keutamaannya sesuai dengan keutamaann hal itu. Wallahu
A'lam."
Dari
Abu Huroiroh ra. Beliau berkata,“ Datang seseorang kepada
Rosululloh saw. Lalu berkata,” Tunjukkan padaku sebuah amalan yang
bisa menyamai jihad !!” Beliau menjawab,”Aku tidak mendapatkannya.
Apakah kamu mampu apabila seorang mujahid keluar, kamu masuk
masjid lalu sholat dan tidak berhenti dan kamu shaum dan tidak
berbuka?” Orang tersebut berkata,” Siapa yang mampu melakukan hal
tersebut???” Abu Huroiroh berkata,” Sesungguhnya bermainnya kuda
seorang mujahid itu dicatat sebagai beberapa kebaikan.”
Imam
Ibnu Hajar
berkata," …(Hadits) ini merupakan keutamaan yang jelas bagi
mujahid fi sabilillah, yang menuntut tak ada amalan yang menyamai
jihad."
قَالَ قَتَادَةُ : سَمِعْتُ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ عَنْ النَبِيِ
قَالَ: مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ
يَرْجِعَ إِليَ الدُّنْيَا وَ لَهُ مَا عَلَى اْلأَرْضِ مِنْ شَيْئٍ
إِلَّا الشَهِيْدُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا
فَيَقْتُلْ عَشْرَ مَرَاتٍ لَمَا يَرَى مِنْ الْكَرَامَةِ.
Qatadah berkata,” Saya mendengar Anas bin Malik dari Nabi beliau
bersabda,” Tidak ada seorang pun masuk surga yang ingin kembali ke
dunia padahal ia mempunyai (di surga) seluruh apayang ada di
dunia, kecuali orang yang mati syahid. Ia berangan-angan kembali
ke dunia dan terbunuh sepuluh kali, karena ia mengerti keutamaan
(bila mati syahid di medan perang).”
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh imam An Nasa’I dan al Hakim. Imam
Ibnu Bathal berkata,”Hadits ini merupakan hadits yang paling
agung dalam menerangkan keutamaan mati syahid. Tidak ada amal
kebaikan yang di dalamnya nyawa diprtaruhkan selain jihad, karena
itu pahalanya pun besar.”
Berkaitan dengan makna jihad ini, ada kekhawatiran mendalam yang
kadang-kadang (dan sayangnya ini sudah menjadi realita) perluasan
makna syar’i jihad dari perang menjadi thalabul ilmi juga
jihad, tashfiyah juga jihad, dakwah juga jihad, membangun
ponpes dan madrasah juga jihad, menyantuni anak yatim juga jihad,
berjuang lewat parlemen/jalur konstitusi juga jihad dst ini
dijadikan alasan untuk mencukupkan diri/
organisasi/ jam’iyah/
partai/ jama’ahnya dengan bidang
yang digelutinya, tidak mengadakan i’dad (persiapan secara militer
untuk jihad dengan makna syar’i perang) dengan beralasan bahwa apa
yang mereka lakukan itu adalah jihad. Lebih buruk lagi bila
ditambah dengan menuduh orang yang mengartikan jihad dengan perang
lalu mengadakan i’dad (persiapan militer) sebagai orang picik, tak
berwawasan luas, teroris, merusak medan dakwah dll. Inilah yang
mengundang kritik banyak ulama yang berusaha keras meluruskan
berbagai penyimpangan ini.
Sebenarnya perselisihan yang terjadi dalam masalah ini, tidaklah
berbahaya kalau hanya ikhtilaful lafdzi (perbedaan dalam
menggunakan istilah) saja. Artinya masing-masing pendapat tidak
meninggalkan amalan yang dilakukan oleh yang lain, dan juga tidak
mencampur adukkan dalil. Misalnya menggunakan dalil-dalil
keutamaan perang untuk dakwah begitu pula sebaliknya. Dengan
demikian, perselisihan ini tidak menimbulkan perselisihan dalam
beramal, kecuali pada masalah-masalah yang memang masih
diperbolehkan untuk berijtihad dan berselisih pendapat. Sehingga
yang berjihad dengan makna syar’i ( perang ) tidak mengabaikan
dan meremehkan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, begitu juga
sebaliknya yang tidak berjihad tidak mengabaikan dan meremehkan
kewajiban perang melawan orang-orang kafir. Wallahu A’lam.
B.
Jihadun nafs dan jihadusy syaithon.
Selain
mengartikan jihad dengan berbagai amalan di luar perang melawan
orang kafir, di kalangan kaum muslimin juga tersebar luas
pemahaman bahwa perang melawan musuh adalah jihad ashghor
sedangkan jihadun nafs adalah jihad akbar.
Dalil
yang dijadikan sandaran adalah :
*
Hadits :
قَدَمْتُمْ خَيْرَ مُقَدَّمٍ وَقَدَمْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ
الأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ مُجَاهَدَةُ الْعَبْدِ
هَوَاُه
“Kalian datang sebagai sebaik-baik pendatang, dan kalian datang
dari jihad ashghor menuju jihad akbar yaitu jihad melawan hawa
nafsu.” Dalam riwayat lain :
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى اْلجِهَادِ الَأكَْبَرِ
قاَلُوْا وَمَا جِهَادُ الْأَكْبَرِ قَالَ جِهَادُ الْقَلْبِ أَوْ
جِهَادُ اْلَنَفْسِ
* Hadits
:
وَاْلمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِى طَاعَةِ اللهِ
وَاْلمُهَاجِرُ مَنْ
هَجَرَ مَا نَهَي عَنْهُ
”
Mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam
rangka ta’at kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah
dari larangan-larangan Allah”
*
Perkataan Imam Ibnu Qoyyim,“ Oleh karena jihad
melawan musuh-musuh Allah yang dhohir itu adalah cabang dari jihad
nafs karena Allah, sebagaimana sabda Nabi,”Mujahid adalah
orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka ta’at
kepada Allah dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari
larangan-larangan Allah.” maka jihadun nafs
lebih didahulukan dari melawan musuh yang dhohir, dan
jihadun nafs adalah pokok dari pada jihad kuffar karena
siapa belum berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan
perintah Allah dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu
karena Allah dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan
musuh-musuh Allah yang dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu
berjihad melawan musuh Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya
saja belum ia perangi ? Ia tidak akan mungkin mampu keluar
pergi berjihad melawan musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan
hawa nafsunya sehingga mau keluar melawan musuh-musuh Allah.
Seorang hamba diuji untuk berjihad melawan kedua musuh ini (musuh
yang lahir dan bathin). Di antara kedua musuh tersebut masih ada
lagi musuh ketiga, ia tidak akan mungkin memerangi kedua musuh
tersebut kecuali bila dia (telah) bisa melawan musuh yang ketiga
yang melemahkan semangatnya, menakut-nakuti dan selalu membuat
khayalan baginya betapa beratnya jihad melawan keduanya dan
hilangnya seluruh kesenangan. Ia tidak mungkin berjihad melawan
kedua musuh tersebut musuh tersebut kecuali setelah melawan musuh
yang ketiga ini. Karena itu jihad melawan musuh yang ketiga ini
pokok dari jihad melawan kedua musuh di atas. Musuh yang ketiga
ini adalah syaithon. Allah berfirman,“Sesungguhnya
syaithon itu musuh bagi kalian maka jadikanlah ia sebagai musuh.”
Perintah untuk menjadikan syaiton sebagai musuh adalah peringatan
supaya mengerahkan segala kemampuan untuk memeranginya, karena
syaithan (merupakan) musuh yang tidak pernah berhenti untuk
memerangi hamba setiap detak nafas, dengan demikian maka
sebenarnya seorang hamba diperintah untuk memerangi tiga musuh
ini.”
Jawaban Atas Pernyataan Ini :
1.
Hadits
pertama begitu terkenal di masyarakat kita. Untuk
menjawabnya kita serahkan kepada para ulama pakar hadits.
Komentar Ulama’ hadits tentang hadits ini ;
Para
ulama hadits yaitu imam Ibnu Mu’in, Al Baihaqi,
Al-‘Iroqi dan Al Suyuti menyatakan bahwa sanad hadits ini
dhoif sekali, bahkan sebagian ulama hadits lainnya seperti Imam
Ahmad dan Ibnu Taimiyah menyatakan hadits ini hadits
palsu :
Imam Al
Iraqy berkata dalam takhrij Ihya’ Ulumi al Dien 2/6,”Diriwayatkan
oleh Al Baihaqy dalam kitab al Zuhdu dari riwayat Jabir, sanad
hadits ini lemah.”
Imam
Ibnu Hajar dalam takhrij al Kasyaf 4/114 berkata,” Hadits ini dari
riwayat Isa bin Ibrahim dari Yahya bin Ya’la dari Laits bin Abi
Sulaim. Ketiga perawi ini lemah. Juga diriwayatkan oleh an Nasa’i
dalam kitab al Kuna dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, seorang
tabi’in dari Syam.”
Dalam
Tasdidu al Qaus, beliau juga berkata,” Hadits ini begitu terkenal
di kalangan mansyarakat, (padahal) merupakan perkataan Ibrahim bin
Abi Ablah, dalam kitab al Kuna karangan imam an Nasa’i.”
Syaikh
Zakaria al Anshari dalam Ta’liq atas tafsir al Baidhawi menyatakan
bahwa imam Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini,” Tidak ada
asalnya (hadits palsu).” Ibnu Hajar berkata tentang perawi
Yahya bin Al Ala,” Dia tertuduh memalsukan hadits.” Imam
Ad Dzahabi berkata,” Imam Abu Hatim berkata,“Dia tidak kuat
periwayatannya.” Imam Ad-Daruqutni berkata,”Dia
matruk (tertuduh memalsu hadits).” Imam Ahmad
berkata,” Dia adalah kadzdzaab ( pembohong/ pemalsu
hadits).” Syaikh Nashirudin al Albani menyatakan hadist ini munkar
(sangat lemah).
Syaikhul
Islam imam Ibnu Taimiyah berkata,” Adapun hadits yang diriwayatkan
oleh sebagian orang bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Salam
datang dari perang Tabuk dan bersabda,”Kita kembali dari al jihad
al asghar menuju al jihad al akbar,”maka tidak ada asalnya (hadits
palsu) dan tak seorang ulama hadits pun yang meriwayatkannya.
Jihad melawan orang-orang kafir adalah seutama-utama amalan bahkan
amalan paling utama yang dikerjakan oleh manusia.” Allah
Ta’ala berfirman :
لاَ يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى
الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ
الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ
أَجْرًا عَظِيمًا {95}
“
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak terut
berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang
berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas
orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka
Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang
besar [ Q S An Nisa` : 95 ].
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَآجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ وَجَاهَدَ
فِي سَبِيلِ اللهِ لاَيَسْتَوُونَ عِندَ اللهِ وَاللهُ لاَيَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ {19} الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا
وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ
أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللهِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْفَآئِزُونَ
{20} يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ
وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمُُ مُّقِيمٌ {21} خَالِدِينَ فِيهَا
أَبَدًا إِنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمُُ {22}
Apakah
(orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang
mengerjakan haji dan mengurus Masjidil haram, kamu samakan dengan
orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta
berjihad di jalan Allah. Mereka tidak sama di sisi Allah; dan
Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim. (20)
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan
Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi
derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapatkan
kemenangan. (21) Rabb mereka mengembirakan mereka dengan
memberikan rahmat daripada-Nya, keridhoan dan surga, mereka
memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, (22) mereka kekal di
dalanya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar.[Q S At Taubah: 19-22 ]. Beliau kemudian menyebutkan
beberapa hadits yang menerangkan keutamaan jihad melawan orang
kafir sebagai amalan yang paling utama.
Seperti
disebutkan Imam Ibnu Hajar dan imam Adz Dhahabi, riwayat di atas
bukanlah hadits melainkan perkataan seorang sighoru tabi’in
bernama Abu Ishaq Al ‘Uqaili Ibrahim bin Abi ‘Ablah. Seorang
tabi’it tabi’in bernama Muhammad bin Ziyad Al Maqdisi berkata,”
Saya mendengar Ibnu Abi ‘Ablah berkata kepada orang yang kembali
dari medan perang,” Kalian telah datang dari jihad asghar. Lantas
apa yang kalian kerjakan dalam jihad akbar, yaitu jihadul qalb ?”
Imam Al Hakim berkata,” Saya bertanya kepada Imam ad
Daruquthni,” (Bagaimana status ) Ibrahim bin Abi ‘Ablah ?”
Beliau menjawab,” Jalan-jalan (sanad) kepadanya tidak bersih
meskipun ia sendiri seorang yang tsiqah.”
Hadits
pertama ini jelas tidak bisa dijadikan landasan pernyataan jihad
melawan hawa nafsu adalah jihad paling utama dan terbesar, karena
jelas sanadnya sangat lemah atau bahkan hadits palsu serta
bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an dan As Sunah. Memang
melawan hawa nafsu dan senantiasa beramal sholih merupakan suatu
kewajiban bagi setiap mujahid karena kemenangan dalam medan perang
selalu berasal dari amal sholih, sebagaimana dikatakan shahabat
Abu Darda’,” Kalian berperang (bermodalkan) amal kalian.”
Namun demikian, jihad yang paling besar dan paling utama adalah
perang melawan musuh-musuh Islam sebagaimana ditegaskan oleh Al
Qur’an dan As Sunah, seperti yang diterangkan oleh syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah.
2.
Hadits kedua adalah hadits yang shahih. Cara memahami hadits ini
sudah dijelaskan dalam keterangan terdahulu tentang cara memahami
hadits-hadits yang menerangkan amal yang paling utama. Sebagaimana
dijelaskan Imam Ibnu Hajar, jawaban nabi ini disesuaikan dengan
kondisi si penanya atau kondisi waktu dan tempat saat itu.
Barangkali si penanya masih bergelimang dosa, sehingga nabi
menyatakan kepadanya bahwa berjuang mengalahkan hawa nafsu itu
jihad terbesar baginya.
Di sini
akan kita ketengahkan penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
tentang hadits ini. Beliau menjelaskan bahwa wali-wali Allah tidak
mempuyai cirri khusus yang membedakan dengan hamba-hamba Allah
lainnya. Wali Allah adalah orang yang bertakwa, sementara Al
Qur’an dan As Sunah menunjukkan bahwa manusia yang paling mulia
adalah manusia yang paling bertakqwa. Kemudian beliau mengatakan :
” Lafal
al faqru (faqir) dalam syar’i kadang bermakna faqir (membutuhkan)
harta dan kadang bermakna makhluk faqir (membutuhkan) Rabbnya.
Sebagaimana Allah berfirman :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ
وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
فَرِيضَةً مِنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {60}
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para Mu'allaf yang
dibujuk hatinya,untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Biajaksana.
[QS. Al
Taubah : 60].
Allah
juga berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاُس أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ
” Wahai
manusia, kalian faqir (membutuhkan) Allah.”
Dalam Al
Qur’an Allah Ta’ala telah memuji dua golongan fuqara’ yaitu: orang
yang menerima sedekah dan orang yang menerima fa’i. Allah
berfirman tentang kelompok fakir yang pertama:
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ
يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ
أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ
يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَاتُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ
اللهَ بِهِ عَلِيمٌ
”
(Berinfaqlah) Bagi para faqir yang tertahan di jalan Allah
(jihad), mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang
tidak tahu menyangka mereka itu orang kaya karena memelihara diri
dari meminta-minta…”
)Al
Baqarah :273(
Sedang bagi yang kedua yang merupakan kelompok yang lebih utama,
Allah berfirman:
لِلْفُقَرَآءِ الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا
وَيَنصُرُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
”
Bagi para faqir yang berhijrah, yang diusir dari negerinya dan
dari harta bendanya karena mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya
serta menolong Allah dan Rassul-Nya. Mereka itulah orang-orang
yang benar.”
)Al
Hasyr: 8(
Inilah
sifat muhajirin yang berhijrah meninggalkan kejahatan dan
berjihad melawan musuh-musuh Allah secara lahir dan batin.
Sebagaimana sabda Nabi,” Orang mukmin itu orang yang darah dan
harta orang lain selamat dari gangguannya, orang muslim itu orang
yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya, orang yang
berhijrah itu orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah
orang yang berjihad itu orang yang berjuang melawan hawa nafsunya
demi Allah.”
Dalam
penjelasan ini, Syaikhul Islam menerangkan bahwa kaum fuqara’ yang
berhijrah dan berjihad melawan orang-orang musyrik lebih utama
dari kaum fuqara’ yang berjihad saja tanpa berhijrah. Beliau
menyebutkan hadits kedua yang dijadikan landasan oleh sebagian
pihak untuk menyatakan jihad melawan hawa nafsu merupakan jihad
paling besar dan utama dalam Islam. Jelaslah bahwa orang yang
berjihad (dengan makna syar’i yaitu berperang melawan orang-orang
kafir) berarti telah berhasil meninggalkan (berhijrah) kemaksiatan
dan mengalahkan hawa nafsunya, nafsu cinta dunia, takut mati,
sifat pengecut, dan akhlak-akhlak tercela lainnya. Orang yang
berperang melawan orang-orang kafir telah menunjukkan kemenangan
dia melawan hawa nafsu tersebut, terbukti dengan pencurahan nyawa
dan hartanya demi mencapai ridho Allah, mengutamakan rasa cinta,
takut dan pengharapan kepada Allah melebihi cinta, takut dan
pengharapannya kepada kenikmatan duniawi, menampakkan kesabaran,
ketawakalan, ukhuwah dengan sesama umat Islam dan seluruh aspek
akhlak terpuji lainnya telah nampak dalam jihadnya melawan orang
kafir. Karena itu, jelas perang melawan orang kafir merupakan
jihad terbesar karena mencakup jihad lahir dan batin, sebagaimana
penjelasan syaikhul Islam.
3-
Jawaban atas perkataan imam Ibnu Qayyim. Saat ini banyak kalangan
yang memperalat perkataan Imam Ibnu Qayyim untuk menomor sekiankan
perang melawan orang kafir. Mereka mengatakan jihad melawan hawa
nafsu adalah jihad terbesar dan paling utama.
(mereka selalu berfikir) untuk apa memerangi orang kafir kalau hal
itu hanyalah jihad asghar, bukankah lebih utama bila mereka jihad
melawan hawa nafsunya dan setan ? (mereka selalu berfikir) Mereka
tidak akan berjihad melawan orang kafir sampai mereka mengalahkan
hawa nafsu, sampai iman dan aqidah mereka seperti iman para
shahabat, sampai mereka bersih dari dosa. Untuk itu tidak boleh
berjihad sampai mendapatkan tarbiyah dan
tasfiyah, sampai akhirnya lulus dari dua program ini.
Imam
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa pokok atau landasan dari jihad
melawan orang kafir adalah jihad melawan hawa nafsu dan setan
dengan jalan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Orang yang mampu berjihad melawan
orang-orang kafir hanyalah orang-orang yang mampu menundukkan hawa
nafsunya. Penjelasan beliau ini dengan jelas menunjukkan bahwa
berjihad melawan orang kafir merupakan jihad terbesar dan paling
agung, karena hanya bisa diraih oleh orang-orang yang lulus dari
jebakan hawa nafsunya.
Untuk
memerangi hawa nafsu, imam Ibnu Qayyim menyebutkan tempat tahapan
:
a).
Berjihad dengan mempelajari din yang haq ( Islam ).
b).
Berjihad dengan mengamalkan perintah – perintah agama yang telah
dipelajari.
c).
Berjihad dengan mendakwahkan agama Islam serta mengajarkannya
kepada orang yang tidak tahu.
d).
Berjihad dengan bersabar terhadap rintangan-rintangan dakwah.
Sebagian
pihak memperalat penjelasan beliau ini untuk menyibukkan umat
Islam dari jihad melawan musuh-musuh Islam dengan alasan memerangi
nafsu. Mereka mengharuskan kaum muslimin untuk belajar banyak ilmu
dalam jangka waktu yang lama. Mereka mengharuskan umat Islam untuk
mengkaji berbagai buku-buku aqidah, fiqih, hadits, akhlak dan
ilmu-ilmu lainnya kepada para ulama. Baru setelah mereka menguasai
seluruh ilmu ini, mereka kemudian mengamalkan ilmunya, kemudian
berdakwah dan bersabar baru kemudian boleh berjihad. Selama belum
melewati empat tahapan ini, mereka melarang kaum muslimin untuk
berjihad. Akhirnya dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk boleh
berjihad.
Untuk
itu ke empat tahapan ini perlu didudukkan secara jelas sehingga
tidak terdapat lagi kebingungan dalam memahami perkataan imam Ibnu
Qayyim. Sesungguhnya ilmu ada dua : yaitu ilmu yang hukumnya
fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim) dan
ilmu yang hukumnya fardhu kifayah (wajib sebagian kaum muslimin
mempelajarinya sampai tertangani secara baik sehingga kewajiban
tersebut gugur atas kaum muslimin yang lain).
(1). Ilmu fardhu ‘ain. Ilmu ini juga ada dua jenis:
(a). Ilmu ‘aam atau musytarak yaitu ilmu yang wajib diketahui oleh
seluruh umat Islam seperti : rukun-rukun Islam, rukun-rukun iman,
hal-hal yang diharamkan secara qath’i dan lain-lain.
(b). Ilmu khash yaitu mempelajari hukum-hukum secara mendetail
bagi orang yang wajib atasnya untuk melaksanakannya. Contohnya :
Orang yang tidak wajib membayar zakat dan melaksanakan haji karena
tidak mempunyai harta yang mencapai nishob dan mencukupi untuk
haji, ia tidak wajib untuk mempelajari detail-detail hukum zakat
dan haji. Kewajiban mempelajari hukum-hukum haji dan zakat berlaku
bagi orang yang memang mempunyai harta yang mencapai nishob dan
cukup untuk melaksanakan haji.
(2). Ilmu fardhu kifayah yaitu ilmu yang wajib dipelajari oleh
umat sebagai sebuah kesatuan, namun jika sebagian mereka
mengerjakannya maka bagi yang mempelajarinya mendapat pahala dan
kewajiban mempelajarinya gugur atas sebagian umat Islam yang lain.
Namun jika tak ada sebagian yang mengerjakannya maka semuanya
berdosa.
Jika
hal ini diterapkan dalam orang yang berjihad, maka ilmu yang
hukumnya fardhu ‘ain atasnya adalah ilmu yang ‘am (rukun Islam,
rukun iman, hal-hal yang haram dan maksiat). Adapun ilmu yang
wajib dipelajarinya adalah mempelajari hukum-hukum jihad yang
berkaitan langsung dengan dirinya yaitu hak-hak Allah, hak-hak
komandan dan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam perang
melawan musuh. Adapun hukum-hukum ghanimah, fa’i, tawanan dan
perjanjian damai atau gencatan senjata, maka tidak wajib atas
dirinya namun wajib atas amir (komandan jihad).
Di bawah
ini kita sampaikan perkataan para ulama salaf yang menerangkan
hal ini :
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafi berkata,” Barang siapa wajib atasnya
haji dan zakat misalnya, kewajiban iman yang harus ia kerjakan
adalah mengetahui apa yang diperintahkan kepadanya dan ia
mengimani bahwa Allah mewajibkan atasnya apa yang tidak wajib
diimani oleh orang lain (berupa zakat dan haji karena tidak mampu
melaksanakannya—pent) kecuali secara mujmal (global). Dalam hal
ini ia wajib mengimani secara mufashal (terperinci). Demikian juga
seorang yang masuk Islam, kewajiban pertama kali adalah iqrar (membenarkan)
secara mujmal. Jika datang waktu sholat ia wajib mengimani
kewajiban sholat dan melaksanakannya. Dengan demikian, manusia
tidak sama dalam iman yang diperintahkan kepada mereka.”
Imam Syafi’i juga mengatakan,” Ilmu ada dua ; ilmu umum di mana
seorang baligh yang sehat akalnya harus mengetahuinya …seperti
sholat lima waktu dan Allah mewajibkan atas manusia shaum Ramadhan
dan haji jika mampu serta zakat harta mereka, dan Allah
mengharamkan atas mereka perbuatan zina, membunuh, mencuri dan
minum khamr dan kewajiban yang semakna dengan hal ini di mana para
hamba dikenai beban memahami, mengamalkan dan mencurahkan dari
nyawa dan harta mereka, serta menahan diri dari apa yang
diharamkan atas mereka.
(Kemudian beliau berkata tentang fardhu kifayah) :
“
Derajat ilmu ini tidak menjadi kewajiban seluruh manusia dan
setiap individu. Siapa pun individu mampu mencapainya maka tidak
boleh mereka semua menihilkannya (meninggalkannya). Jika sebagian
individu sudah melaksanakannya sampai derajat mewakili, maka insya
Allah yang lain tidak terkena dosa. Orang yang mengerjakannya
mempunyai kelebihan atas yang meninggalkannya.”
Ibnu Abdil Barr mengatakan,” Para ulama telah sepakat bahwa ilmu
ada yang hukumnya fardhu ‘ain atas setiap individu dan adapula
yang hukumnya fardhu kifayah jika sebagian telah melaksanakannya
maka kewajiban melaksanakannya gugur atas masyarakat luas.” Beliau
lalu menukil perkataan para ulama salaf dalam hal ini, seperti
imam Hasan Al Bashri, Malik bin Anas, Abdullah bin Mubarak, Sufyan
bin Uyainah dan Ishaq bin Rahawaih.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
“ Mencari ilmu syar’i itu fardhu kifayah kecuali dalam hal-hal
yang fardhu ‘ain, seperti setiap individu mencari ilmu tentang apa
yang diperintahkan dan dilarang Allah atasnya, maka hal seperti
ini hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana diriwayatkan oleh kedua imam
(bukhari dan muslim –pent) dalam shahihain dari nabi beliau
bersabda,” Barang siapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka
ia akan dijadikan faqih dalam dien.” Setiap orang yang
dikehendaki kebaikan pada dirinya oleh Allah, pasti difaqihkan
dalam dien. Barang siapa tidak dijadikan faqih dalam dien maka
Allah tidak menghendaki kebaikannya. Dien adalah apa yang rasul
diutus dengannya. Itulah yang wajib dibenarkan dan diamalkan oleh
setiap orang. Maka setiap orang wajib membenarkan khabar yang
diberitakan Rasulullah dan ia wajib mentatinya dalam apa yang
diperintahkannya dengan pembenaran yang umum dan ketaatan yang
umum. Jika kemudian ada khabar yang tsabit (tegas/jelas
keshahihahnnya) maka ia wajib membenarkannya secara tafshili
(terperinci/detail), dan jika berupa perintah yang harus
dikerjakan maka ia harus mentaatinya dengan ketaatan mufashalah
(detail).”
Lebih jelas lagi beliau menyatakan :
“ Ilmu-ilmu syar’i ada dua : ilmu ushul (pokok) dan ilmu furu’
(cabang).
Ilmu
ushul adalah ma’rifatullah dengan keesaan-Nya dan sifat-sifat-Nya
dan membenarkan para rasul. Setiap mukallaf wajib mengetahuinya
dan ia tidak boleh taqlid karena telah nampak jelasnya tanda-tanda
kebesaran Allah. Allah berfirman,” Maka ketahuilah bahwasanya
tidak ada ilah selain Allah.” (QS. Muhammad :19). Allah
berfirman,” Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda
kekuasaan Kami di ufuq dan dalam diri mereka sehingga jelaslah
bagi mereka bahwa Allah adalah haq.” (QS. Fushilat :53).
Adapun
Ilmu furu’ adalah ilmu fiqih dan mengetahui hukum-hukum dien. Ini
terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu fardhu ‘ain
contohnya ilmu tentang thaharah, sholat dan shaum. Setiap individu
wajib mengetahuinya. Rasulullah bersabda,” Menuntut ilmu itu
wajib ats setiap individu.” Demikian juga setiap ibadah yang
diwajibkan syariat atas tiap individu, wajib hukumnya
mengetahuinya seperti ilmu zakat jika ia mempunyai harta dan ilmu
haji jika telah wajib atasnya.
Adapun
fardhu kifayah adalah mempelajari ilmu yang menyampaikan kepada
derajat ijtihad dan fatwa. Jika penduduk sebuah negeri tidak
mempelajarinya, mereka semua telah bermaksiat. Jika seorang di
antara mereka telah mempelajarinya (dan telah mencukupi—pent) maka
kewajiban itu gugur atas yang lain dan mereka semua harus
bertaqlid kepada orang tersebut dalam perkara-perkara yang menimpa
mereka (di bidang itu---pent). Allah berfirman,” Maka
bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kalian tidak
mengetahui.” (QS. An Nahl :23).”
Bila
penjelasan mengenai ilmu ini sudah dipahami, maka jelaslah cara
memahami keterangan imam Ibnu Qayyim di atas, dan jelas pula
jawaban atas syubhat jihad hawa nafsu adalah jihad paling agung
dan paling utama sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad
sebelum belajar dan menuntut ilmu ;
- Jika
yang mereka maksudkan adalah ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain, maka
mempelajari rukun iman, rukun Islam, tauhid, hal-hal yang
membatalkan keislaman dan hal-hal yang haram dan maksiat itu mudah
tak memerlukan waktu yang lama. Mereka tidak wajib mengetahui
dalil-dalilnya secara terperinci. Sebagaimana Imam Al Qurthubi
mengatakan,” Inilah pendapat para imam-imam pemberi fatwa dan para
imam salaf sebelum mereka, dan sebagain mereka berhujah dengan
pendapat yang telah lewat berupa pokok-poko fithrah dan juga
berdasar riwayat mutawatir dari Rasulullah kemudian para shahabat
bahwa mereka menghukumi keislaman orang yang masuk Islam dari
penduduk arab pedalaman yang semula menyembah berhala. Mereka
menerima dari penduduk arab tersebut pengakuan mereka dengan dua
kalimat syahadat dan iltizam (komitmen) dengan hukum-hukum Islam
tanpa mewajibkan mereka mempelajari dalil-dalinya.”
Hal ini juga diterangkan oleh imam An Nawawi
dan para ulama lain.
- Jika
yang mereka maksudkan adalah ilmu-ilmu yang hukumnya fardhu ‘ain
sehingga seorang muslim tidak boleh berjihad sampai menguasai
kadar tertentu dari ilmu-ilmu syar’i, maka ini jelas batil karena
:
(a)
Merubah hal yang hukumnya fardhu kifayah menjadi fardhu ‘ain.
Akibatnya meniadakan maslahat bagi umat Islam dengan memerintahkan
mereka semua untuk belajar. Ini jelas bertentangan dengan firman
Allah :
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ
مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
_ Tidak
sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke
medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya._ [QS. At Taubah :122]. Ayat ini membagi umat Islam
menjadi dua kelompok : kelompok yang belajar dan kelompok yang
tidak belajar, seperti firman Allah :
فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَتَعْلَمُونَ
套maka
tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu
tiada mengetahui._ [QS. An Nahl :43, Al Anbiya’ :7]. Ayat ini
menunjukkan kewajiban orang yang tidak mengerti (awam, kelompok
yang tidak belajar) adalah bertanya kepada kelompok yang belajar
(mutafaqih, ulama). Sementara kewajiban ulama dan mutafaqih adalah
menjawab pertanyaan orang yang bertanya. Jika ulama dan mutafaqih
melihat orang yang tidak tahu melakukan suatu perbuatan yang
salah, maka kewajiban mereka adalah memberi peringatan dan
pengertian seperti firman Allah :
وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ
套dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah
kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya._ [QS.
At Taubah :122].
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ
_
Katakanlah,’ Kemarilah, aku bacakan kepada kalian apa yang
diharamkan rabb kalian kepada kalian.’ [QS. Al An’am :151].
(b)
Menjadikan sesuatu yang bukan syarat jihad menjadi syarat jihad
dengan mensyaratkan belajar terlebih dahulu kepada orang yang akan
berjihad. Padahal sama sekali tidak ada dalil Al Qur’an dan As
Sunah yang menyatakan belajar terlbih dahulu merupakan syarat
jihad. Dengan demikian, persyaratan ini adalah bid’ah
dholalah. Sirah Rasulullah, para shahabat dan para ulama
salaf sesudah mereka juga tidak mensyaratkan menuntut ilmu
terlebih dahulu atas setiap muslim yang akan berjihad. Mereka
tidak menguji kemampuan ilmu syar’i setiap muslim yang akan
berjihad.
Rasulullah bersama 1400 shahabat dalam perjanjian Hudaibiyyah
(tahun keenam H), bersama dengan 10.000 shahabat dalam fathu
Makkah (tahun 8 H) dan sebulan kemudian beliau menerjuni perang
Hunain bersama 12.000 shahabat, 2000 di antaranya adalah kaum
Quraisy yang baru masuk Islam seulan sebelumnya. Kapan mereka
belajar ilmu-ilmu syar’i kalau keislaman mereka baru berjalan satu
bulan ? Apakah Rasulullah menyuruh mereka tinggal di Makkah dan
melarang mereka untuk tidak berjihad dengan alas an belum menuntut
ilmu syar’i ? Rasulullah justru melibatkan mereka dalam jihad dan
mengajari mereka ilmu-ilmu syar’i dalam perjalan jihad,
sebagaimana hadits :
Abu
Waqid Al Laitsy berkata,” Kami keluar bersama Rasulullah menuju
Hunain padahal kami baru saja keluar dari kekufuran. Orang-orang
musyrik mempunyai sebatang pohon keramat tempat mereka berkumpul
dan menggantungkan senjata, namanya dzatu anwath. Kami melewati
pohon semisal, maka kami berkata,” Ya Rasulullah, buatlah untuk
kami dzatu anwath sebagaimana mereka juga mempunyai dzatu anwath.”
Maka beliau bersabda,” Allahu Akbar, sesungguhnya hal ini
merupakan jalan (umat terdahulu). Demi Dzat yang nyawaku di
tangan-Nya, seperti perkataan Bani Israil kepada Musa “ Buatlah
untuk kami Ilah (tuhan sesembahan) sebagaimana mereka mempunyai
banyak ilah (sesembahan).” –Terjemah QS. Al A’raaf :138—Kalian
benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”
Begitu
juga sirah para khulafaur rasyidun. Kaum murtad yang diperangi
pada masa kholifah Abu Bakar, mereka langsung dikirim ke medan
jihad melawan Romawi dan Persia. Merekalah yang menaklukkan Syam
dan Iraq. Khalifah sama sekali tidak memerintahkan kepada mereka
untuk menuntut ilmu syar’i terlebih dahulu.
Bahkan
kalau ada orang yang tidak mempelajari ilmu-ilmu fardhu ‘ain
lantas ia ikut berjihad, ketidak belajarannya tetap tidak
menghalangi untuk berjihad. Inilah sunah Rasulullah dan para
khalifah selanjutnya :
عَنْ أَبِيْ إِسْحَاقِ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يَقُوْلُ : أَتَى
النَّبِيَ رَجُلٌ مُقَنِّعُ بِالْحَدِيْدِ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ
اللهِ, أُقَاتِلُ أَوْ أُسْلَمْ ؟ قَالَ : أَسْلَمْ ثُمَّ قَاتِلْ.
فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَاتِلْ فَقُتِلَ,فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : عَمِلَ
قَلِيْلًا وَ أُجِرَ كَثِيْرًا.
Dari
Abu Ishaq ia berkata,” Saya mendengar al Bara’ bin Azib
berkata,”Seorang laki-laki mendatangi Nabi sedang ia telah memakai
helm besi untuk perang dan bertanya,” Ya Rasulullah, saya masuk
Islam dulu atau ikut perang dulu?” Beliau menjawab,’ masuklah
Islam baru kemudian ikut berperang?” Maka ia masuk Islam dan ikut
berperang, sampai akhirnya terbunuh. Maka Rasulullah bersabda,” Ia
beramal sdikit dan mendapat anyak pahala.”
Ibnu
Ishaq
dalam al Maghazi dengan sanad yang shahih menyebutkan bahwa Amru
bin Tsabit tidak mau masuk Islam. Ketika terjadi perang Uhud, ia
ikut perang sampai terluka parah (padahal masih musyrik). Para
shahabatnya (kaum anshar, sudah mukmin) bertanya kepadanya,”Apa
yang membuatmu ikut berperang, apakah karena sayang dengan kaummu
atau karena ingin masuk Islam?” Maka ia menjawab,” Karena ingin
masuk Islam.” Maka Rasulullah bersabda,” Ia termasuk penduduk
surga.” Imam Abu Daud dan al Hakim menyatakan ia tidak mau masuk
Islam karena menolak pelarangan riba. Ia meninggal dalam perang
Uhud dan masuk surga, padahal belum pernah melakukan sekalipun
dari kewajiban shalat lima waktu.
Inilah
sirah nabawiyah dan khulafaur rasyidin tentang menuntut ilmu bagi
orang yang akan berjihad. Bila menuntut ilmu sudah jelas, maka
maksud dari mengamalkannya pun sudah terang. Dari sini, jelas
sekali bahwa perang melawan orang kafir adalah jihad terbesar dan
paling utama. Adapun jihad melawan hawa nafsu maka bisa dikerjakan
sebelum, saat sedang dan sesudah berjihad melawan orang kafir.
Jadi, orang yang berjihad melawan orang kafir berarti telah
berjihad lahir batin menghadapi musuh orang kafir dan musuh setan
dan hawa nafsu. Sementara orang-orang yang hanya duduk-duduk
belajar ilmu syar’I yang banyak namun tidak kunjung berjihad
dengan alas an jihad melawan setan dan hawa nafsu, tarbiyah dan
tashfiyah, mereka itu sebenarnya tidak memahami ilmu apa yang
seharusnya dituntut dan bagaimana mereka mengamalkannya. Dengan
kata lain, mereka dipermainkan oleh setan dan hawa nafsunya.
Wallahu A’lam.
Imam
Ibnu Qayim
menyebutkan 7 tingkatan jebakan setan yaitu:1) kekafiran. 2)
Bid’ah. 3) Dosa besar. 4) Dosa kecil. 5) Menyibukkan dengan
hal-hal mubah. 6). Menyibukkan dengan amalan yang kurang utama
atass amalan yang lebih utama. 7). Berbagai tekanan, intimidasi
fisik dan perang dengan mengerahkan tentara setan, yaitu
orang-orang kafir.
Setan
mengenal betul skala prioritas (fiqih maratibu al a’mal). Ia
memulai menjebak manusia dengan kekafiran, bila gagal dengan
bid’ah, bila gagal dengan dosa besar, dst. Seorang muslim yang
cerdik akan bisa menyatakan yang pertama kali harus diberantas
adalah kekafiran dan kemusyrikan, baru kemudian bid’ah, setelah
itu dosa besar, lalu dosa kecil, dst. Hari ini, tak kurang dari 5
milyar umat manusia masih kufur dan musyrik. Bukan itu saja,
mereka juga meraja lela di dunia ini dengan mengatur dunia sesuka
hati mereka, dengan aturan setan dan menindas serta membantai
Islam dan kaum muslimin. Bila seseorang gagal dijebak oleh setan
dengan enam jebakan pertama maka ia kan dihadapi setan dengan cara
kekerasan, yaitu perang fisik antara wali Allah dan wali setan.
Dengan demikian, perang melawan orang-orang kafir merupakan
tingkatan yang paling utama dan paling tinggi. Tingkatan tertinggi
ini oleh imam Ibnu Qayyim disebut sebagai ibadah yang hanya bisa
dilakukan oleh khawashul ‘arifin. Ubudiyah ini disebut
sebagai Ubudiyah Muraghamah, ibadah yang membuat
musuh-musuh Allah marah dan takut. Beliau menyebutkan beberapa
dalil hal ini, antara lain:
وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللهِ يَجِدْ فِي اْلأَرْضِ مُرَاغَمًا
كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى
اللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ
أَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَكَانَ اللهُ غُفُورَا رَّحِيمًا {100}
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak.
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai
ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi
Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS.
An Nisa’:100], dan surat
مَاكَانَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُم مِّنَ اْلأَعْرَابِ
أَن يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللهِ وَلاَيَرْغَبُوا بِأَنفُسِهِمْ
عَن نًّفْسِهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَيُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلاَنَصَبٌ
وَلاَمَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَيَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ
الْكُفَّارَ وَلاَيَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً إِلاَّ كُتِبَ
لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ إِنَّ اللهَ لاَيُضِيعُ أَجْرَ
الْمُحْسِنِينَ {120} وَلاَيُنفِقُونَ نَفَقَةً صَغِيرَةً
وَلاَكَبِيرَةً وَلاَيَقْطَعُونَ وَادِيًا إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ
لِيَجْزِيَهُمُ اللهُ أَحْسَنَ مَاكَانُوا يَعْمَلُونَ {121}
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badwi
yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah
(pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih
mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian
itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah. Dan tidak (pula) menginjak suatu
tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak
menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah
bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat baik, (121) dan mereka tidak menafkahkan suatu nafkah yang
kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu
lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena
Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang
lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.[At Taubah :
120-121].
مُّحَمَّدُُ رَّسُولُ
اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ
بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّنَ
اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ
السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي
اْلإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْئَهُ فَئَازَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ
فاَسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمَا {29}
Muhammad itu adalah utusan
Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu
lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari
bekas sujud.Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman mengeluarkan
tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang
mu'min).Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.[Al Fath: 29].
Memerangi orang-orang kafir
adalah
salah satu ajaran dinul haq, harus diamalkan dan didakwahkan.
Benarkah membersihkan batin dan hati dari maksiat itu lebih utama
dari membersihkan bumi dari kesyirikan dan kekafiran ?
Membersihkan batin memang penting sekali, sebagai wasilah untuk
memebersihkan bumi dari syirik dan orang penganut-penganutnya.
Tapi tidak boleh berhenti sampai di tingkatan wasilah saja, kapan
ghayahnya dicari?
Sholat
itu ghayah, wudhu wasilahnya. Kalau ada orang berwudlu, setiap
kali selesai berwudlu, dia ulang lagi dari awal hingga waktu
sholat habis dan lewat sedang ia belum sholat, maka ia bermaksiat
kepada Allah. Demikian juga dengan jihad melawan orang kafir. Ia
berawal dari melawan hawa nafsu dan setan. Namun bukan berarti
kalau belum mampu mengalahkan setan dan hawa nafsunya ia tidak
boleh berperang. Justrru bila berpikiran demikian, ia telah
terjebak dalam jebakan setan karena melawan hawa nafsu dan setan
itu sepanjang umur kita. Akhirnya kita tak akan pernah melawan
orang kafir dengan alasan iman kita belum benar, aqidah kita belum
sekokoh shahabat dst.
Menyibukkan diri dengan jihad melawan hawa nafsu (dengan pemahaman
yang salah tadi : tidak memerangi orang kafir sampai mumpuni dalam
berbagai ilmu syar’i, sampai imannya betul-betul kokoh), dan
menjadikannya alasan tidak berjihad bahkan mengatakan jihad nafs
itu jihad akbar, tapi belum pernah terdetik dalam hatinya untuk
berperang, merupakan suatu sikap yang sangat berbahaya sekali.
Apalagi jika mati dalam keadaan demikian :
مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُووَلَمْ يُحَدِّثْ بِهِ نَفْسَهُ مَاتَ
عَلىَ شُعْبِةٍ مِنِ النِّفَاَِق
“Barang siapa mati sementara ia belum pernah berperang dan belum
pernah terdetik dalam hatinya untuk berperang, maka kalau mati ia
mati pada salah satu cabang kemunafikan.”
Dari
sini kita akan memahami orang yang berjihad justru merupakan orang
yang telah mengalahkan hawa nafsu dan setan, orang yang tidak
berjihad tanpa udzur syar’i berarti kalah dengan nafsu dan setan.
Inilah makna perkataan Ibnu Qayyim di atas,” siapa belum
berjihad melawan hawa nafsunya dengan melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi larangannya serta memerangi hawa nafsu karena Allah
dia tidak akan mampu untuk berjihad melawan musuh-musuh Allah yang
dhohir. Bagaimana mungkin dia mampu berjihad melawan musuh
Allah, sedang musuh yang mengusai dirinya saja belum ia perangi?
Ia tidak akan mungkin mampu keluar pergi berjihad melawan
musuh Allah sampai ia berjihad menundukkan hawa nafsunya sehingga
mau keluar melawan musuh-musuh Allah.”
Dengan
jelas sekali, imam Ibnu Taimiyah berkata,” Jihad merupakan
puncaknya amal, karena didalamnya mencakup puncak dari segala
keadaan yang baik, didalamnya puncak dari kecintaan, sebagaimana
firman Allah Ta`ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ
فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآَئِمٍ
ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
{54}
“Hai
orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap
lemah-lembut terhadap orang-orang mu'min, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siap yang dihendaki-Nya, dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[ Q S Al Maidah :
54]. Dan didalamnya puncak dari kesabaran dan tawakkal,
dikarenakan mujahid merupakan orang yang paling bersabar dab
tawakkal kepada Allah, sebagaimana firman Allah:
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {59}
“(yaitu)
yang bersabar dan bertawakkal kepada Rabbnya.[ Q S Al Ankabut : 59
].
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ
اْلأَرْضَ للهِ يُورِثُهَا مَن يَّشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ {128}
溺usa
berkata kepada kaumnya:"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi
orang-orang yang bertaqwa".[ Q S Al A`raf : 128 ]. Oleh karena itu
sabar dan yakin merupakan sumbernya tawakkal.untuk itu jihad
mengharuskan bagi pelakunya untuk mendapatkan hidayah, sebagaimana
firman Allah Ta`ala :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ
اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {69}
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Oleh karena itu Imam Abdullah bin
Mubarak dan Ahmad bin Hambal dan yang lainnya berkata : “Jika
manusia berselisih didalam sesuatu maka lihatlah (kembalikan)
kepada ahli syugur, karena kebenaran ada pada mereka; karena Allah
telah berfirman :
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ
اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ {69}
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.Dan
sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.[ Q S Al Ankabut : 69]. Dan didalam jihad pula hakekat zuhud
terhadap dunia yang sebenarnya, dan didalamnya hakekat keikhlasan
yang sebenarnya, maka orang yang disebut berjihad dijalan Allah,
bukanlah yang berperang untuk mendapatkan kekuasaan, harta maupun
yang lainnya akan tetapi yang disebut fi sabilillah adalah yang
berperang untuk meninggikan kalimat Allah dan menjadikan dien
hanya milik Allah semata.
Tingkatan ikhlas yang paling tinggi dan agung adalah menyerahkan
jiwa dan harta untuk yang di ibadahi, sebagaimana firman Allah
Ta`ala :
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ
وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ
اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri
dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh・
Q S At Taubah : 111].
Dari
penjelasan Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah diatas, telah jelas bahwa
jihad merupakan bentuk tazkiyatun nafs yang paling tinggi dan
paling puncak, bentuk jihadun nafsi dan jihadus syaitan. Yang
paling sempurna dan utama.
Allah
berfirman:
لا يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى
الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ
وَأَنفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ
الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ
أَجْرًا عَظِيمًا. درجات منه و مغفرةو رحمة.
“Tidaklah sama antara orang mukmin yang tak mempunyai udzur yang
duduk saja (tidak berjihad) dengan mujahidin fi sabililah dengan
harta dan nyawa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad
dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk saja
(tidak berjihad) dengan satu derajat. Kepada masing-masing Allah
menjanjikan kebaikan. Dan Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan nyawa mereka dengan pahal yang besar.
yaitu beberapa derajat, ampunan dan rahmat Allah.”)
Al Nisa’: 95-96(
Dalam
hadits disebutkan :
إِنَّ فِي اْلجَنَّةِ مِائَةُ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا اللهُ
لِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ مَا بَيْنِ دَرَجَتَيْنِ
كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ
”
Sesungguhnya di janah ada seratus tingkatan yang disiapkan untuk
para mujahidin di jalan Alloh. Jarak antara dua tingkatan
sebagaimana jarak antara langit dan bumi.”(Al-Bukhori No. 2790,
Tirmidzi no. 2529, Ahmad 2/235). Dalam riwayat Imam A Tirmidzi,”
Antara dua derajat selama seratus tahun.” Dalam riwayat Imam Al
Thabrani,” lima ratus tahun.”.
Ini baru
makna derajat, belum rahmah, maghfirah dan ajrun adzim yang
dijanjikan Allah, yang semuanya tertera dalam buku-buku hadits.
Dengan demikian, keutamaan yang berperang di jalan Allah jauh di
atas orang yang hanya jihadun nafs (tasfiyah, tarbiyah dst) saja
tanpa jihad.
Kondisi
umat Islam saat ini sama persis dengan kondisi zaman Rasulullah
hidup. Umat Islam dibantai di mana-mana, medan jihad terbuka luas.
Orang Islam yang mampu mestinya berjihad ke medan perang, bukannya
kita haruskan untuk belajar dulu bertahun-tahun sampai aqidah dan
ibadahnya lurus. Cara ini sama sekali bertentangan dengan sunah
nabawiyah. Justru dengan adanya perang (jihad), masyarakat di
tempat jihad yang sebelumnya masih tenggelam dengan kemaksiatan,
sama sekali jauh dari aqidah tauhid bisa dibenahi dengan hadirnya
sebagian kecil umat Islam yang sudah mengenal tauhid dan ibadah
yang benar serta memahami Islam secara baik. Dari sini kita harus
membedakan antara teori dengan praktek, antara dirasah aqidah
dengan aqidah itu sendiri. Belajar aqidah maknanya mempelajari
kitab-kitab aqidah mu’tabarah karangan para ulama salaf, adapun
aqidah maka itu terbukti di medan jihad di mana tawakal, khauf,
raja’, shabar terbukti. Di medan nyata inilah terlihat siapa yang
gugur siapa yang tangguh. Betapa banyak para ulama dan kyiai kita
yang pertama kali mengungsi bersama keluarganya dan tak pernah
kembali, meninggalkan masyarakat yang awam tak mengenal aqidah dan
ibadah yang benar berjuang melawan orang-orang kafir sendirian.
Kalau begitu, mana jihadu nafs yang selama ini diteriakkan?.
Justru,
orang yang berperanglah yang sesungguhnya berjuang melawan hawa
nafsu dan syaithan. Buktinya, ia berjuang agar bisa shabar,
tawakal, zuhud, cinta akhirat, tak takut mati, taat kepada
pimpinan dalam kebaikan, selalu menjaga darah, harta dan agama
kaum muslimin dst. Sedang yang thalabul ilmi dan tasfiyah
(amalan-amalan sunah), ia tak akan mengerti betul apa itu sabar,
tawakal dst, karena tantangan yang dihadapinya relatif kecil bila
dibandingkan mereka yang berjihad melawan musuh dan menantang
maut. Ini, sekali lagi bukan mengecilkan arti jihad melawan nafsu
dan setan, bukan, namun untuk mendudukkan masalah ini secara
proporsional.
4.
Sebagaimana disebutkan DR. Idris Muhammad Ismail dan DR. Muhammad
Khalid Isthanbuli, pembagian jihad menjadi jihad asghar (melawan
orang kafir) dan akbar (melawan hawa nafsu dan setan) ini
merupakan musibah terbesar yang ditimpakan musuh-musuh Islam atas
jihad fi sabilillah. Mereka mengetahui dengan adanya jihad (perang
melawan orang kafir), Islam akan senantiasa jaya dan mengalahkan
orang kafir. Karena itu mereka menjebak umat Islam dengan cara
halus dan damai, melalui cara ini. Mereka pintar, mengetahui bahwa
selama manusia masih hidup ia tak akan pernah lepas dari serangan
hawa nafsu dan setan. Dengan semikian umat Islam akan sibuk
bertasfiyah, melakukan berbagai amalan sunah, thalabul ilmi dan
riyadhah agar lepas dari hawa nafsu dan setan. Akhirnya waktunya
habis dan musuh-musuh Islam bisa melenggang ringan menyebarkan
kekafiran di seluruh penjuru dunia.
Dari
sini jelaslah kemurnian pemaham salafu al sholih, di mana saat
menyebutkan kitab jihad mereka hanya menyebutkan perang,
hukum-hukum perang, anjuran mencari syahid dst. Mereka tidak
melalaikan jihad melawan hawa nafsu, namun mereka meletakkannya
dalam kitab tersendiri yang mereka namai kitab al Zuhdu dan al
Raqaiq. Mereka tidak mencantuman tarbiyah wa tashfiyah ini dalam
bab jihad. Inilah fiqih salafu al sholih yang mesti kita ikuti.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh
Ahmad Al-Qodiri 1/48, menyimpulkan dari Lisanu al Arab 4/107,
Taaju al Arus 2/329,al Mu’jamu al Wasith /142, Al Shihah
1/457, Mu’jamu Maqayisi al Lughah 1/486 dll
lihat Min Wasaili Daf’i al Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal.
13-14
Fi al Jihadi Adabun wa Ahkamun hal. 5
Taujihat Nubuwah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh 2/312-213
HR.Ahmad
4/114 dengan sanad shohih no:17152hal:1225,, mempunyai
syawahid dalam Silsilah Ahadits al Shahihah no. 551 jilid
2/92.
HR. Al-Bukhori No. 2785 Kitabul jihad was Sair, Darus
Ssalamcet.ke-1 th.1998M/1417H, Nasa’I 6/19 Maktabah Ilmiyah,
Ahmad 2/344., Ibnu Abi Syaibah 5/199).
Al-Bukhori no. 2786, Kitab jihad Wassair, hal: 566” Darussalam
“ Riyadh cet ke-1th: 1997M/1417H.
Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh
Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr.
Abdulloh Azzam hal. 5
Lihat Al Lajnah al Syar'iyah hal. 46
Lihat Min Wasaa’ili Daf’il Ghurbah, Syaikh Salman Fahd Audah
hal 21, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam, Dr. Abdulloh Azzam
hal.6
Lihat Fil Jihadi Adaabun wa Ahkamun Dr. Abdulloh Azzam hal.
5-6
Lihat Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr.
Abdulloh Ahmad Al-Qodiri 1/49, Fil Jihaadi Adaab Wa Ahkaam,
Dr. Abdulloh Azzam hal. 6
LihatFil Jihad Adabun wa Ahkam hal. 5-6
Lihat Min wasa’ili Daf’il Ghurbah, Syaikh Salman Audah hal. 14
Fi al Jihad Adabun wa Ahkamun hal. 6
Ilhaq bi al Qafilah, Dr. Abdulloh Azzam hal. 46
Al Jihadu Sabiluna, Abdul Baqi Romdlon hal. 13
Al Jihadu fi Sabilillah Haqiqatuhu wa Ghayatuhu, Dr. Abdulloh
Ahmad Al-Qodiri 1/49
Waqfatun Ma’a Al Duktur al Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad.
Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 11
Ahammiyatu al Jihad fi Nasyri al Da'wah al Islamiyah hal. 116
Min Wasaili Daf’i al Gurbah hal. 21
Terjemahan tenerbitan At Tibyan, Solo
Waqfat ma’a Ad-Duktur Al-Buthi fii Kitaabihi ‘anil Jihad ha.12
Tahdzibu Syarh Al-‘aqidah ath Thahawiyah, Abdul akhir Hammad
Al-Ghoinami hal.360
Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64, Penerbit “Massasah
Arrisalah” cet.ke-3 th 1998M/1419H
Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa, hal.168-169
. Fiqih Zakat, Dr. Yusuf Al-Qordlowi 2/657 Cet: 8 1405 H/
1985 M, Muassasah Ar Risalah.
Taisiru al Wushul ila al Ushul, hal. 296
Al Lajnatu al Syar'iyatu hal. 47, Ulyani hal. 116-117, Al
Ghunaimi hal 11, Azzam dll
Lihat Min Wasa’I Daf’il Ghurbah, hal. 21, Fil Jihadi Adaab Wa
Ahkaam, hal 6
Waqfatun Ma’a Al Duktur al Buthi fi Kitabihi ‘an al Jihad.
Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi hal. 16
Lihat Fil Jihadi Fiqhun Wa Ijtihadun, Dr. Abdullah Azzam
III/108
Tahdzibu ath Thahawiyah hal. hal.360
Zaadul Maad , Ibnul Qoyyim III/64 Cet : 3. 1419 H/ 1998 M.
Muassasah Ar Risalah.
Membina Angkatan Mujahid, Said Hawa, hal.168-169
HR. Tirmidzi no. 2616, Al Hakim 2/76
HR. Muslim no. 49, Abu Daud no. 1140 dan 4340, Tirmidzi 2172,
Ibnu Majah no. 1275, Ahmad 3/54, Nasa'I 8/111
Lihat penjelasan hadits ini dalam Jami'u al Ulum wa al Hikam
hal
Fathu Al Bari : 6/5, Syarh hadits 2785
Fathu Al Bari : 6/5, Kitab jihad dan sair, bab keutamaan jihad
dan sair
Fathu Al Bari : 6/5, bab angan-angan seorang mujahid untuk
kembali kedunia.
Zaadul Ma’ad : 3/5-6, tentang petunjuk Nabi saw dalam jihad,
maghazi, saroya, dan bu’uts.
Silsilatu al Ahaditsu al Dhaifah wa al Maudhu’ah 5/478-480 no.
2460, Dha’ifu al Jami’ al Shaghiru hal. 595
no.
4080
Siyaru A’lami an Nubala’ : 6/325, bab Ibrahim bin Abi Ablah.
Fathul Bari : 6/30, bab amal shaleh sebelum berperang.
Majmu’ Fatawa : 11/196-197.
Zadul Ma’ad : 3/9, tentang marotib jihad an-nafs
.
Syarhu Thahawiyah hal. 377-378, Al Maktabul
Islamy, 1403 H.
.
Jamiu Bayanil Ilmi wa Fadhlihi 9-12.
.
Syarhu Sunah 1/289-290, tahqiq Syu’aib Al Arnauth.
.
HR. Bukhari
Kitabu
Jihad sebuah bab,” Amalun Sholihun qabla al Qital” {amal
sholih sebelum perang}.
no. 2808
.
Fathu al Bari 6/31, bab amal shaleh sebelum berperang
.
Madariji Al - Salikin 1/245-248, tentang tingkatan jebakan
setan
Madariji Al - Salikin 1/249
Zaadul Ma’ad : 3/5-6, memerangi musuh-busuh Allah termasuk
dari jihad hawa nafsu.
Lihat Tahqiq atas Masyari’u al Aswaq ila Mashori’i al Usyaq
1/29-31
|